Bab 5 - Kebetulan Semata

38 9 2
                                    

Ini pertanda apa? Jika itu sesuatu yang baik, maka dekatkanlah. Dan jika itu buruk, maka jauhkanlah.
Srikandhi Arunndanu

Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam situasi yang tidak terduga-duga. Ini berdampak buruk pada hatiku yang meronta-ronta kesakitan.

Iya, benar-benar sakit hingga rasanya aku ingin mati saja.

Kerrel ternyata atasanku! Oh Tuhan, kebetulan macam apa yang sedang Engkau rencanakan? Aku baru mengetahuinya tepat setelah hari pertamaku bekerja, kaget setengah mati itu rasanya. Bagaimana bisa move on kalau begini caranya, yang ada aku akan semakin jatuh. Dia jauh berbeda dari apa yang pernah aku bayangkan, bahkan dalam mimpi terliarku aku tak pernah berpikir dia akan berubah begitu banyak. Dia semakin sempurna, bukan seperti Kerrel yang dulu.

"Ahh, godd*mnit! Gimana mau konsentrasi kalau yang ada di otakku cuma ada yang namanya Kerrel?!" Aku menggerutu pelan, sangsi kalau ada yang mendengarku mengatakan itu. "Lebih baik aku ke pantry bikin kopi."

"Mau kemana Ru?" Mbak Rere yang tadinya sibuk dengan komputer di biliknya saat ini menatapku karena berdiri tiba-tiba. "Mau ke pantry bikin kopi, mbak Rere mau aku bikinin juga?"

"Yaudah, aku nitip satu ya Ru!" Teriaknya sebelum aku berbelok ke arah pantry. Aku segera mengambil mug yang tertata rapi di rak piring kemudian mengisinya dengan gula dan kopi. Salah satu kuberikan pada mbak Rere yang sedang asik membuat laporan keuangan bulan ini pada salah satu program di microsoft office, hampir sama seperti yang harus kulakukan.

Jam dinding telah menunjukkan pukul tujuh, lebih dua jam dari waktu kerjaku yang seharusnya. Ini bukan hari pertamaku bekerja, dan aku harus lembur di minggu pertama. Meskipun mendapat bonus, tapi lembur membuat badanku terasa remuk karena kebanyakan duduk. Aku juga baru tahu kalau bekerja di perusahaan pusat itu lebih sulit sepuluh kali lipat dibandingkan perusahaan cabang di Semarang.
Saat sampai di lorong menuju lift aku bertemu dengannya lagi, dia tersenyum lebar padaku. Matanya berbinar cerah, dia  mengisyaratkanku untuk menghampirinya.

"Kandhi!" Oh, jangan tatapan itu lagi. Aku tidak bisa menolak tatapannya kali ini, kalau raut wajahnya seperti itu.

"Oh, hei Rel?! Baru mau pulang?" Dasar mulut sialan! Bisa-bisanya mengatakan hal itu padahal aku sedang mati-matian berusaha keras untuk menghindarinya.

"Iya, maklum kalau akhir bulan gini nggak ada yang namanya nggak lembur. Bareng aja Kan!"  Ugh, yang benar saja. "Lain kali aja Rel, aku bawa motor kok."

"Masih suka pakai motor ya? Jadi kangen juga naik motor," maksudnya mengatakan itu apa?!

"Hahaha! Yaudah deh Rel, aku duluan ya. Udah kemaleman soalnya." Aku melambai padanya kemudian berjalan cepat menuju lift, lalu ketika berbalik aku hanya mampu tersenyum kecil.

Aku menghela napas panjang ketika pintu lift benar-benar tertutup dengan sempurna. Hari yang melelahkan, terutama untuk hatiku. Saat sampai di basement aku segera menyalakan motor dan mengemudikan nya ke rumah. Lelah!

◁◀▶▷

Teett....teeet...teet

Damn! Suara berisik apa lagi ini, Tuhan biarkan aku tidur tenang pagi ini. Tunggu, pagi ini? Tak lama kemudian yang kudengar adalah gedoran di pintu kamarku diikuti teriakan Ibu dari luar.

Ibu terus mengetuk pintu kamarku, "Srikandhi bangun nduk! Sudah pagi, mau berangkat ngantor jam berapa?!"
"Iya bu! Ini lagi mau mandi," aku mengambil asal pakaian di dalam lemari. Lima menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dan mengambil kemeja untuk kupakai hari ini, tak lupa menguncir rambutku.

In My SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang