Chapter 4

27 0 0
                                    

"Sadie?" tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku.

Aku menoleh kebelakang dan akupun melihat Dylan berdiri disana, terlihat seperti dia merasa bersalah dan waspada, seakan-akan dia khawatir kalau aku akan mulai meneriakki dia lagi.

"Kenapa, Dyl?" aku menghela nafasku.

Dia menghampiirku dan duduk disebelahku, kitapun duduk terdiam diatas tangga, dikegelapan. "Gue minta maaf," ucapnya dengan tulus.

Aku meliriknya. "Mama yang nyuruh lo minta maaf?"

Dylan tertawa sedikit, sebelum mengibaskan poninya kebelakang. "Enggak. Dia tadi ngomel, tapi dia nggak nyuruh gue buat datengin lo."

"Oh." jawabku, beras sedikit bodoh.

"Gue minta maaf." ucapnya lagi sambil menelan ludah, tidak terbiasa dengan meminta maaf. "Gue nggak bermaksudh buat bikin lo sampai marah gitu."

"Gue tau." ucapku. "Gue cuma agak sensitif."

"Enggak kok." Dylan tersenyum. "Lo adek gue." akupun tersenyum karena itu, menyadari kalau ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama dimana Dylan mengakuiku sebagai salah satu keluarganya, biasanya dia suka pura-pura kalau dia adalah anak tunggal. "Dan gue juga cuma pengen tau tentang laki-laki ini," lanjutnya. "Gue mau memastikan kalau dia itu baik atau nggak."

"Dia memang baik kok." ucapku. "Dia nabrak kearah gue duluan tapi abis itu dia langsung ngebantuin gue ngumpulin buku-buku gue."

Dylan mengangguk. "Dia itu kaya gimana? Tampilannya?"

"Dia punya lip-ring." jawabku, sepertinya hanya hal itu yang bisa aku pikirkan sekarang ini. "Warna rambutnya juga gelap."

"Lip-ring?" tanya Dylan, sambil mengepalkan tangannya.

"Iya, lip-ring, lo nggak dengerin apa?" godaku.

Dylan tertawa. "Akhirnya lo balik jadi normal."

Akupun tersenyum, satu-satunya hal yang hanya Dylan yang bisa keluarkan dari diriku. Kita dulu sangat dekat, disaat kita masih kecil, tetapi sejak aku mendapatkan serangan panikku dan Dylan punya pacar, kita jadi menjauh. Sudah lama sekali rasanya semenjak kita bicara seperti ini.

"Sadie." ucap Dylan, membuatku menatapnya, "Kita harus jalan-jalan bersama suatu saat."

"Okay." bisikku.

"Gue gabakal bilang itu juga, ini bukan The Fault in our Stars." kata Dylan.

Mulutku terbuka. "Lo baca The Fault in our Stars?"

Dylan pun sadar apa yang baru saja dia katakan dan diapun langsung menggaruk leher belakangnya, dia jadi gugup. "Gue gapernah bilang itu."

"Lo baca kan!" ucapku, akupun mulai tertawa, karena The Fault in our Stars adalah tipe buku yang biasanya dibaca oleh perempuan.

"Gue disuurh baca sama teman cewe gue." kata dia, menatap kearah lantai.

Itupun membuatku jadi ingin tahu. "Perempuan?"

"Iya." ucap Dylan, melihat kearahku dan langsung melihat kearah lantai lagi.

"Tapi setau gue, lo enggak pernah lakuin apapun buat cewe." ucapku, bingung.

"Dia beda dari yang lainnya." gumam Dylan, jelas-jelas dia tidak mau untukku mendengar apa yang baru saja dia ucapkan.

"Aww." godaku, menatap kakakku yang sedang malu-malu, jelas dia tidak mau memberitahuku tentang hal ini. "Namanya siapa?"

"Gue gaakan ngasih tau." ucapnya, melihat kearahku. "Lo pasti bakal bilang ke mama dan dia pasti langsung pengen ketemu sama dia."

"Ayo dong, kapan coba gue pernah ngasih tau rahasia lo kalau lo gamau gue bilang ke mama?" tanyaku, tau kalau aku tidak pernah memberitahu siapa-siapa tentang rahasia siapapun kalau dia tidak mau aku melakukannya.

"Nggak pernah." gumamnya lagi, menyatakan kalau aku itu benar.

"Nah, kan. Sekarang kasih tau gue."

"Namanya," gumam Dylan. "Namanya itu Rachel."

"Namanya bagus." ucapku dengan nada yang mendorongnya untuk melanjutkan ceritanya.

"Iya." gumam Dylan, matanya melirik kearah lain.

Akupun memutar bola mataku. Dylan itu gampang banget untuk jatuh cinta, tapi dia malah punya reputasi sebagai heartbreaker. Bukannya dia sudah biasa dengan perempuan dan mengacuhkan mereka dalm seminggu, dia hanya pacaran dengan mereka untuk beberapa bulan sebelum menjadi bosan dan mata dia mulai melirik kearah perempuan yang lain.

"Terus?" Aku memaksanya untuk melanjutkan ceritanya.

"Kita bertemu sebulan yang lalu." jawab Dylan. "Di pesta. Dia nggak minum sama sekali, dan gue iya, jadi ya tentunya gue nyoba buat deketin dia dan nyoba untuk buat dia minum alkohol, tapi dia nolak. Gue terus-terusan nyoba tapi dia bahkan nggak mau liat kearah gue, dia malah ngacangin gue."

"Dan itu attractive buat lo, gitu?" tanyaku.

"Diam." Dylan mendorong pundakku.

Tiba-tiba aku bisa merasakan diriku terdorong kesamping dan aku bisa merasakan wajahku memanas karena rasa sakit disaat wajahku bersentuhan dengan karpet. Dylan pun tertawa karena melihat wajahku menempel dengan lantai.

"Ow." ucapku, mencoba untuk bangun.

Melihat Dylan, aku mulai melihat sisi yang lucu dari situasi ini dan akupun ikut tertawa sebelum kita berdua terbahak-bahak sambil memegangi perut kami masing-masing dan berguling-guling diatas tangga. Setiap kali kami mulai menenangkan diri, yang dibutuhkan hanya satu lirikan kesatu sama lain dan kami pun akhirnya tertawa lagi.

"Kalian berdua kenapa?" panggil mama, membuat suara tawa kami jadi lebih keras.

Kita mengacuhkan suara kaki yang berjalan menuju kearah kami, aku yakin mama pasti akan meneriakki kami berdua, tapi dia berhenti disaat dia melihat kita berdua hampir menangis dilantai. Kita pun cepat-cepat mencoba untuk berhenti tertawa dan bangun, membetulkan rambut kami dan melihat kearahnya dengan tatapan murni.

Mamapun menggelengkan kepalanya sebelum berjalan kembali kedapur. "Kita membersarkan anak-anak yang gila." gumamnya.

Kita diam diposisi kami sampai mama tidak kelihatan lagi dari tangga. Satu lirik kesatu sama lain, dan kita pun tertawa keras lagi.

Red ButterflyWhere stories live. Discover now