Setelah aku meninggalkan kelasku, aku bisa merasakan air mataku mulai turun kepipiku disaat aku berlari ketoilet. Aku langsung membuka pintu toiletnya dan menutup pintunya sekeras mungkin, mengubur wajahku didalam tanganku yang sekarang ini sedang gemetar. Aku mengambil nafas dalam-dalam, aku terus-terusan mencoba untuk mendapatkan oksigen kedalam paru-paruku sebelum aku mendapatkan serangan panikku.
Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas. Mulutku terasa kering, tenggorokanku terasa menutup, dan rasanya seperti seseorang baru saja menendangku dibagian dadaku. Air matapun keluar dengan paksa disaat aku mengambil nafas dalam-dalam lagi.
Tiba-tiba seseorang menggedor-gedor pintu, membuatku menjauhkan diri dari pintu dan nafasku menjadi lebih cepat.
"Sadie, ini Hannah, buka pintunya!" ucap Hannah, menggedor-gedor pintunya. Aku kaget dia ada disini, karena kita berdua tahu kalau aku masih menjauhinya.
Aku menggeleng kepalaku, lebih banyak air mata keluar dari mataku dan aku mencoba untuk mengatur nafasku tapi aku kesusahan.
"Sad, ayolah, biarkan gue masuk!" ucap Hannah lagi untuk kedua kalinya, terdengar lebih putus asa karena dia pernah melihatku seperti ini sebelumnya, dan aku bisa mendengar dari nada suaranya kalau dia kewalahan.
Tiba-tiba aku bisa mendengar suara orang lain dari luar, suara laki-laki. Aku bisa mendengar suara Hannah dan orang itu berbicara dibalik pintu, mungkin mencoba untuk mencari tahu bagaimana caranya agar mereka bisa masuk ketoilet ini.
"Sad!" teriak suara laki-laki itu, aku mengenali suara itu dengan baik karena kedua hari ini, Mason berteriak dengan suara yang putus asa seperti Hannah tadi. "Gue tau lo didalam situ, ayolah, buka pintunya!"
Akupun menggigit bibirku sampai aku bisa merasakan rasa manisnya darah dimulutku, dan aku mengambil beberapa nafas pendek sebelum berjuang untuk membuka pintu. Aku baru saja berhasil memutar sedikit gagang pintunya ketika Mason menerobos masuk, memindai ruangan sampai dia melihatku. Aku bisa melihat Hannah dibelakangnya dengan tatapan khawatir dan hampir menangis. "Lo balik kekelas, Han. I can handle this." ucap Mason. Hannah terlihat ragu-ragu untuk beberapa saat, "No! Gue harus ada disini buat dia, she's my best friend." ucap Hannah, Mason pun menoleh kearahnya untuk beberapa saat, "I know I can handle this, Han. Gue tau gue emang ga sedeket sama dia kaya hubungan sahabat kalian berdua, tapi give me one chance, I consider her as a friend too, you know. I want to help her." jelas Mason. Setelah beberapa saat melihat kearahku dengan tatapan khawatirnya, dia pun menatapi lantai sejenak dan berjalan keluar pintu.
Hannah tau kalau aku lebih memilihnya untuk tinggal dan membantuku disini daripada Mason, karena dia sahabatku, tetapi diwaktu yang sama, dia juga tahu kalau aku masih menjauhinya dan semua orang.
"Sadie." suaranya pecah disaat dia melihatku sedang meringkuk dilantai toilet yang kotor.
Akupun merengek, aku bisa merasakan nafasku menjadi lebih cepat hanya karena melihat Mason ada diruangan ini bersamaku, melihat kondisiku yang seperti ini, dan aku tidak bisa membentuk pikiran yang masuk akal disaat dia menatapku.
"Oke Sad, gue bakal coba buat pegang tangan lo sekarang." ucap Mason dengan pelan, mencoba untuk meraih tanganku.
Aku menggeleng kepalaku, mencoba untuk menjauh darinya.
"Sad," ucap Mason dengan lembut sambil menatapku, "Gue mohon."
Nafasku berubah lagi dan aku menggeleng kepalaku. Aku tidak tahu Mason. Yang aku tau hanya kalau dia mempunyai lip-ring, dia juga sedikit lucu, dan namanya adalah Mason. Aku bahkan hampir tidak membiarkan kakakku sendiri untuk mendekatiku disaat aku mendapatkan serangan panik seperti ini dan kita baru saja tertawa bersama kemarin malam diatas tangga karena hal-hal yang aneh. Aku tidak akan membiarkan Mason menyentuhku.
"Gue mohon." ucapnya sambil memberikanku tatapan yang mantap, dan teguh. "Sad, Sadie, gue mohon, biarkan gue bantu lo."
Aku tidak membutuhkan bantuan, aku mencoba untuk mengatakan itu, tetapi hanya suara desah yang keluar. Aku sudah sering menangani hal seperti ini sendiri.
Tapi yang satu ini memang yang terburuk selama beberapa tahun ini. Aku tidak bisa berhento. Aku terus-terusan berpikir kalau nafasku kembali tapi setelah itu aku kehilangannya lagi, dan aku tidak bisa menyimpan oksigen yang cukup di paru-paruku selama lebih dari sepuluh detik.
"Sad," bisik Mason, "Biarkan gue bantu lo. Gue mohon. Gue bisa bantu lo, Sad. Please."
Kata terakhir yang dia ucapkan itulah yang membuatku setuju, kata terakhir yang memiliki begitu banyak harapan dan emosi yang sangat murni itulah yang membuatku percaya kalau aku bisa mempercayainya. Dengan pelan sekali, akupun mengangguk.
"Okay, Sad, sekarang gue bakal nyentuh tangan lo." ucap Mason dengan lembut, sentuhannya terasa lembut dan pelan. Ketika aku tidak menjauhkan diri darinya, dia lanjut. "Sekarang tangan lo yang satunya." Disaat aku mengangguk, dia bergeser sekitar satu kaki lebih dekat, jadinya sekarang kami sekitar satu kaki setengah jauh dari satu sama lain. "Sad," ucap Mason dengan pelan, "Gue boleh meluk lo?"
Akupun langsung mengedipkan mataku dengan cepat karena pertanyaan itu, aku bahkan berkedut disaat dia menyentuh tanganku dan saat dia mendekatiku, tapi sentuhan dia juga lah yang membuatku merasa sedikit tenang daripada sebelumnya. "O-oke."
Dengan pelan Mason pun memelukku dan menarikku lebih dekat padanya. Aku duduk disini seperti batu sebelum aku menyadari kalau pelukkan dia ternyata terasa hangat dan membuatku merasa lumayan santai. Tangannya terasa kuat, tetapi tidak terlalu kuat sampai-sampai ototnya yang besar bisa membuatmu susah bernafas. Dadanya terasa bidang dan material bajunya pun terasa sangat halus, seperti kapas. Aku menemukan diriku sendiri mulai melingkarkan tanganku dipinggangnya dan mengistirahatkan wajahku didadanya.
Mason menghela napas, aku bahkan tidak menyadari kalau dia baru saja menahan napasnya dan dia pun bergeser sedikit supaya dia bisa mengistirahatkan dagunya diatas kepalaku. Setelah beberapa menit, nafasku kembali normal dan aku baru sadar kalau hal ini yang sedang kami lakukan itu hal yang biasanya dilakukan oleh kedua orang yang sedang pacaran dan kita bukan teman, apalagi pacaran.
Aku melepaskan pelukannya dan aku bisa merasakan pipiku jadi merona. "M-makasih buat ngebantu gue," ucapku dengan pelan.
"Ga masalah." jawabnya begitu saja.
"K-kenapa lo kesini juga?" tanyaku, pertanyaan itu satu-satunya hal yang dari tadi aku pikirkan semenjak dia muncul setelah Hannah.
"Kita kan dikelas IPA yang sama," jelas Mason. "Gue liat lo lari keluar dan kelas, dan Hannah pun langsung meneriakki satu kelas dan lari keluar ngikutin lo, dan gue juga ngikutin kalian berdua."
"K-kenapa?" Aku tergagap. "Kita kan bukan teman, dan gue juga cuma orang aneh."
"Gue disini soalnya gue peduli sama lo, gue nganggep lo temen kok. Hannah tadi gue suruh pergi karena gue tahu kalian berdua lagi nggak deket dan gue yakin kalau gue bisa ngebantu lo. Lo bukan orang aneh juga." jawab Mason dengan tegas dan itu membuatku menatap matanya sebelum kembali memainkan jari-jariku. "Lo cuma sering cemas aja, jadinya begini."
"L-lo ngomong gitu kaya hal itu hal normal." gumamku, mencoba untuk berbicara dengan tidak keras tetapi Mason mendengarku.
Dia tertawa kecil. "Nggak aneh kok. Gue juga udah pernah ngalamin beberapa."
"Serius?" tanyaku. Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang pernah mendapatkan serangan panik sebelumnya. Biasanya hanya aku, satu-satunya orang aneh.'
"Iya." ucap Mason dengan gampang, seakan-akan dia sedang memberitahuku tentang apa yang baru saja dia makan untuk sarapan pagi hari ini. "Diwaktu gue lagi stress atau masalah yang lainnya. Oh dan juga pas gue dapetin ini." dia menunjuk kearah lip-ringnya. "Gue takut banget dan hampir pingsan."
"K-kalau gitu kenapa lo lakuin?" tanyaku dengan suara lembut.
"Liat tuh, bel bunyi, waktunya istirahat makan siang!" ucap Mason dengan cepat, berjalan keluar dari toilet.
Aku tinggal ditoilet untuk seluruh waktu makan siang, memebetulkan make-upku dan mencoba untuk kembali seperti semula dari hampir dua puluh menit serangan panik tadi. Aku menghabiskan sisa hari ini memikirkan tentang Mason, dan kenapa dia membantuku dan kenapa dia ingin sekali untuk merubah topik pembicaraan ketika aku tanya dia tentang lip-ringnya.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen