9

48 10 6
                                    

"Itu Alwan."

Liana membelalakan kedua matanya dan langkahnya berhenti seketika. Ia melepas genggaman tangan Marsya dan kembali berlari menuju kantin.

Marsya hanya berdecak sebal sembari mengejar Liana. Ia mendapati Liana sedang berdiri di samping Alwan yang sedang membereskan pecahan piringnya.

"Alwan-"

"Ah bacot."

Liana terkejut. Alwan marah dua kali lipat. Ia tidak pernah memotong pembicaraan Liana, walaupun sedang marah. Alwan akan mendengarnya baik-baik, walaupun tidak selalu ia yang meminta maaf duluan.

Tapi sekarang, Liana merasa tidak dihargai.

"Udah lah, Li! Lo kesini mau apa? Cuma buat di 'Ah bacot'-in doang?"

Liana menoleh ke arah Marsya. "Gue mau minta maaf, Sya. Pertama, soal yang kema-"

"Udah lah, basi."

Liana mengernyitkan dahinya kecewa. Alwan yang sudah memotong pembicaraannya dua kali itu kini berjalan ke penjual nasi goreng dan terlihat membicarakan sesuatu.

Liana menundukkan kepalanya, ia berjalan membuntuti Marsya. Sekarang ia bingung ingin bagaimana.

***

"Udah sih, gak penting banget mikirin orang batu kayak dia." Kata Marsya yang dari jam istirahat tadi dikacangin sama Liana.

Liana masih tidak menjawab. Ia mencoret-coret bukunya malas. Ia tak memperhatikan Bu Ani yang sedang mengajar di depan.

"Liana, bisa maju ke depan?"

Liana terkesiap. Ia menatap Bu Ani, lalu papan tulis. Sudah ada satu soal Matematika tertulis disana. Liana menarik nafas panjang sebelum akhirnya maju ke depan. Ia memandang Marsya bingung seraya berdiri dan berjalan gontai.

Ia mengambil spidol dari meja guru, dan kembali menarik nafas ketika melihat soal tepat di hadapannya. Liana mulai menggoreskan tinta hitam di bawah soal itu. Beruntung, ia bisa mengerjakannya.

"Ya, bagus, Liana. Silakan kembali."

Liana kembali duduk di kursinya, lalu menopang dagu dengan tangan kanannya.

"Untung lo bisa nger-"

"Marsya Anita, tolong maju ke depan."

Marsya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Liana tadi. Tapi di papan tulis hanyalah soal dan jawaban dari Liana. Tidak ada soal baru. Marsya menatap Liana seakan 'Mana soalnya?'. Liana hanya mengedikkan bahu.

"Marsya Anita?"

"I-iya, Bu!"

Marsya mendengus kesal sambil menendang mejanya pelan. Ia akhirnya maju ke depan menemui Bu Ani yang sedang membolak-balik halaman buku kumpulan soal Matematikanya.

"Kerjakan nomor dua puluh." Kata Bu Ani sambil menyerahkan bukunya tadi.

Marsya melihat buku yang kertasnya berbahan koran tersebut. Ia mencari nomor 20 dan segera mengambil spidol. Marsya menulis Diketahui, Ditanya, dan Jawab dengan lamban. Ia tak tau cara mengerjakan soal nomor 20. Mendingan dilama-lamain lah, udah mau pulang juga.

"Woi lama banget dah!" Seru Dafa.

"Heh, coba sini lo kerjain! Banyak ngomong."

"Sudah-sudah. Kenapa jadi ribut sih? Cepat Marsya, tiga menit lagi bel akan bunyi." Lerai Bu Ani sambil melihat jam dinding.

Setelah selesai menulis beberapa keterangan penting dalam soal, Marsya mulai mengingat rumus yang dipakai untuk soal ini. Ia menggerutu dalam hati. Lama banget sih belnya, ini udah lewat dari tiga menit!

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang