[6]. Hurt

9.4K 803 49
                                    

Nabil tersentak dan langsung membenarkan posisi saat Andi menanyakan hal tersebut. Andi terus menatap Nabil intens. Jantung Nabil mulai berdegup kencang. Ia tidak ingin Andi mengetahui ulahnya. Ia tidak ingin membuat Andi marah kepadanya persis seperti tempo lalu. Ya, Nabil tidak menginginkannya. Ia harus mencari alasan lain. Ayo putar otak Nabil, putar otak.

"Ahh, gue mau cari jam tangan gue nih An. Lo li-liat gak?" ucap Nabil gugup. Semoga Andi mempercayainya.

"Cari jam kok sampe ke bawah ranjang segala?" selidik Andi pada Nabil. Mampus, Nabil semakin gugup dibuatnya.

"Y-ya, habisnya g-gue gak bisa nemuin di mana-mana. J-jadi gue pikir mungkin ada di situ, hehe." Nabil hanya bisa tersenyum kaku untuk menghilangkan rasa gugupnya itu. Ya Tuhan, semoga Andi mempercayainya. Andi semakin menatap Nabil curiga. Deg deg deg, jantung Nabil semakin berdegup kencang.

"Kamu tuh ya, pelupa banget jadi orang. Kan kamu simpen itu jam di meja makan Bil. Gimana sih?" Ahhhhh Nabil sangat lega dibuatnya. Ternyata Andi mempercayainya. Nabil hanya bisa berpura-pura salah tingkah untuk memaksimalkan sandiwaranya itu. Dan itu berhasil. Andi hanya bisa menggelengkan kepala saja dibuatnya. Semenjak berteman dengan Nabil, Andi selalu saja menggelengkan kepalanya. Itu sudah pasti, sudah hukum alam mungkin? Oke, sepertinya tidak mungkin sih. Untungnya urat leher Andi tidak putus karenanya.

Nabil pergi beranjak menuju ke ruang makan dengan cepat. Andi hanya bisa mengikutinya dari belakang. Untung saja Nabil meletakkan jam tangannya di meja makan. Karena hal itu bisa menyelamatkan dirinya dari introgasi yang Andi berikan. Andi tidak mengikuti Nabil ke ruang makan melainkan menuju ke ruang tamu. Ia ingin bersantai di sana. Ya walaupun di rumahnya tidak ada sofa mewah nan empuk, tetapi kursi kayu biasa sudah cukup bagi Andi. Nabil menyusul Andi dan langsung duduk di sebelahnya.

Tiba-tiba ponsel Nabil berdering menandakan ada panggilan yang masuk. Ia mengambil ponselnya itu dari dalam saku celana sekolahnya. Betapa senangnya Nabil saat melihat nama yang tertera pada layar ponsel canggihnya itu. Riska, ya Riska yang menelepon Nabil. Ia segera men-slide tombol hijau yang ada di layar. Nabil langsung mendekatkan ponsel tersebut ke telinga kanannya.

"Hallo?" ucap Nabil.

"Hallo Nabil, aku mau bicara sama kamu. Ini penting, tunggu aku di depan rumahku."

Belum sempat Nabil menjawab, sambungan telepon pun ditutup secara sepihak oleh Riska. Nabil menjadi bingung dibuatnya. Ada apa ya? Sementara Andi yang melihat raut wajah kebingungan dari sahabatnya itu hanya bisa bertanya saja.

"Kamu kenapa Bil?" tanya Andi penasaran. Siapa yang menelepon Nabil? Andi sangat ingin mengetahuinya.

"Gue harus pergi dulu An. Nanti gue balik lagi ke sini." Nabil pun pergi tanpa menjawab pertanyan Andi. Andi hanya bisa terdiam pasrah. Mungkin sahabatnya belum mau menceritakan hal 'itu' padanya. Andi tidak mungkin memaksakan keingin-tahuannya itu. Ia bukan tipe orang yang seperti itu. Ia akan menunggu sampai Nabil sendiri yang mau menceritakannya.

Lupakan sejenak soal Andi, kita beralih pada Nabil. Nabil memacu motor besarnya dengan rasa penasaran yang teramat besar. Memangnya apa sih yang akan Riska katakan padanya? Apakah suatu hal yang penting? Atau bahkan hanya hal kecil belaka? Entahlah, lagi-lagi Nabil katakan bahwa ia sangat tidak suka bila harus menerka-nerka.

Selang beberapa menit, akhirnya Nabil pun sampai di depan rumah Riska. Nabil merogoh saku untuk mengambil ponselnya dan langsung mengabari Riska bahwa dirinya sudah sampai. Tak butuh waktu lama, Riska pun keluar dari dalam rumah dan langsung berlari kecil ke arah Nabil. Senyum lebarnya sudah terpatri jelas di wajah cantik Riska. Rambut ikalnya meloncat-loncat indah akibat pergerakannya itu. Nabil dibuat terpesona oleh kecantikan 'mantan' kekasihnya itu.

What's Wrong With Gay? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang