"Lianaaa ayo dong buruan pake bajunya nanti telat!" teriak mama dari bawah. Aku pun langsung buru-buru menyisir rambutku dan langsung turun kebawah menghampiri papa dan mama yang sudah lama menungguku.
"Iya, Pa, Ma, maaf ya. Udah yuk berangkat," Kami langsung menaiki mobil dan pergi menuju sekolahku.
"Pah, ngebut dong sepuluh menit lagi udah bel masuk kelas nih nanti pagernya ditutup aku gak bisa masuk," kata ku panik, melupakan rasa laparku karena belum sarapan. Nggak kebayang pokoknya kalo sampe nanti ketahuan guru kalo aku telat. Status murid teladanku bisa luntur.
"Lagian kamu juga emang ngapain aja sih tadi lama banget turunnya, telat gini kan jadinya," kata mama dengan nada sebal.
"Aku tadi lagi nyari sisir, Ma, sisirku ilang tadi gatau kemana, aku cari-cari gak ada, eh gatau nya ada di kolong tempat tidur, terus ngambilnya susah makanya lama," jelasku.
Mama tak menjawab. Aku yang kebetulan duduk di sebelah Papa menyetel radio. Lagu-lagu radio di pagi hari sering kali membuatku semangat.
Akhirnya sampai juga di sekolah. Beruntung masih banyak murid yang baru dateng, padahal tiga menit lagi udah masuk. Dengan cepat aku naik tangga menuju kelas setelah turun dari mobil dan berpamitan.
"Oi, Liana! Tumbenan lo telat," seru Marsya sambil menepuk pundakku.
"Iya tadi gue kesiangan," jawabku sambil masih terengah-engah.
Kriiiingggg
Pelajaran jam pertama dimulai. Pelajaran pertama hari ini pelajaran matematika dan, ugh, ada ulangan.
"Li, gue takut gak bisa ngerjain nih ulangan gimana dong," kulihat sahabatku itu menggigit jarinya.
"Pokoknya lo jangan pelit. Awas aja," Marsya menatapku sambil menggoyangkan kakinya. Kebiasaan.
"Ya sama gue juga, bab ini gue belom begitu ngerti, lo juga jangan pelit!" kataku sambil menghapal rumus rumus yang Subhanallah sekali.
***
Kriiiiinggg akhirnya bel istirahat.
Dan asal kalian tau. Ulangan hari ini ditunda. Karena Bu Ani, ada keperluan mendadak. Beruntung juga punya guru banyak acara.
"Sya, kantin yuk. Kayaknya Alwan ngga nyamper deh,"
"Yakin ngga nungguin Alwan dulu?" tanya Marsya.
Aku mengangguk.
Kamipun berjalan menuju kantin sambil membicarakan ketua basket yang barusan lewat di depan kami dengan gayanya yang senga banget. Sampai tiba-tiba seseorang memanggilku dari pojokan meja kantin sambil mengangkat tangan kanannya.
"Liana!"
Aku menoleh kearah suara itu. Ya, ternyata dia adalah Alwan, sahabatku sejak SD.
Aku tersenyum kepadanya, dan juga Arif, teman sekelasnya Alwan -aku dan Alwan memang tidak sekelas. Aku dan Marsya segera menuju ke tempat Alwan dan Arif menikmati makanannya.
"Sorry ya gue duluan tadi ke kantinnya laper banget sumpah deh," Alwan membuka pembicaraan. Memang setiap istirahat Alwan selalu ke kelas ku mengajakku untuk pergi ke kantin bersama.
"Iya elah, selo," jawabku santai.
Alwan tertawa kecil. Ia lalu menawarkanku sebuah makanan. Hm, sosis bakar. Makanan kesukaannya sejak dulu.
"Nggak, Wan, thanks. Gue sama Marsya mau beli makanan yang lain. Tempatin tuh dua kursi kosong di sebelah lo. Jangan sampe ada yang ngisi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable
Teen FictionCerita klasik. Seseorang menyukai sahabatnya sendiri saat sahabatnya itu menyukai orang lain yang tak sengaja ia jumpai. Tapi bisakah kisah Liana, Alwan, dan Rio, berakhir saat semuanya dalam posisi yang menguntungkan?