Sudah satu minggu semenjak kejadian pada hari itu, tiap pagi disaat aku bangun tidur, aku terus-terusan berharap dan berdoa untuk ayahku. Aku berharap agar hal yang lebih buruk dari ayahku masuk kerumah sakit terjadi, aku ingin ayahku membaik, aku ingin kehidupan kami yang biasanya. Aku mungkin terdengar egois karena aku terus-terusan menginginkan kehidupanku yang dulu, dan aku juga tau kesempatan untuk ayahku membaik itu sangat sedikit.
Hari ini hari minggu, dirumah tidak ada siapapun kecuali diriku sendiri. Sekarang ini mama ada dirumah sakit sedang mengunjungi ayah, keseharian mama yang dulunya bekerja dirumah berubah menjadi mengunjungi ayah dirumah sakit tiap harinya. Semenjak kejadian itu juga, Dylan mencoba untuk mencari pekerjaan yang cocok dengannya, dua hari yang lalu ia akhirnya diterima untuk bekerja ditoko dvd, walaupun gajinya sedikit tetapi setidaknya dia bekerja keras untuk menghidupi keluarga ini sampai ayah keluar dari rumah sakit dan tinggal disini lagi.
Akupun langsung mengganti pakaianku dan berlari kelantai bawah untuk mengambil kunci mobil dan sepatuku. Sebelum pergi aku mengunci pintu rumah terdahulu dan akupun mengirim pesan ke Dylan memberitahunya kalau aku akan pergi kerumah sakit, dan aku meninggalkan kuncinya dibawah pot tanaman.
Didalam perjalan, aku tidak bisa memikirkan hal lain tentang keadaan ayah, tetapi aku tetap berharap kalau keadaan ayah akan membaik nantinya. Ditengah-tengah kemacetan, tiba-tiba lagu Stitches menyala, "Wow, bikin keadaan tambah parah aja ini lagu." ucapku pada diriku sendiri. Tetapi setelah setengah menit semenjak aku mengatakan itu, aku tidak bisa menahan diriku lagi, akhirnya akupun ikut menyanyi, aku menyanyi sekeras mungkin karena aku yakin tidak ada yang bisa mendengarku. Sedikit demi sedikit aku bisa merasakan kalau moodku naik walaupun hanya sedikit, mungkin dikeadaan seperti ini aku bisa melihat ayahku dan membuatnya tersenyum lagi seperti sebelumnya.
Disaat aku akhirnya sampai diparkiran rumah sakit, aku langsung berjalan masuk dan berjalan menuju kamar ayah. Disaat aku bisa melihat nomor kamarnya, tiba-tiba aku bisa melihat tiga suster dan satu dokter keluar masuk dari kamar ayahku, akupun langsung berlari menujur kamarnya dan aku tidak bisa memberanikan diri untuk masuk kekamarnya, aku pun hanya berdiri didepan pintu melihat ayahku. Aku bisa melihatnya ditempat tidur sedang kejang-kejang, dia tidak bisa bernapas, dia sedang kesusahan, aku ingin melakukan sesuatu tapi aku tahu kalau aku tidak bisa melakukan apapun yang bisa membantunya, aku hanya bisa melihatnya seperti itu sampai aku bisa merasakan air mataku turun kepipiku.
"Permisi, tapi anda tidak boleh berdiri disini." ucap salah satu susternya dengan cepat.
"T-tapi..." gumamku.
"Walaupun kamu keluarga, situasinya itu kritis." ucapnya lagi dengan cepat sebelum menutup pintu kamar itu diwajahku. Akupun bisa merasakan rasa panikku muncul, aku mulai kesusahan bernapas lagi, aku tidak tahu kalau suatu saat aku akan melihat keadaan ayahku sekarang ini. Aku tidak bisa menahan tangisanku lagi, akupun menangis sekeras-kerasnya, aku tahu orang-orang disana menatapku, tetapi aku tidak peduli tentang hal itu sekarang ini, yang aku pedulikan hanyalah keadaan ayahku dan dimana sisa keluargaku disaat kejadian ini sedang terjadi.
Akupun terus-terusan menangis sambil tersedak, tiba-tiba aku bisa merasakan tangan seseorang dipundakku. "Kamu kenapa, sayang? Kenapa nggak masuk kedalam?" akupun menoleh keasal suara itu, aku bisa melihat wajah pucat ibuku, aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya, tetapi dilihat dari dekat aku sadar kalau ibuku lebih kurus dari sebelumnya, dia terlihat seperti orang yang tidak makan berhari-hari.
"Mama!" akupun langsung menangis dipelukannya. "P-papa." ucapku sambil menunjuk kamar ayah.
"Papa kenapa, sayang?" tanya ibuku, suaranya retak.
Aku membuka mulutku mencoba untuk mengatakan sesuatu tetapi tidak ada satu katapun keluar dari mulutku, rasanya seperti suaraku tiba-tiba menghilang dalam hitungan detik. Aku ingin memberitahu mama apa yang terjadi didalam tetapi aku tidak mengatakannya. Disaat aku bisa mendengar detak jantung ibuku mencepat, tiba-tiba ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan meraih genggaman pintu, tetapi sebelum dia bisa membukanya tiba-tiba pintu itu sudah dibuka dari dalam oleh salah satu suster yang berbicara denganku tadi. Aku bisa melihat mata suster itu yang penuh khawatir, dibelakangnya aku bisa melihat dokter yang merawat ayahku. Dokter itupun mengajak ibuku untuk berbicara sebentar, tetapi mereka sedikit jauh dariku jadi aku tidak bisa terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Pada akhirnya pun aku menyerah untuk mendengarkan perbincangan mereka, aku mencoba untuk menenangkan diriku dari serangan panikku yang tadi, walaupun tidak terlalu berhasil tapi aku memaksakan diriku untuk tetapi berdiri dan melihat keadaan papa. Tetapi hal yang bisa aku lihat hanyalah ayah yang terbaring ditempat tidurnya, ia tidak bergerak sama sekali, apakah ia sedang tidur?
Pertanyaan-pertanyaan mulai mengumpul dikepalaku, tiba-tiba aku bisa mendengar suara ibuku berteriak. Akupun langsung mengerti keadaan papa, aku tahu kenapa dia terbaring disana tanpa bergerak sedikit pun, akupun berjalan masuk kamarnya, aku bisa melihat ayahku dengan jelas. Ayahku yang mengajariku banyak hal, ayahku yang selalu ada untukku, ayahku yang selalu mencoba untuk membantuku melewati segala cobaan yang aku hadapi dihidupku kini telah tiada. Ayah yang tiap harinya mencoba untuk menghidupi keluarga ini, ayah yang menyayangi kami, ayah yang aku sayang kini telah tiada. Aku tidak bisa merasakan apapun, kedengarannya memang aneh, aku tahu seharusnya aku memang berduka, tetapi aku tidak bisa merasakan apapun, aku tidak mengerti kenapa harus ayahku yang mengalami hal ini.
Tidak ada satupun air mata yang keluar dari mataku sampai sekarang ini, walaupun ayahku didepan mataku tidak bernapas lagi, tetap tidak ada satu tetespun keluar dari mataku. Aku pun berjalan keluar dari kamarnya, disaat aku sampai didepan pintu kamarnya, ibuku muncul dari luar kamar dan dia langsung memelukku sambil menangis dengan keras. Aku tidak bisa memikirkan apapun selain dimanakah Dylan, kenapa dia tidak ada disini disaat kejadian ini sedang terjadi. Akupun melepaskan pelukan ibuku dan berjalan keluar dari kamar itu, aku bisa merasakan tatapan yang ditujukan padaku dari suster-suster tadi, dokter, dan ibuku. Aku bisa mendengar teriakkan ibuku memanggil namaku, "Sadie! Sadie!" tetapi aku malah terus-terusan mengacuhkan teriakkannya dan semua tatapan itu, aku hanya terus berjalan sampai aku ada diparkiran mobil.
Akupun membuka pintu mobilku dan duduk didalamnya, setelah beberapa menit tanpa memikirkan apapun akhirnya aku menyalakan mesinnya dan pergi dari rumah sakit menuju tempat rahasiaku dimana aku bisa duduk sendiri tanpa gangguan orang-orang lain.
Setelah perjalan selama 30 menit itu berakhir, akhirnya aku sampai ditaman dimana aku dan Matthew selalu pergi disaat kami ingin membicarakan tentang hal-hal lain, dulunya tempat ini hanya tempat yang diketahui oleh Matthew, hampir tiap hari ia kesini, dia bilang kalau dia selalu kesini untuk berpikir, memikirkan masalah-masalah yang dia alami, dan terkadang tempat ini menjadi tempat dimana dia ingin menyendiri tanpa orang-orang mengganggunya. Setelah dia meninggal, aku selalu meyakinkan diriku untuk tidak datang kesini lagi, karena aku tahu rasa sakit itu akan muncul lagi, tetapi sekarang ini aku tidak bisa merasakan apapun, aku tidak bisa merasakan rasa sakit yang seharusnya aku rasakan sekarang ini karena kematian ayahku.
Akupun duduk didepan kolam ikan yang ada ditaman ini, mereka terlihat bahagia dan ceria, mereka berenang kesegala arah. Tiba-tiba aku bisa mendengar suara dari belakangku, disaat aku melihat kebelakang, aku melihat orang yang pastinya tidak ingin aku lihat sekarang ini.
Chelsea Gale.
"Ha. Ternyata cuma lo. Ngapain lo disini? Ini kan tempat gue." ucapnya, tetapi aku mengacuhkannya, aku sedang tidak ingin diganggu dengan siapapun. "Woi. Gue ngomong sama lo, budeg!"
"Bisa ga sih lo tutup mulut lo itu sekali aja?" gumamku.
"Apa? Gue nggak bisa denger lo, lo nyoba ngelawan gue? Pergi sana lo." ucapnya. Suaranya semakin lama semakin keras, setiap dia mengeluarkan kata per kata dari mulutnya, pasti masuk dari telinga kiriku dan keluar dari telinga kananku.
"Woi!" teriaknya lagi.
"Oke. Gue udah cukup sama lo, Chels! Gue udah cukup sama semua ejekkan lo dari dulu ke gue, gue pernah salah apa sih sama lo? Pantesan gue ngomong sama lo aja gapernah. Gue udah cukup sama semua sampah yang keluar dari mulut lo. Lo nggak terima gue buat diri gue, lo mengkritik gue mulu tanpa tau apa yang gue alamin sebenarnya, kalau lo gabisa hormatin gue, mending tinggalin gue sendiri dan lo bisa lanjutin hidup perfect lo itu." ucapku dengan cepat. Aku bisa melihat matanya Chelsea mulai membesar setelah aku selesai.
Tiba-tiba Chelsea melakukan sesuatu yang tidak akan pernah aku tebak, apalagi setelah apa yang baru saja aku ucapkan padanya. Dia menyeringai.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen