"Sadie! Kamu habis kemana saja?" teriak mama, suaranya membuat kepalaku makin pusing. "Sadie! Jawab mama!" teriaknya lagi. Aku tidak menjawab pertanyaannya karena apa gunanya aku menjawab kalau mama akan terus-terusan meneriaki hal-hal yang tidak ada gunanya bagiku.
"Sadie! Kamu mau sampai kapan kaya gini? Mama dan Dylan sudah ngebiarin kamu kaya gini untuk seminggu lebih dan jujur saja mama sudah capek sama sikap kamu yang seperti ini, Sadie!" teriak mama. Huh, salah mama sendiri dari awal ngebiarin aku jadi seperti ini. "Jadi kamu ngediemin mama sekarang? Kamu ternyata sudah berubah, Sadie. Berubah jadi anak yang durhaka, papa meninggal dan sikap kamu malah kaya gini? Mama kira kamu akan mencoba untuk menjadi anak yang lebih baik dari sebelumnya! Anak yang bisa ngebantu Dylan dan mama dalam menghidupi keluarga ini!" lanjutnya. Akupun berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju tangga, tetapi sebelum aku sampai ditangga, mama menarik tanganku dari belakang.
"Mama belom selesai sama kamu! Kamu mau jadi anak berandalan apa? Pulang jam segini, kamu tuh cewe! Mama sama Dylan capek-capek nyari kerja buat kamu. Kamu malah hura-hura kaya gini. Memangnya siapa lagi yang mau biayain kamu nanti? Papa kamu cuma ninggalin warisan rumah ini satu-satunya!" cerocos mama. Yang paling aku butuhin sekarang ini bukan semua teriakan ini, aku cuma ingin naik kekamarku dan mencoba untuk menghindari semua teriakkan ini, semua teriakan ini benar-benar menyakiti kepalaku. Akupun menarik tanganku dari genggaman mama dan mengucapkan hal yang pastinya tidak akan pernah aku katakan dulu, "Mama jual diri aja sana pasti dapat uang banyak." ucapku dengan nada mencemooh. Aku bisa melihat mama langsung melotot dan tiba-tiba aku bisa merasakan rasa pedih dan panas dipipi kananku, mama menamparku disaat yang sama pintu depan terbuka lebar.
"Mama!" teriak Dylan.
Aku memegang pipiku karena aku tidak percaya apa yang baru saja dia lakukan padaku. Aku tahu apa yang baru saja aku katakan menyakitkan tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku memberikan mama tatapan sinisku dan akupun langsung lari kelantai atas dan masuk kekamarku.
Aku berjalan menuju kamar mandiku dan menutup pintunya disaat aku sudah ada didalam. Aku tidak percaya mama baru saja menamparku, disaat aku melihat refleksiku dikaca, aku bisa melihat pipiku yang merah karena tamparan tadi. Sejak aku mulai berubah seperti ini, mama memang sering memarahiku, selalu saja, setiap aku pulang kerumah, setiap aku mau pergi keluar untuk bertemu dengan Chelsea dan lainnya, dia pasti marah. Rasanya seperti dia mengeluarkan semua rasa marah dan rasa sakitnya padaku, kenapa harus aku?
Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi, malam ini aku hampir saja pulang kerumah laki-laki yang hanya aku ketahui namanya, kalau aku masih mabuk tadi pastinya aku sudah melakukan hal-hal yang pastinya itu akan aku sesalkan dipagi harinya. Aku pulang kerumah berharap untuk beristirahat, menghilangkan semua rasa sakit kepala yang dikarenakan oleh musik yang keras, dan minuman-minuman alkohol itu. Tetapi akhirnya mama malah memarahiku dan akhirnya aku ditampar, aku tidak pantas menerima semua masalah-masalah ini. Sudah cukup aku merasakan rasa sakit yang dikarenakan oleh kematian Matthew, dan juga papa, apakah sekarang waktunya aku yang meninggal? Aku bisa merasakan kalau Dylan dan mama sudah tidak peduli lagi denganku, aku bisa merasakan kalau didunia ini sudah tidak ada orang lagi yang peduli dengan apa yang aku lakukan. Bahkan seseorang yang dulunya mengatakan kalau kita teman, rasanya seperti dia tidak peduli lagi, dia tidak akan mengikutiku kekamar mandi lagi hanya untuk menolongku dari serangan panikku. Sekarang ini aku sendirian, mungkin aku memang ditakdirkan untuk sendiri, tanpa bantuan orang-orang disekitarku. Tanpa aku sadari, disaat aku melihat kelantai, aku bisa melihat darah dimana-mana, disaat aku melihat kearah tangan kiriku, aku bisa melihat darah keluar dari situ, ditangan kananku aku memegang silet yang sangat tajam, silet itu sekarang berlumuran darah merahku. Anehnya aku tidak merasakan rasa sakit sama sekali, aku tidak merasakan rasa apapun, sepertinya aku sudah kebal dengan rasa sakit ini. Yang bisa aku rasakan hanyalah rasa sakit batinku, akupun hanya tertawa pada diriku sendiri.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen