Chapter 3

25 0 0
                                    

 "Sadie!"

Aku tiba-tiba terbangun karena seseorang meneriakkan namaku, bergema samar-sama dari lantai bawah. Aku menggosok-gosok mataku dan bangun, melihat-lihat sekitar kamarku sebelum melirik kearah jamku yang bertuliskan 6:20. Aku tertidur lama sekali dan biasanya sebelum aku tidur aku pasti mengerjakan tugas sekolahku dulu, tetapi aku benar-benar lelah tadi.

"Sadie!" aku dengar suarah kakakku, Dylan, teriak dari suatu tempat, mungkin dia lagi kesal denganku. "MAKAN MALAM SUDAH SIAP!"

"Iya!" aku teriak balik, jauh lebih tenang daripada teriakannya.

Aku terbangun dan perutku pun berbunyi karena rasa lapar. Aku tadi lupa makan siang, dan ini jarang sekali terjadi karena aku biasanya selalu makan cemilan habis pulang sekolah. Aku membuka pintu kamarku dan berjalan menujur dapur, perutku berbunyi lagi dan sekarang suaranya semakin keras, dan bau makanannya itu lezat sekali.

"Wanginya enak banget," ucapku sambil berjalan memasuki ruang makan, bersiap-siap untuk memakan makan malamku.

"Lama banget deh lu." kata Dylan.

Akupun cemberut setelah dia mengatakan itu. Dylan itu mengira kalau dia lebih baik dari padaku hanya karena dia lebih tua dariku, dia sembilan belas, dan aku masih tujuh belas, tetapi dia bahkan belum masuk ke universitas dan aku sebentar lagi akan mulai mencari dan masuk ke universitas yang aku inginkan. "Aku lagi tidur."

"Kamu udah kerjain PR kamu?" tanya mamaku, meletakkan makanannya dimeja makan.

Akupun langsung menatap makanan malam kita, merasa lega ketika aku melihat Spaghetti Carbonara. Spaghetti Carbonara adalah makanan favoritku. "Belum, tadi aku ketiduran."

"Kamu harus selesain nanti." kata mamaku sambil memberikan seporsi makanan ke piringku, papa, dan Dylan.

"Iya." kataku sambil menatapi sendok yang ia gunakan untuk mengambil spaghetti carbonara itu dan berharap agar air liurku tidak menetes setiap aku melihat sausnya.

"Jadi, gimana tadi disekolah?" tanya papa.

"Biasa aja." kata Dylan dengan mulut penuh makanan.

Aku memutar bola mataku karena hal itu, akupun menjawab, "Lumayan."

"Oh iya, detentionnya," mata papaku berbinar. "Gimana tadi?"

Tiba-tiba ada suara batuknya Dylan karena dia tersedak makanannya sendiri. "Detention?" dia batuk lagi, air mata keluar dari matanya. "Sadie kena detention?"

"Iya." jawabku, tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba jadi defensif begini. "Kenapa?"

"Gue ngga pernah nyangka kalau lo bakal kena detention." Dylan terdengar terkejut. "Gara-gara apa?"

"Gue telat." kataku, merasa sedikit gugup karena semua perhatian ditujukan padaku.

"Telat dikelas siapa?" Dylan mendesakku untuk melanjutkan ceritaku.

"Mr. Ray." jawabku.

"Oh." ucap Dylan sambil mengangguk, bersender kebelakang. "Itu masuk akal."

"Kata kamu tadi kamu lagi ngobrol sama seseorang," ingat mamaku. "Ngobrol sama siapa?"

Damn, aku padahal berharap supaya mereka lupa tentang hal itu. "Cuma cowo dikelasku," jawabku dengan cepat.

"Cuma 'ngobrol' sama cowo." ucap Dylan dengan nada mengejek. "Palingan lo kekunci didalam ruangan kecil dan ngelakuin hal yang seharusnya ga lo lakuin disana."

Aku pun tersentak, garpuku berdentum ditanganku dan aku langsung melototi kakakku dengan tatapan terkejut. Aku memang pernah mencium beberapa laki-laki, tetapi aku tidak pernah keluar dari kelas hanya untuk seorang laki-laki dan pastinya tidak akan pernah terjadi.

Tiba-tiba aku bisa merasakan gejala yang paling aku kenal yaitu serangan panikku, akupun menutup mataku dan mengambil nafas yang dalam, mencoba untuk menenangkan diriku sendiri. Setelah beberapa saat, akhirnya berhasil, dan akupun mengambil garpuku lagi, mencoba untuk melanjutkan memakan makananku tepat disaat mamaku memukul kepala Dylan.

"Ow!" dia memprotes, menggosok kepala belakangnya. "Jesus, woman! Untuk apa pukulan tadi?!"

"Cepetan minta maaf." tegur mama, menunjuk kearahku.

"Maaf." gumam Dylan, tidak terdengar malu sama sekali.

"Namanya siapa?" tanya papa tiba-tiba, rasa ingin tahunya menguasai rasa ingin makannya.

"Mason." jawabku dengan lembut, otakku pun langsung menggambar foto dirinya, dengan lip-ringnya dan rambut yang sedikit berantakannya.

"Kamu suka sama dia ya." ucap mama tiba-tiba.

Aku bisa merasakan pipiku langsung merona karena kata-kata itu. "N-nggak kok, ma."

"Lo jadi gagap gitu ah. Itu artinya lo gugup soalnya kita lagi ngomongin laki-laki!" jelas Dylan.

"A-apaan sih D-dylan!" teriakku dengan gagap, genggaman pada garpuku pun langsung jadi ketat.

"Terus kenapa lo gamau ngomongin tentang dia?" tekan Dylan. "Memangnya dia jelek? Kutu buku? Pakai kacamata?"

Aku menggeleng kepalaku, mencoba untuk memberitahunya untuk diam sebelum aku melakukan hal yang pastinya akan aku sesali.

"Oh gue tau!" Dylan menyengir, terlihat gembira. "Dia pasti kutu buku, kan? Atau dia ternyata populer dan itulah alasan kenapa lo jadi kaya gini? Atau dia jangan-jangan bad boy gitu?"

"SHUT UP!" aku pun berteriak, mengagetkan diriku sendiri dan juga keluargaku, dilihat dari mulut mereka yang terbuka lebar.

Aku menelan ludahku, meletakkan garpuku diatas piring dan cepat-cepat pergi dari meja makan, aku bisa merasakan nafasku menjadi cepat dan dangkal. Aku bahkan tidak bisa sampai kekamarku sebelum kakiku terasa sakit dan aku merasa seperti aku akan pingsan, akupun bersender ketembok dan aku bisa merasakan seluruh tubuhku bergetar. Aku bisa merasakan air mataku turun ke pipiku seakan aku mencoba untuk mengembalikan nafasku seperti semula.

Sudah lama sekali semenjak aku menjadi gagap dirumah, dan pastinya lebih lama semenjak aku mendapatkan serangan panik. Aku tidak tahu kenapa Dylan menggangguku, tetapi dia sudah pernah menjadi alasan dari banyaknya serangan panik yang aku alami dirumah dari dulu, karena dia itu adalah kakak yang menyebalkan dan hal favoritnya adalah menggangguku.

Aku pun mencoba untuk mendapatkan udara, sepertinya aku tidak bernapas selama 10 detik sekarang ini. Makin banyak air mata yang keluar dari mataku disaat aku mencoba untuk mendapatkan oksigen, tetapi aku gagal untuk mendapatkannya. Ini memang bukan pertama kalinya, aku hanya berharap kalau aku punya mesin oksigen yang bisa membantuku bernapas lebih mudah. Menghirup dengan tajam, aku pun menghela napas lega disaat aku akhirnya bisa mendapatkan udara.

Setelah beberapa menit dari mencoba untuk menghisap udara yang rasanya menyakitkan, aku akhirnya menjadi cukup tenang, dan akupun menghapus air mataku. Aku terisak, mencoba untuk mengeringkan wajahku tetapi hasilnya malah air mataku jadi berlepotan kesisi wajahku, meninggalkan memori rasa sakit yang baru saja aku rasakan.

Red ButterflyWhere stories live. Discover now