Mengatakan kejujuran itu adalah sebuah pilihan. Tergantung mana yang mau kamu pilih.
-Winda Kameela-Dua tahun berlalu, masih sama seperti hari-hari sebelumnya, berangkat sekolah dan menaruh tas di tempat duduk bagian tengah nomor dua dari depan. Keadaan sekolah sudah ramai karena sekarang pukul setengah tujuh, lebih cepat dua puluh menit dari keberangkatanku yang biasanya.
"Ra, denger nggak sih. Katanya si Niki mau ngerjain Winda. Pasti dia bikin Winda nggak punya teman lagi seperti Lala waktu itu." Pricilla dan Rara berkata.
Gawat. Sekarang giliran Winda yang menjadi sasaran empuk Nikita, aku yakin sebentar lagi giliranku tiba. Aku memang menghindari Nikita, tapi sayang, sepertinya aku akan berbuat kesalahan dengan membela Winda. Teman-teman Disya memang sering di bully, namun Disya adalah orang yang baik. Sehingga banyak yang senang berteman dengannya.
Jangan lupakan Nikita Kaewlyn, dia adalah anak pemilik perusahaan besar yang kebetulan bersekolah di sekolah negeri. Jadi secara tidak langsung, Nikita adalah pemimpin kelas kami yang tidak sah.
Sedangkan aku adalah Srikandhi Arunndanu. Orang biasa yang tergolong sederhana karena ayahku hanya seorang pegawai negeri dan ibuku adalah ibu rumah tangga yang memiliki usaha kecil-kecilan dengan membuat kue.
Aku adalah dua bersaudara dan menjadi bungsu itu terkadang menyenangkan. Kakak laki-lakiku sekarang kelas lima di sekolah yang sama denganku. Arjuna Arunndanu.
"Tuh temen-temen kenapa Ru? Kok mereka sinis banget sih? Mereka lagi marah ya sama aku?" Winda datang dengan wajah tertekuknya sembari meletakkan tas selempang warna pinknya ke atas meja.
"Bukan Wind, mereka lagi ngerjain kamu. Lagian nih ya, kenapa kamu bisa bikin Niki marah sih? Kamu lupa apa yang dilakukan Niki kepada Lala," dengusku malas.
"Aku kemarin nggak sengaja bentak dia Ru, tapi habis itu aku nangis karena aku takut. Kamu tahukan kalau dia marah gimana? Aku takut nggak punya teman lagi." Aku kasihan padanya, dia teman satu-satunya yang aku punya.
"Udahlah Wind, nggak usah dipikirin. Ada aku disini."
"Wihh, si sombong Winda sudah datang. Aku ingetin kamu ya, kamu sekarang nggak bisa punya teman lagi dan jangan pernah membentakku. Atau nanti aku akan adukan kepada Papiku, supaya ayah kamu dipecat dari pekerjaannya di kantor cabang milik Papiku." Nikita menghampiri meja kami sambil berbisik pelan pada Winda yang sayangnya kudengar dengan jelas.
"Maafin aku kemarin Nik, aku nggak sengaja. Aku mohon jangan pecat ayahku dari pekerjaannya."
"Udahlah Nik, maafin aja. Lagipula masa sekolah kita cuma tinggal dua tahun lagi, sayang kalau kamu meninggalkan kisah yang seperti ini." Ujarku mencoba menengahi.
"Akan kupikir kan lagi Ru, sekarang dia ada dalam pengawasanku." Niki melangkah pelan menuju bangkunya sambil mengibaskan rambut panjang kecoklatan yang tergerai miliknya.
Ahh, dia sungguh menyebalkan. Andai bukan anak orang kaya, pasti sudah ku pukul wajahnya yang terlalu cantik itu. Orang kaya memang bisa memiliki apa saja.
Winda memejamkan matanya, "Kamu masih mau jadi temanku kan, Ru? Kalau dia benar-benar mengadukan hal itu kepada orangtua nya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kehidupan keluarga kami." tanyanya lirih.
Aku tahu betul bagaimana keadaan keluarganya, dia anak nomor tiga dari lima bersaudara. Sedangkan jarak usia saudaranya terbilang tidak jauh, hanya dua tahun. Ayahnya bekerja di perusahaan milik Niki sebagai staf karyawan, ibunya adalah ibu rumah tangga seperti ibuku. Mungkin karena alasan itulah Winda tidak bersekolah di sekolah swasta milik Niki.

KAMU SEDANG MEMBACA
In My Silence
RomanceDalam diam aku memandangmu, dalam sendu ingin ku memelukmu, dan dalam tangisku terselip doa agar kamu mau memandangku. Bahkan setelah begitu lamanya aku masih mengagumimu dalam kesendirianku. Aku masih terpesona olehmu, meski tawamu bukan untukku...