Setelah berjam-jam menunggu pernyataan dari dokter tentang papa, akhirnya kami diperbolehkan untuk masuk kekamarnya. Bau obat-obatan yang aku cium sekarang ini membuatku menjadi loyo, membuatku pusing. Disaat aku membuka pintu kamar dimana ayahku berada, aku bisa merasakan air mata yang bergenang dimataku sekarang ini, sedikit demi sedikit air mata ini yang dari tadi aku tahan akhirnya turun dan membasahi seluruh pipiku, aku bisa merasakan jantungku yang berdetak dengan cepat karena rasa takut akan kehilangan ayahku. Ayahku berbaring ditempat tidurnya, dia tertidur yang dikarenakan oleh obat yang membantunya untuk tertidur, agar dia bisa melupakan rasa sakit yang harus dia rasakan beberapa jam yang lalu. Disaat aku menoleh kearah ibuku, ibuku langsung berlari menuju ayahku dan duduk disana, dia hanya berdiri disamping ayahku, matanya yang selalu penuh dengan rasa kebahagiaan kini hilang seketika disaat ia melihat ayah.
Aku tidak bisa melihat keadaan seperti ini lagi, akupun berlari keluar tetapi sebelum aku membuka pintu kamar, Dylan menarik tanganku dan memelukku. Ia tau kalau aku tidak akan pernah bisa menghadapi rasa sakit yang seperti ini, apalagi disaat aku masih dianggap anak kecil. Aku pun menangis dipelukannya, aku menangis sekeras mungkin untuk mengeluarkan rasa sakit ini.
Disaat aku tidak bisa berdiam dipelukannya lagi, akupun melepas pelukannya dan aku berlari keluar dari kamar dan rumah sakit. Air mata yang masih bergenang dimataku ini membuatku kesusahan untuk melihat kedepan. Aku pun mencoba untuk menghapus semua air mataku, aku tidak bisa melakukan ini, aku tidak bisa melihat ayahku yang tertidur dikamar rumah sakit bukan dirumah, dirumah dimana semua kebahagiaan yang kami sekeluarga rasakan sehari-harinya.
Tiba-tiba aku bisa merasakan detak jantungku menjadi cepat, lebih cepat dari biasanya, lebih cepat dari sebelumnya. Aku mulai kesusahan bernapas, rasanya seperti paru-paruku menolak untuk mendapatkan oksigen yang aku dapatkan. Akupun berlari kemobilku dan langsung menguncinya, didalam aku tidak bisa bergerak, aku hanya berdiam disitu mencoba untuk mendapatkan oksigen keparu-paruku lagi dan mencoba untuk berhenti menangis. Rasa sakit yang aku rasakan sekarang ini sama parahnya dengan yang sebelumnya. Akupun mencoba untuk menenangkan diriku, mencoba untuk melupakan tentang hal-hal yang baru terjadi beberapa menit yang lalu, hal-hal yang bisa menghancurkan kebahagiaan keluargaku selamanya. Akupun mulai mencari-cari pil xanax yang aku beli beberapa hari yang lalu untuk menenangkan serangan panikku. Disaat aku menemukannya, aku langsung menelannya. Setelah meminumnya, aku pun bisa merasakan diriku menjadi lebih tenang, aku bisa menghirup oksigen lagi hampir seperti biasanya.
Disaat aku sampai rumah, aku berjalan naik tangga kekamarku sambil mencoba untuk melupakan kejadian hari ini untuk sementara. Tiduran ditempat tidurku, aku terus-terusan memikirkan tentang kemungkinan yang bisa terjadi hanya dalam waktu beberapa hari, apakah aku bisa menjalani hidup seperti biasanya? Apakah aku bisa merasakan rasa bahagia seperti biasanya? Apakah mama dan Dylan bisa berjalan terus dalam menjalani hidup mereka tanpa ayah?
Akupun menutup mataku dan aku hilang dipikiranku, tiba-tiba aku baru ingat kalau besok aku ada pelajaran olahraga, dan olahraga itu salah satu mata pelajaran yang aku benci. Dari awal aku memang bukan tipe perempuan yang jago dalam hal olahraga, aku hanya pintar dalam mata pelajaran yang berhubungan dengan menghafal dan menghitung.
Aku baru ingat kalau besok adalah hari dimana kelasku harus bermain volleyball, dan volleyball membutuhkan energi yang banyak. Sejak pertama kali masuk kesekolah ini, dikelas dan diluar kelas aku dikenal sebagai 'perempuan yang tidak tahu apa-apa tentang olahraga.'
Aku tidak ingin hal memalukan seperti dulu kejadian lagi, memang sih waktu dulu bukan aku yang kena bolanya, lebih parahnya kejadiannya itu karena kemampuan dalam bermain volleyku itu buruk sekali. Pada saat itu, bagian itu memang tidak membuatku malu atau apapun, tetapi hal yang terjadi sehabis pelajaran olahraga selesai.
Waktu itu aku masih dikelas 9 SMP. Ruangan olahragaku dikelilingi oleh bangku-bangku dibagian bawah dan juga menyentuh lantai gedung olahraganya, dan masih ada beberapa yang mirip seperti balkoni. Jadi ada banyak kelas yang mengadakan pelajarannya diruangan ini, waktu itu seluruh sekolahku sedang mati lampu selama hampir dua jam. Semua guru menyuruh murid-murid untuk duduk diam dikelas sampai lampunya menyala lagi, dan kebetulan kelasku itu pelajaran olahraga. Jadinya aku harus bermain volleyball selama dua jam tanpa ada angin sama sekali, guruku bilang kalau kami tidak bermain kami tidak akan mendapatkan nilai untuk hari ini. Aku waktu itu sedang dilantai bermain volleyball dengan beberapa temanku disaat mereka belum berpikir tentang menjadi populer dan hal seperti itu. Aku sangat buruk dalam bermain volleyball, dan pastinya juga aku lebih buruk dalam hal servingnya. Jadi waktu pas giliranku untuk melakukannya, bolanya malah tidak sengaja kena kepala murid laki-laki ini dikepalanya. Semua orang yang melihat kejadian itu langsung tertawa sambil melihat kearahku, dan laki-laki itu jelas terlihat seperti dia siap untuk memukulku dengan bola volinya juga. Bukan hal itu saja yang membuatku malu pada hari itu, setelah aku selesai bermain volleyball, seluruh bajuku basah karena keringat, tapi aku berpikir kalau itu bukan masalah besar karena pasti guru-guru akan mengirim kami semua pulang kalau lampunya tetap mati. Tetapi, lampunya malah menyala dan mereka mengirim kita semua kekelas-kelas yang selanjutnya. Jadi aku menghabiskan waktu disetiap kelas setelah itu dengan baju yang basah karena keringat, dan bau badanku pasti seperti aku tidak mandi dalam lima hari. Aku cukup dipermalukan pada saat itu. Beberapa orang berpikir kalau aku akan pingsan, dan menanyakan kalau aku sedang sakit atau apa. Aku seharusnya memberitahu mereka kalau aku sedang sakit jadi aku bisa pulang kerumah dan langsung mandi. Dan jelasnya, seperti murid-murid dimanapun yang mempunyai hidup yang sama sepertiku, ada saja satu perempuan yang membuatku tambah malu, dan dia adalah Chelsea Gale.
Aku tidak pernah mengerti apa yang pernah kulakukan padanya, karena jelas-jelas aku tidak pernah mendekatinya apalagi mendekati orang-orang disekitarnya. Pada hari itu juga Chelsea yang kelihatannya seperti dia selalu terlihat 'perfect' dengan baju-baju merek H&M dan tas-tas kecil dari Pradanya itu, menoleh kearahku dan membisikkan sesuatu keantek-anteknya. Tiba-tiba dalam waktu kurang dari setengah detik, semua orang dilorong sekolah menertawakanku.
Dari hari itu, aku sadar hal apa yang paling aku benci seumur hidupku, hal itu adalah dipermalukan dan Chelsea Gale.
Tetapi mungkin, mungkin saja besok tidak akan separah hari ini. Maksudku besok kan hanya pelajaran biasa, keseharianku yang harus aku jalani tiap harinya.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen