Saat aku menengok ke arah jam yang melingkar di tangan kiriku, aku baru ingat jika aku harus sampai di kantor sebelum jam makan siang berakhir.
"Kamu udah Rel? Aku harus balik sekarang nih, bentar lagi rapat divisi bareng tim audit. Ntar takutnya aku udah telat waktu sampai sana."
"Hati-hati, jangan ngebut. Waktu itu aku kaget lho dengar kabar dari Winda kalau kamu kecelakaan." Ia buru-buru menyeletuk.
"Ya elah, itu udah masa lalu. Setelah kecelakaan di Semarang dulu, aku jadi nggak mau ngebut-ngebutan lagi." Aku merapikan beberapa barang yang tadi kukeluarkan dari ransel kecilku. Handphone, powerbank, kabel data, dan headset.
"Tapi kamu nggak kenapa-napa kan Srikandhi?" Apa dia mulai khawatir, ini benar Kerrel kan?
"Yaelah aku eggak kenapa-kenapa cuma lecet dan keseleo seminggu. Sama nggak dibolehin olahraga sebulan sama bang Juna."
Aku harus buru-buru pergi ke kantor sekarang, meskipun si Boss ada di sini, bukankah itu tidak bisa menjamin apapun. Bisa saja aku kena semprot oleh mbak Rere, atau siapapun itu karena ketidakhadiran dan keterlambatanku saat ini.
Oh ayolah, Kandhi yang kuat tidak boleh mengeluh hanya karena akan berpisah dengan Kerrel. Tugas kantor lebih penting dan utama. Impian punya berhektar-hektar kebun buah akan musnah kalau malas-malasan bekerja.
Jangan berpikiran seperti itu. Iya buah, salah satu tanaman menguntungkan dan punya banyak manfaat. Dari kecil aku selalu ingin punya banyak tanaman buah, sayang sekali di rumah lebih banyak tanaman hias ibu dan tanaman herbal ayah. Ada sih beberapa macam seperti jambu air, markisa, dan pepaya. Sayangnya belum selengkap dan seluas impianku.
Jangan menganggapku seperti itu, meski aku wanita yang sangat ingin berubah menjadi laki-laki, hobiku masih sama seperti perempuan kebanyakan. Kalian hanya belum mengenalku dengan baik.
"Ya udah Rel, aku pamit duluan."
"Hei Kan, tungguin aku. Kita bareng ke tempat parkir." Dia menyambar kunci mobilnya di meja, dan menarik lenganku. Setelah sampai di depan pak Kumis, Kerrel mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah sambil mengucapkan terimakasih. Aku hanya terbengong melihat tingkahnya itu, sampai di depan warung aku buru-buru memfokuskan diri.
"Wait...wait, nggak perlu narik-narik tangan aku kali. Keliatannya aku kaya sapi yang mau dijadiin kurban." Aku menghembuskan nafas, "udahlah aku duluan. Itu si coklat ada di depan," telunjukku menunjuk si-vespa yang terparkir rapi di hadapanku.
"Okay, hati-hati Kan. Aku mau survey di lapangan dulu, bye." Tangannya mengusap rambutku lagi kemudaian melambai kepadaku.
"Bye Rel!"
Sambil mengemudikan motorku, aku bersenandung pelan. Jantungku tak henti-hentinya berdegup aneh. Tentu saja karena merasa senang, apalagi selain itu? Bahkan senyumku tak luntur hingga aku sampai di pintu ruang rapat.
Mbak Rere buru-buru menyuruhku duduk, dia menginstruksikan padaku untuk segera menyiapkan bahan-bahan rapat. Aku melakukan perintahnya. Tanganku tak berhenti bergerak untuk mencatat poin-poin penting yang disampaikan mbak Rere di depan, saat ini aku yang bertugas menjadi notulen.
Hasil rapat hari inilah yang akan menjadi acuan rapat bersama para petinggi nantinya.
Setelah selesai, aku buru-buru pergi ke toilet melepas hajat yang kutahan sejak tiga puluh menit yang lalu. Rasanya sungguh lega.
Dan nikmat Tuhan mana yang kau dustakan.
Aku mengusap wajah dengan air mengalir yang ada di wastafel, sambil dipikir-pikir lagi aku tidak terlalu jelek. Kulitku cukup terang untuk jenis wanita yang rajin berolahraga di luaran sana, rambut lurusku sekarang panjang dan terikat, mataku juga cukup lebar, sedang hidungku juga cukup mancung jika dibandingkan teman-teman masa kecilku. Tapi kenapa sampai sekarang tidak ada laki-laki yang mendekatiku?
Sampai sekarang aku masih sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa ada yang salah denganku. Para lelaki yang dekat denganku sejak aku masih sekolah selalu menjadikanku mak comblang. Aku tidak masalah dengan itu, malah senang karena imbalan yang mereka berikan lebih dari cukup membuat celengan ayamku cepat terisi penuh.
Akhir masa sekolahku terselesaikan dengan baik akibat kejomloanku, bahkan sampai sekarang apabila orang-orang bertanya apakah aku sedang menjalin hubungan aku hanya bisa tertawa garing. Beberapa dari mereka bahkan sudah memiliki anak, Winda contohnya. Sedangkan aku, hahahaha. Mungkin gebetan pun sekarang tidak punya.
Apa aku terlalu laki-laki untuk para laki-laki jomlo di luaran sana? Atau bahkan aku tidak memenuhi kriteria untuk menjadi salah satu girlfriend's goal?
Sering kutanyakan pada diriku sendiri, kenapa aku masih saja mencintainya. Kenapa aku masih saja memikirkan tentangnya, padahal aku yakin dia tak akan pernah memikirkan tentangku. Bahkan untuk berharap saja aku tak berani.
Karrel terlalu sulit untuk dijangkau, bahkan sejak pertama kali aku mengenalnya lebih dari satu dekade yang lalu. Karrel masih terasa jauh untuk digapai walaupun aku menjadi salah satu orang yang dekat dengannya.
Apa aku tak boleh berharap agar dia menerimaku?
Sedangkan laki-laki lain? Aku tak pernah berharap pada mereka, toh sampai sekarang tak ada yang mencoba mendekatiku.
◁◀▶▷
Pertama maafin aku karena nggantung kalian dengan cerita gajeku ini. Kedua, aku bener-bener minta maaf soalnya jarang -bisa dibilang nggak pernah- lagi update. Ide tiba-tiba mentok setelah hapeku rusak 😭😭 padahal aku udah bikin plotnya. Aku juga minta maaf kalau ceritaku ini tambah gaje dan nggak mutu, bahkan jauh dari bayangan aku pas bikin nih cerita. Terus aku juga sadar kok kalau di part2 sebelumya banyak banget typo dan kelabilan aku 😭😭😪. Mohon dimaafkan ya, mungkin aku bakalan slooooooowww update banget. 🙇🙇
Makasih buat kalian yang masih baca cerita ini dan ngevote. 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Silence
RomanceDalam diam aku memandangmu, dalam sendu ingin ku memelukmu, dan dalam tangisku terselip doa agar kamu mau memandangku. Bahkan setelah begitu lamanya aku masih mengagumimu dalam kesendirianku. Aku masih terpesona olehmu, meski tawamu bukan untukku...