2

85 14 0
                                    

Liana POV

"MARSYAAA!" pekikku sambil meremas kertas ulangan bertuliskan namaku.

"Apaan sih, Li?"

"Sya, bawa pulang kertas ulangan tak berguna ini, Sya,"

Sahabatku itu menatapku dengan mengangkat sebelah alisnya. "Apa banget deh,"

"Lo liat nih nilai gue!"

Marsya yang tidak sedang memakai kacamatanya sedikit menyipitkan matanya untuk melihat sebuah angka di kolom nilaiku.

"OMG, Li!" kagetnya. Kali ini ia membulatkan kedua matanya.

"Jelek banget, Sya, jelek!"

"Banget, Li, kalo menurut kriteria anak pinter kayak lo. Lo kenapa sih? Ada masalah? Kenapa ngga cerita sama gue?"

Aku duduk di kursiku yang tepat berada di sampingnya. "Nggak, Sya. Gue cuma ngga fokus aja kemarin. Sumpah ini, Sya, gue takut ngasih nilai ini ke bokap nyokap,"

Aku menunduk. Marsyapun mengelus pundakku.

"Udah lah, Li, jadiin ini sebagai motivasi lo untuk terus maju. Jangan lo terpuruk sama kegagalan lo. Orang sukses itu jalannya nggak mulus. Belok-belok,"

Marsya bijak.

Aku ingin tertawa.

Tidak. Aku harus menghargai usaha Marsya yang jelas tidak mudah baginya untuk merangkai kata-kata seperti itu.

"Thanks, Sya," kataku seraya tersenyum padanya.

Ia tersenyum balik. Lalu bergegas kedepan kelas setelah namanya dipanggil. Ia hendak mengambil kertas ulangannya.

"Njir," desahnya pelan.

"Gimana, Sya?"

Ia melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam tas. "Gocap,"

Aku menghela nafas. Sama aja.

"Sudah semua ya, anak-anak. Ibu permisi, selamat pagi,"

***

"Liana! Kantin yok!"

Alwan memanggilku. Entah mengapa aku sedang malas pergi ke kantin. Masih memikirkan hasil ulanganku. Mau bilang apa aku sama Papa dan Mama?

"Hm, gue lagi males, Wan. Sama Marsya aja ya,"

Aku melirik seseorang disamping Alwan. Arif, anak itu lagi. Sekarang ia lebih sering bergaul dengan Alwan sejak bertengkar dengan Leo karena masalah perempuan. Nggak nyangka 'kan, Arif yang dingin itu bisa bertengkar dengan sahabatnya karena masalah perempuan?

"Ah, mending berdua aja deh, Wan, males ada cewek itu," sambar Arif seraya menunjuk Marsya yang sedang membereskan buku-buku Bahasa Inggrisnya.

Arif memang sudah mengenal Marsya. Tetapi karena pergantian kelas tahun lalu, mereka sudah jarang berbincang. Sekalinya ngobrol, ya nyolot-nyolotan.

"Lo pikir gue ngga denger? Jangan kege-eran lo, gue juga males kalo ada lo," sahut Marsya.

"Yaudah bagus,"

"Yaudah, Li, gue ke kantin sama Arif aja. Mau nitip apa gitu?" tawar Alwan sebelum beranjak pergi.

"Nggak, Wan,"

Alwan lalu tersenyum simpul sambil mengangguk dan berlari menuju kantin, diikuti Arif.

"Huh, dasar," gerutu Marsya.

Aku merapikan mejaku-memasukkan buku-buku Bahasa Inggris dan meletakkan kembali alat tulisku di tempat pensil. Lalu aku mengeluarkan buku Seni Budaya, pelajaran selanjutnya.

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang