Menghindari sebuah masalah itu tak baik, apalagi masalah hatimu yang belum bisa diselesaikan.
-Srikandhi Arunndanu-Undangan reuni yang diberikan Winda padaku sekarang tak lebih dari penyangga gelas berisi teh melati kesukaanku. Masih ragu, aku kembali menatapnya. "Apa iya aku harus datang?"
Kuhembuskan napas panjang beberapa kali, bingung kembali menyergap. Aku ingin bertemu dengan Kerrel lagi, aku ingin menatap wajahnya.
Drtt....drrttt....
Dering telepon genggam yang sedang berada dalam laci meja kerjaku bergetar cepat dan sedikit lama, menandakan bahwa ada panggilan masuk. Winda, namanya muncul ketika aku menarik laci yang berisi benda canggih berwarna hitam milikku.
"Kenapa Wind?" Tanyaku cepat, bahkan terkesan menyela.
"Jadi berangkat nggak? Aku berharap kamu bisa, kamu masih ingat kan kalau aku nggak punya teman akrab lagi selain kamu kan?" Kata-kata itu lagi, aku jadi tidak tega.
"Tunggu aja besok Wind, tahu kan kalo kerjaan aku sekarang itu lebih banyak dibanding periode kemarin. Maklum, aku mau mutasi." Jawabku sambil tersenyum kecut meskipun aku yakin bahwa Winda tak bisa menebak raut wajahku saat ini juga.
"Beneran Ru, kamu jadi mutasi ke sini? Kamu lagi nggak bercanda kan?" Intonas bicara Winda berubah begitu cepat, ia terpekik senang. Kudengar suara Kirana menangis di sana.
"Heem, mana pernah sih aku bohong. Itu suara Kirana nangis, aku kangen banget sama ponakan mungil ku itu!!"
"Ahh iya, dia ngompol pantesan aja nangis. Tungguin bentar lagi Ru, aku mau ganti in popok dulu. Jangan dimatiin teleponnya!" Winda berseru padaku, suara lembutnya menenangkan Kirana.
Dia sudah menikah dengan kekasihnya tiga tahun yang lalu, Thomas. Mereka kenal saat masa kuliah dan tak lama kemudian Thomas melamarnya. Mengingat perjuangan Thomas untuk mendapatkan hati Winda membuatku tersenyum tipis, andai saja kisah ku seperti mereka. Pada tahun pertama pernikahannya, mereka dikaruniani seorang anak perempuan cantik dan menggemaskan bernama Kirana Angelia.
"Heii, Aru! Kamu masih di sana? Kok suaramu nggak kedengaran? Kamu belum pergi dari situ kan?! Ru! Hellow, somebody out there?" Oke, melamun saat ini bukan kegiatan yang baik. Buktinya saja pekikan khawatir Winda terdengar.
"I'm here. Sorry banget, aku lagi ngelamun tadi. Mikirin mau pake baju apa besok kesana," aku mendengus malas untuk yang satu itu.
"Tenang aja, aku bakal kirim baju buat kamu. Awas aja kalo kamu nggak pake, aku bakal marah besar." Firasat buruk menghantuiku, sepertinya aku lupa dengan selera fashion Winda yang terlalu feminin.
"No no no. Aku bakal cari baju sendiri aja, lagian mana bisa kalo pake baju macam kamu. Yang ada bikin gatel-gatel alergi," untuk yang terakhir itu aku tidak bohong. Sepertinya aku memang alergi memakai dress, apalagi kalau ketat dan terlalu pendek.
"Sayangnya paket itu udah aku kirim, mungkin besok pagi udah sampe rumah kos kamu." Dia terkikik jail, astaga!
"Apa?! Beneran? Kamu nggak salah kan? Mana kuat aku pake begituan," sahutku lemah.
"Ya kudu lah! Aku nggak mau tahu ya Srikandhi, pokoknya kamu harus pake dress yang aku kirim. Atau nggak aku bakalan marah besar sama kamu. Udah ya Ru, my hubby udah dateng. Bye Aru!" Saat seperti itulah yang membuatku terkadang merasa iri pada Winda, dia telah menemukan pemilik tulang rusuk miliknya. Tempatnya pulang.
"Okee! Bye juga Wind, see you!"
◁◀▶▷
Mutasiku ke sini tidak bisa ditunda, malah dipercepat sesuai dengan keinginan ibu beberapa hari yang lalu ketika mengatakan kemauannya pada ayah. Dan itu artinya aku harus datang ke acara reuni itu malam ini.
Kedatanganku disambut baik oleh keluarga besar yang kebetulan sedang mampir dan berada di rumah. Apalagi dengan tante Rani dan anak manjanya itu, Radya. Salah satu alasan mengapa keputusan untuk mutasi ku dipercepat adalah bertemu dengan para sepupu yang sudah kurindukan. Apalagi si Radya, partner in crime-ku. Dia adalah satu-satunya sepupu yang mau kuajak bekerjasama untuk mengerjai para sepupu tua.
Sedang asyik bermain game aku tiba-tiba teringat dengan acara reuni nanti malam. Ku edarkan pandangan sambil menatap wajah orang-orang di depanku lamat-lamat, sudah lama sejak terakhir kali aku bertemu dengan mereka.
Wajah mereka tidak banyak berubah, selain gurat-gurat kedewasaan pada muka para sepupu. Rona bahagia mereka terpancar jelas membuatku merasakan senang akan keberadaanku di sini. Aku kemudian pamit dan melangkahkan kaki ke kamar.
Dress yang dikirimkan Winda satu minggu yang lalu sudah berada di tanganku, sangat kontras dengan berbagai jenis pakaianku yang seluruhnya adalah kemeja atau jacket. Dress yang diberikan Winda berwarna putih tulang dengan hiasan minimalis berada di pinggang. Untung saja panjangnya mencapai betis, hampir menjuntai di mata kaki. Tapi sayang, itu lengan pendek! Aku tidak yakin dengan yang satu itu, menyebalkan.
Keluarga besarku itu berpamitan untuk pulang tepat pada pukul tiga, setelah itu aku kembali ke kamar dan tidur siang. Bisa dikatakan itu bukan tidur siang sih, tapi tidur sore.
Dua jam setelah tidur siang, aku bersiap-siap. Kuputuskan untuk datang dengan dress itu. Rambut panjang yang kumiliki ku ikat model ponytail dengan anak rambut yang masih tersisa di sekitar telinga karena tidak bisa terikat. Sambil mengenakan sneaker hitam, aku melangkah ke luar kamar untuk meminta tolong pada Bang Juna untuk mengantarkanku ke tempat reuni.
"Bang, anterin aku. Mumpung lagi di sini, sekali-kali bang."
"Widih, mau kemana dek? Rapi banget, tunggu deh, kamu yakin pake sneaker itu? Nggak salah kostum tuh?" Emang sih ini nggak nyambung, tapi nyaman dan nggak ribet.
"Biarin bang, anterin aku." Pintaku di depan bang Juna yang sedang bersantai di sofa ruang keluarga.
"Ganti nggak tuh! Nurunin imageku kamu," aku mencibir pelan kemudian melangkah lagi menuju kamar tidur untuk mengganti sneakerku dengan high heels.
Pilihanku tertuju pada ankle boots berwarna hitam, lumayan membuat aku terlihat tidak terlalu girly. Selain itu aku juga tidak memiliki banyak jumlah sepatu berjenis heels, hanya tiga biji dan itu merupakan hadiah ulang tahun dari ibu karena bosan melihatku menggunakan sneaker setiap hari.
Bang Juna akhirnya mengantarkanku ke tempat reuni. Gugup. Ya, aku gugup karena itu artinya aku bisa saja bertemu dengan Kerrel. Aku takut kalau perasaan yang ku punya selama ini tak bisa terkontrol di depannya. Aku takut hatiku akan gagal setelah sekian lama aku mencoba untuk melupakannya.
"Buruan, nggak jadi keluar kamu? Abang udah mau pulang nih, mau nyusulin Maura ke tempat papa." Suara bang Juna mengagetkanku. Aku melangkah keluar setelah berpamitan. Ballroom hotel yang di sewa sebagai tempat reuni angkatan terlihat mewah dan sangat elegan, meskipun kesan formalnya sudah tak kurasakan lagi setelah menunjukkan kertas undangan pada security yang berdiri tegap di depan pintu masuk dan melangkah maju memasuki ballroom.
°
°
°
°
°
Tengkis ya buat yang baca, apalagi mau vote. Makasih juga yang udah komen, kamu satu-satunya lho . Akhirnya setelah sekian lama nggak punya kuota dan males minta wifi gratis, aku bisa upload ini part *saya jadi terharu sendiri* tapi saya juga bingung ternyata part dua dan seterusnya enggak banyak viewers. Kalo vote sih saya nggak ngarep, toh itu hak kalian mau menilai bagaimana cerita ini. Aku cuma berharap ada banyak viewers yang ada di lapakku ini .-TheDaydreaming-
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Silence
RomanceDalam diam aku memandangmu, dalam sendu ingin ku memelukmu, dan dalam tangisku terselip doa agar kamu mau memandangku. Bahkan setelah begitu lamanya aku masih mengagumimu dalam kesendirianku. Aku masih terpesona olehmu, meski tawamu bukan untukku...