Sudah setengah bulan semenjak kejadian itu terjadi, aku merasa kalau aku dan Mason makin lama makin dekat, dia selalu mengikutiku kemana-mana, terkadang aku berpikir kalau dia itu sebenarnya ada kerjaan yang lebih penting daripada mengikutiku disekolah atau tidak. Setiap saat aku berjalan dilorong sekolah, aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku, semua perhatian, semua bisikkan hanya tertuju untukku. Awalnya aku tidak tahu kenapa, tetapi beberapa minggu yang lalu, aku baru tahu kalau Mason termasuk orang-orang yang biasanya duduk dimeja orang populer, sampai sekarang pun aku bingung kenapa dia ada disini, bersamaku.
"L-lo mau sampai kapan ngikutin gue?" tanyaku dengan nada yang sedikit kesal.
"Gue nggak ngikutin kok, kita kan teman, jadi gaada salahnya kita jalan bareng disekolah." ucap Mason. "Lagian gue juga udah males ngobrol sama orang-orang semacam Chelsea."
Chelsea Gale. Chelsea itu dikenal dengan perempuan yang paling populer disekolah, dia masuk kesekolah ini setengah tahun setelah aku masuk ke International School of Denver. Dia bisa dibilang menjadi populer karena orang tuanya sangat kaya, pekerjaan ibunya sebagai fashion designer, dan ayahnya adalah dokter dirumah sakit yang dinamakan nama dengan nama keluarganya, Gale Hospital, dan rumah sakit itu termasuk dari Top 10 Hospitals di America. Sejak pertama kali aku melihatnya aku tahu kalau dia bukanlah perempuan yang baik hati, dia hanya termasuk salah satu perempuan yang ingin menjadi yang paling populer disekolah. Lebih hebatnya lagi, Chelsea adalah mantan pacarnya Mason.
"Oi!" panggil Mason. Akupun menoleh kearahnya. "Jangan bengong gitu dong, muka lo cengo gitu." candanya sambil memegang pergelangan tanganku.
Aku bisa merasakan pipiku langsung merona, dan aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat dan nafasku jadi pendek karena rasa takut dan malu yang menguasai diriku sekarang ini.
Akupun menoleh kearah Mason, aku tidak tahu kenapa, tetapi ekspresi wajahnya itu seperti dia kebingungan. Tiba-tiba Mason menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat dan langsung menarik tanganku sampai-sampai aku bisa merasakan rasa sakit disekitar tanganku karena tarikannya itu.
Masonpun langsung menggulung jaketku keatas dan matanya langsung membesar. "Sadie." Aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya. "Lo kenapa lakuin ini kediri lo sendiri?" tanyanya dengan suara yang lembut. Aku pun langsung menarik tanganku dan memberikannya senyuman kecil dan menggeleng kepalaku, "Ini bukan apa-apa kok." jawabku dengan cepat.
"Sejak kapan?" tanyanya dengan tegas. Aku belum siap untuk membicarakan tentang hal ini dengan Mason, aku tidak akan pernah bisa memberitahu orang-orang tentang kenapa aku mulai cutting.
Waktu itu umurku masih 16 tahun, dan aku punya pacar yang umurnya hanya satu tahun lebih tua dariku, namanya Matthew. Kami sudah saling kenal semenjak kami kecil. Bisa Kami berdua dulu tinggal di rumah yang bersebrangan, waktu aku masih tinggal di New York dan waktu disana aku tidak pernah pindah rumah sebelumnya. Jadi bisa dibilang nenek-kakek kami berdua sudah saling kenal dari dulu, dan ibu kami juga sama. Matthew dan aku akhirnya pun jadi sahabat. Waktu kami masih kecil, ibu kami selalu membuat kami untuk bermain bersama tiap saat. Waktu kami akhirnya mulai masuk TK, kami selalu berdua, kami tidak bisa terpisahkan dan hal itu menjadi hal yang tetap sampai kami besar. Waktu dikelas 8 SMP, pertemanan kami berubah jadi sesuatu yang lebih. Sekarang aku sudah dikelas 11 SMA. Matthew dan aku berpacaran selama 2 tahun. Aku adalah satu-satunya pacar yang pernah dia punya, dan dia juga satu-satunya pacar yang pernah aku punya juga. Kita saling sayang dan aku merasa seperti aku adalah perempuan yang paling beruntung karena aku memilikinya. Dia itu lucu, atletis, baik hati, peduli, penuh perhatian, dan lebih banyak lagi. Pada saat itu aku yakin kalau aku sudah menemukan laki-laki yang aku inginkan. Kita tau kalau kita akan menikah suatu saat. Kami berdua ingin menyimpan keperawanan kami sampai hari pernikahan kami. Dia itu segala-galanya untukku.
YOU ARE READING
Red Butterfly
Teen Fiction"Aku mulai menangis dengan keras, memindahkan wajahku yang tadinya ada ditanganku ke lututku, aku bisa merasakan kalau nafasku sekarang menjadi tidak beraturan dan akhirnya akupun kesusahan untuk bernapas." -Sadie Hussen