[20] Silih Berganti

195 10 0
                                    

Empat jam pelajaran, termasuk upacara berhasil gue lalui dengan baik tanpa ada pengacau yang selama seminggu ini mati-matian gue hindari.

Namun, sepertinya mood gue belum kembali pulih. Reza yang berkali-kali mencoba menegur gue, dan Adji yang menceletuk seperti biasanya. Tidak sama sekali membuat gue berhenti bergeming.

Gue merasa belum siap menceritakan semuanya ke mereka. Bukan berarti gue ga percaya. Gue hanya butuh waktu.

"TISHA, BRO!" seru Adji dengan suara melengkingnya yang sanggup merusak kuping orang satu sekolahan.

Mau tidak mau gue menoleh seketika menuruti kata hati gue. Yap. Tisha. Dia tengah duduk di kursi depan kelasnya sembari menatap kosong tiang balkon di hadapannya.

Tidak ada yang berubah darinya. Wajahnya tetap sama, polos seperti biasanya. Penampilannya juga sama. Rambut tergerai yang tersisir rapi, seragam dengan atribut yang lengkap. Sangat menggambarkan siswa yang patuh. Jauh berbeda dengan gue.

Tapi, satu yang terlihat berbeda darinya. Mata dan senyumnya tidak menggambarkan keceriaan seperti biasanya. Tatapan matanya justru kosong, menyiratkan kesedihan.

Ingin rasanya menghampiri dia. Menghibur dia seperti biasanya. Tapi, perasaan gue pun sedang tidak karuan. Gue takut akan lebih memperparah kedaannya.

"Vano! Lo disuruh kebawah sekarang." seru Bayu yang tiba-tiba datang ke hadapan gue.

"Disuruh siapa?" ujar gue dingin.

"Sama bu Wina. Katanya lo dicari bokap lo." seusai menyampaikan perintah bokap dan bu Wina, Bayu segera melangkah pergi.

Sontak, Reza dan Adji menoleh menatap gue dengan sorot bersalah. Seakan mereka mengerti perubahan raut wajah gue.

"Sorry, Van. Kita ga tau kalo itu masalah lo." ujar Reza pelan. Gue mengangguk paham.

"Sorry juga, gue ga cerita ke lo berdua."

Mereka tersenyum kecil seraya menepuk pundak gue. "Kalo lo emang belum pengen cerita. Kita ga maksa kok. Iya, kan, Ji?"

"Ah? Iya, gapapa, kok. Kita mah woles, bray." gue terkekeh kecil seraya masuk ke dalam kelas untuk mengambil tas.

Sempat gue tangkap tatapan-tatapan heran teman sekelas gue. Namun, setelah sadar siapa yang melakukannya, mereka hanya bisa diam dan mengangguk paham. Ini jelas bukan kali pertama gue cabut saat jam sekolah belum usai. Dan itu sudah jadi kebiasaan gue.

"Cabut dulu, bro." ujar gue seraya menepuk pundak Reza dan Adji singkat. Mereka hanya tersenyum paham. "Oh iya, titip kasih tau Angga, ya. Gue cabut ke warung depan."

"Sip. Hati-hati ketahuan, bro!" gue hanya mengacungkan jempol sambil setengah berlari menuju tangga.

Mengabaikan semua tatapan aneh orang-orang yang berada di koridor. Mengabaikan tatapan marah guru yang baru saja keluar dari kelas ajarnya. Juga mengabaikan Tisha, yang bahkan memanggil nama gue.

Lidah gue mendadak kelu. Kaki gue pun tidak mau berhenti untuk sekedar menyapanya balik. Gue ga sanggup untuk berhadapan dengannya disaat seperti ini. Gue ga mau menunjukkan kekacauan gue.

Maafin gue, Sha.

Kaki gue terus melangkah menuju parkiran. Namun seketika mata gue menangkap sosok lelaki yang tengah gue hindari mati-matian, membuat langkah gue berbelok seketika.

When I Saw YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang