Namaku Tri. Kalau kau bertanya kenapa aku memilih jadi reporter, jawabannya cuma satu, aku tertipu.
Dulu, kupikir jadi reporter itu menyenangkan. Muncul di televisi membacakan berita. Aku baru tahu, ternyata wartawan yang menulis berita juga dinamakan reporter. Istilah yang rancu.
Maka, aku tak lagi menyebut diriku reporter. Harus kuakui, aku seorang wartawan. Kau mau tahu bagaimana rasanya jadi wartawan? Menyakitkan.
Tiap hari kau dituntut untuk mencari isu terkini. Isu apa saja, semakin pelik isu yang kau dapat, semakin kau dipuji.
Kau tanya demi apa? Demi rating.
Bisa kau lihat berapa banyak media saat ini. Semua memperebutkan satu hal, rating.
Di sinilah lemahnya aku. Selewat masa magang, aku belum menemukan isu penting yang bisa menaikkan rating.
******
Aku berada di tengah kerumunan wartawan yang haus berita. Semuanya menengadahkan ponsel, merekam pembicaraan narasumber.
"Terima kasih kepada awak media yang berkesempatan hadir, silahkan nikmati hidangan yang telah dipersiapkan," basa-basi keluar dari mulut Direktur Utama, usai meresmikan gedung barunya.
Sebenarnya bisa saja sih, upacara seremonial ini yang kutulis. Tapi pasti atasanku menyumpah, "Berita sampah."
Maka, begitu Direktur Utama itu lengah, kudorong Ia hingga menembus jendela dari lantai delapan.
Semua orang memandangku, bergidik, dan mulai mengabadikan momen.
Sekarang, rating media atasanku pasti naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Horror Short Story
HorrorBisakah kau menuliskan cerita horor hanya dengan 200 kata? Well, gue bisa. Rencananya, ini akan terdiri dari 27 cerita horor pendek dengan maksimal 200 kata per-chapter. Buat yang punya ide untuk tema berikutnya, silahkan Vomment atau kirimkan pesan...