Alarmku berbunyi, menurutku ini terlalu pagi untuk melakukan apapun, dan akupun mengerang sebelum mencoba untuk memencet tombol bodoh itu agar suara menjengkelkan itu berhenti. Setelah beberapa cobaan, akhirnya aku berhasil menekan tombolnya, tetapi tiba-tiba tanganku yang bersandar kealarm itu tergelincir dan akupun jatuh dari tempat tidurku dan aku mendarat dilantai, tepat dipinggulku.
"Aduh." gumamku, masih mengantuk untuk menyadari rasa sakit dari memar yang pastinya akan mulai terbentuk dipinggulku.
Aku melirik kearah tempat tidurku dan aku ingin sekali melanjutkan tidurku, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain berjalan menuju lemariku, dan mencoba untuk mencari pakaian yang bisa aku pakai kesekolah hari ini. Setelah beberapa menit akhirnya aku menemukan legging hitam, sweater warna putih dan Dr. Martens boots, lalu akupun berjalan menuju kamar mandi.
Setelah menggosok badanku dengan cepat sambil menyanyikan lagu-lagu Green Day selama sepuluh menit dan memeriksa pinggungku, aku akhirnya siap untuk pergi kesekolah. Melirik kearah jamku, aku sadar kalau aku cuma punya lima menit sebelum aku harus pergi kesekolah. Aku mengambil tasku dan lari kelantai bawah, melewati dua tangga terakhir dan berlari menuju dapur untuk sarapan. Aku mengambil apelku sebelum berlari keluar dari rumah.
Mengeluarkan kunci mobilku dari tasku ternyata lebih susah dari pada hari-hari sebelumnya, dan akupun akhirnya menggigit apelku dan aku sadar kalau aku terlihat seperti babi yang sudah dimasak, setelah beberapa saat akhirnya aku menemukan kunci mobilku dan menyetir keskolah. Disaat aku mencari-cari tempat parkiran, aku menggigit apelku dan mengunyahnya, memakirkan mobilku dan mematikannya. Aku menurunkan kaca mobilku dan mengambil alat riasku, menerapkannya sebelum keluar dari mobil. Disaat aku baru saja menaruh mascaraku kembali ketasku, tiba-tiba ada orang yang mengetuk jendela mobilku, membuatku menderit dan jatuh kebelakang, dan membenturkan diri kesandaran kursi penumpang dengan kepalaku.
Akupun menoleh keluar jendela, aku melihat Mason berdiri didepan jendela mobilku, tersenyum. Akupun terus-terusan mengedipkan mataku sebelum menurunkan kaca jendela pelan-pelan, duduk tegap dan memijiti bagian belakang kepalaku.
"Hi!" ucapnya dengan cerah.
"H-hai." aku tergagap, merasa sedikit gugup.
"Gue cuma lewat dan gue ngeliat lo lagi pakai alat rias lo." ucapnya. Aku mengangguk pelan, berpikir kenapa dia seperti ini. "Dan gue cuma mau bilang kalau lo sebenernya ga butuh alat rias." ucapnya dengan cengiran besar diwajahnya.
Aku menelan ludahku sebelum mencoba untuk berbicara. "G-gue membutuhkannya."
"Menurut gue sih, lo ga." ucap Mason dengan yakin.
Aku mendengar suara bel berbunyi dari sekolah. Saved by the bell, menurutku, mengambil tasku dan keluar dari mobil. "Gue pergi dulu." ucapku dengan malu-malu sebelum berjalan dengan cepat melewati Mason menuju pintu masuk, rambutku berterbangan kemana-mana.
"Oi- Sadie, tungguin gue!" teriak Mason.
Aku menoleh kebelakangku dan melihat dia mengikutiku, berlari pelan untuk mencoba mengejarku. Akupun cepat-cepat berputar dan berjalan lebih cepat.
"Sad!" teriak Mason, menyebabkanku untuk berhenti karena rasa takut. Disaat dia akhirnya mengejar dan beridir disampingku, nafasnya terengah-engah. "What the hell Sad, gue cuma pengen nyobrol sama lo."
"S-Sadie." bisikku, menggenggam erat bukuku. Masonpun memberikanku tatapan kebingungan.
"S-Sadie." jawabku dengan suara yang lebih keras. "I-itu nama gue."
Mason menatapku untuk beberapa detik sebelum tertawa. "Sadie, gue tau itu nama lo, gue cuma ngasih lo nickname biar gue lebih enak manggilnya, Sad."
Aku mengerutkan hidungku karena aku mulai ingat waktu dulu disaat teman-temanku memanggilku dengan nama itu. "T-tapi itu gacocok sama gue."
Mason tertawa kecil sebelum membetulkan rambutnya. "Menurut gue lucu kok."
Akupun menunjukkannya senyumku lagi sebelum bel berbunyi lagi.
Dikelas IPA, guruku memutuskan untuk memanggil namaku.
"Sadie, apa tujuan dari Aparat Golgi?" tanyanya, mondar mandir didepan kelas.
Mataku melebar dan aku menatap kearahnya disaat dia berhenti dan berdiri didepan mejaku, menatapku dengan penuh harap. Aku menelan ludahku dan menjilat bibirku. Membuka mulutku, aku mencoba untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata satupun keluar. Guruku menaikkan alsnya padaku, jelas-jelas sudah mulai jenuh denganku.
Sebenarnya, aku sudah tau jawabannya, itu adalah kalau sebenarnya golgi aparatus itu mengemas dan memproses protein, tapi aku hanya tidak bisa mengatakannya. Aku menggeleng kepalaku pada guruku, mencoba untuk membuatnya melanjutkan kelas. Orang-orang mulai berbisik, membicarakan tentang kenapa aku tidak pernah bicara lagi seperti dulu dan mereka berpikir karena sepertinya ayahku memotong lidahku dan kalau aku itu orang aneh.
Guruku mendesah. "Ayolah Sadie, aku tau kamu tau jawabannya, cepat jawab pertanyaannya."
Aku menyusut dikursiku, melihat kearahnya, diujung mataku aku juga bisa melihat Hannah dan Zac duduk didepan melihat kearahku dengan tatapan khawatir, akupun merasa ketakutan. Semuanya sedang melihat kearahku. Semua orang dikelas sedang melihat kearahku. Aku menggeleng kepalaku lagi, menutup mataku dengan rapat, berpura-pura kalau aku tidak bisa melihat mereka, mereka akan berhenti menatapiku.
"Sadie," kata guruku dengan nada yang kesal. "Ayolah, kamu jangan bersikap seperti anak kecil begini, katakan saja jawabannya."
Aku membuka mulutku dan hanya suara derit yang keluar. Aku langsung menutup mulutku lagi dan menatapnya dengan tatapan yang tidak berdaya. Tiba-tiba aku kepikiran, aku mengambil pensilku dan mulai menulis jawabannya dikertas tapi guruku malah mengambil pensilku dari tanganku.
"Sadie!" bentaknya. "Katakan jawabannya, sekarang."
Aku membuka dan menutup mulutku seperti ikan yang ada didaratan, menganga padanya dan merasa lebih tertekan dari pada sebelumnya. Nafasku mulai menjadi lebih cepat dan pendek dan aku bisa merasakan tenggorokanku menutup.
"Idiot." aku mendengar suara seseorang bergumam, sedikit lebih keras daripada yang mereka inginkan.
Aku bisa merasakan air mata mulai memenuhi mataku dan aku mengambil tasku dan berlari keluar dari kelas, tidak menyadari kalau Mason ada dikelas IPA ini, dan dia baru saja menyaksikan semuanya yang baru saja terjadi.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen