[36] Sesal

88 4 2
                                    

         Tiga hari berlalu, dan gue benar-benar kehilangan semangat untuk menjalani aktivitas apapun. Perasaan bersalah dan kehilangan masih terus menghantui. Entah. Hati gue sudah mengikhlaskan. Tapi terus aja ada sesuatu yang mengganjal.

        Tentang penyakitnya, tentang perasaannya. Seandainya gue tahu sejak awal, mungkin keadaannya ga akan gini.

        "Arghh!"

         "Kak Ree, kenapa?" Gue menoleh perlahan. Andy menatap gue dengan wajah polosnya yang bingung. "Masih sedih ya, inget kak Anya? Andy juga, kak."

        Wajahnya langsung berubah sedih dan tertunduk pelan. Berita kepergian Anya juga diketahui oleh Andy, setelah tepat di malam itu akhirnya tante Eva menghubungi Mama dan Andy. Tiba di rumah sakitpun, Andy-lah salah satu yang turut menangisi Anya.

        "Engga kok, Andy. Kak Ree cuma lagi pusing aja." dengan kekehan, gue berusaha terlihat baik-baik saja. "Kakak keluar sebentar deh ya. Titip Mama."

        Sambil mengelus pelan kepalanya, gue bangkit dari kursi dan mengambil kunci motor. Rasanya gue butuh kembali ke sana.

***

         Perlahan, tubuh gue sedikit berjongkok untuk meletakkan bunga lili di atas pusara milik Anya.

        "Hai, Nya." Gue mulai menyapanya seperti biasa.

       "Pasti lo bosen ya, setiap hari ngeliat gue terus?" dengan sedikit terpaksa, gue tertawa hambar. "Abisnya Nya, gue kangen banget sama lo. Kangen tawa lo, kangen cerewet lo."

         Hening. Hanya angin sore yang terus bertiup menyadarkan gue bahwa Anya tidak akan membalas candaan gue lagi. Seketika kepala gue pun tertunduk lesu.

        "Nya, maafin gue ya?" entah untuk keberapa kalinya penyesalan itu kembali datang. "Gue tau gue emang bodoh. Gue ga pernah sadar soal penyakit lo. Dan bahkan, perasaan lo."

        "Setelah apa yang udah lo lakuin ke gue. Semua kebaikan lo, perhatian lo... Gue terlalu jahat. Gue bales semuanya, justru dengan nyakitin perasaan lo."

        Mata gue terpejam dengan beratnya. Jari gue pun terus bergerak, mengelus lembut nisan bertuliskan namanya. Seandainya, nisan ini bisa menggantikan wajahnya yang ga lagi bisa gue sentuh.

Drrtt...drrt...

       Tiba-tiba saja ponsel gue bergetar, menghentikan seluruh lamunan tentang penyesalan gue.

Mama : kamu dimana Ree? ga lupa sama acara makan malam nnt kan? mama tunggu ya. kita hrs sambut kepulangan papa :)

       Gue menutup ponsel perlahan. Tidak berniat untuk memberikan jawaban atas pesannya. Mata gue pun kembali tertuju pada nisan di hadapan gue.

        "Lo pernah bilang, kalo semua orang punya hak untuk mendapatkan maaf, kan?" pikiran gue tiba-tiba saja tertuju pada perkataan Anya tentang bokap. "Apa ini saatnya, Nya?"

        Gue kembali terdiam. Memilih memikirkan dalam-dalam tentang apa yang selama ini masih mengganjal di pikiran gue. Tentang rasa sakit yang gue pendam selama bertahun-tahun. Tentang permintaan maaf yang belum juga bisa gue terima.

When I Saw YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang