Sudah empat minggu semenjak aku keluar dari rumah sakit, aku senang akhirnya aku bisa keluar dari rumah sakit, aku benci sekali dengan rumah sakit, bau obat-obatan itu selalu mengingatkanku akan ayahku. Walaupun aku merasa senang karena aku sudah dibolehkan keluar dari rumah sakit, hubunganku dengan mama masih sama seperti malam itu, walaupun aku sudah mencoba untuk meminta maaf pada mama beberapa kali tetapi tetap saja masih seperti ini. Aku tahu kalau apa yang aku katakan waktu itu memang membuat siapapun sakit hati, apalagi ibuku sendiri, tetapi pada saat itu bukanlah diriku yang asli, itu adalah diriku yang dikuasai oleh rasa takut, benci, sedih, dan kesal pada diri sendiri karena aku terus-terusan tidak bisa menyelamatkan orang-orang yang aku sayangi. Aku juga tahu kalau yang aku katakan itu, dan aku anak tunggalnya ternyata sudah beberapa kali melakukan self-harm itu adalah pukulan terbesar dan paling sakit untuknya, tetapi setiap aku mencoba untuk berhenti, aku tidak bisa. Aku tidak pernah merasa rasa sakit perih yang seharusnya aku rasakan setiap aku menyakiti diriku sendiri, tetapi yang aku rasakan malah rasa yang membuatku menjadi lega, disaat itu aku bisa merasakan semua masalah yang harus aku tanggung hilang untuk sementara. Aku tidak bisa melupakan gambar yang terus-terusan muncul dikepalaku tentang malam itu dan malam kematian papa, sudah hampir 2 bulan semenjak 2 kejadian itu tapi tidak ada satupun yang bisa membuatku tenang. Aku hanya ingin keluarga ini kembali seperti normal walaupun papa sudah tidak ada, tapi melakukan itu tidak gampang. Semenjak aku keluar dari rumah sakit, aku tidak pernah berbicara dengan Chelsea atau Casper lagi, apalagi Jai. Kalau waktu itu aku ikut dengannya kerumahnya, aku akan terus-terusan menyalahkan dan makin membenci diriku karena aku sangat ceroboh, tetapi untungnya aku kembali normal lagi.
Karena aku harus pergi keterapi setiap hari, hal-hal yang bisa aku ingat hanyalah itu-itu saja, rasanya seperti aku terkena amnesia, hal yang bisa aku ingat hanyalah memori burukku, memori-memori yang indah itu terlihat buram, aku tidak bisa memfokuskan diri dalam mencoba untuk melihat memori indah yang aku habiskan dengan keluargaku.
"Sadie. Senang bertemu dengan kamu lagi." ucap Mrs. Taylor, aku memutar bola mataku lagi karena bagaimana dia bisa menggunakan kata 'senang' dalam hal bodoh seperti ini. Dia bukan siapa-siapa, dia bukan orang yang aku kenal dekat, dia bukan keluargaku, kenapa aku harus memberitahunya semua masalah yang telah aku alami?
Disaat aku duduk, kami melanjutkan pembicaraan kami dari kemarin, dia ingin tahu alasan utama mengapa aku menyakiti diriku sendiri sampai sejauh ini. Walaupun sebenarnya aku tahu dia mempunyai niat yang baik tetapi aku masih tidak bisa mempercayainya, apalagi disaat aku selalu panik ketika aku bertemu dengan orang yang tidak aku kenal sebelumnya.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaan itu, kita mulai dari awal." ucap Mrs. Taylor. Akupun hanya mengangguk kecil.
"Apa kabarnya kamu hari ini?" tanyanya dengan tiba-tiba. "Baik." jawabku.
"Semenjak kejadian itu pola tidur kamu berubah?" tanyanya lagi. Akupun menganggukkan kepalaku.
"Skala dari nomor satu sampai sepuluh, perasaan kamu sekarang ini ada dimana?" tanyanya lagi. Akupun menjawabnya menggunakan jariku, aku menaikan 4 jari dan dia pun mengangguk.
"Seberapa sering kamu lakuin self-harm?" tanyanya dengan tiba-tiba. Wow- straight to the point. "Seingatku hanya lima kali." jawabku dengan muka datar.
"Kamu pakai apa?" tanyanya lagi. "Silet." jawabku dengan cepat dan sederhana.
"Bagaimana perasaan kamu disaat kamu ngelakuin self-harm?" tanyanya.
"Rasanya? I would say, lega." jawabku.
"Apakah kamu mau mencoba untuk berhenti melakukannya." tanyanya. Akupun menganggukkan kepala.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen