Papa mengernyitkan dahi di sepanjang perjalanan. Mama yang duduk di sebelahnya pun melakukan hal yang sama, sambil sesekali melihat ke jok belakang.
Liana, putri mereka, hanya diam saja dari tadi. Biasanya ia yang paling cerewet, membahas tentang apa saja. Tapi kali ini perjalanan mereka tampak sunyi.
Papa dan Mama memutuskan untuk diam. Mereka tahu Liana sedang ada masalah. Tapi mereka memutuskan untuk bungkam, Liana tidak akan menceritakan masalahnya pada mereka. Liana dan orang tuanya bisa dibilang tidak mempunyai komunikasi yang cukup baik. Hanya pada waktu tertentu saja mereka bisa mencurahkan isi hati masing-masing. Semuanya sibuk, punya urusan masing-masing. Kedua orang tuanya bekerja, sampai rumah hanya istirahat sebentar, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Liana bersekolah, sampai rumah sendirian, apalagi sekarang Bi Kinem mengundurkan diri karena mendapar tawaran pekerjaan yang lebih baik, dan begitu orang tuanya pulang, ia sedang main bersama Alwan ke taman atau belajar di kamarnya.
Makanya, suasanya yang sunyi ini sangat mereka sayangkan. Karena salah satu quality time mereka ya, di mobil ini.
Papa punya ide. Ia akan mengajak istrinya dan putrinya makan malam di luar malam ini. Biasanya hanya di rumah, itupun jarang bisa berkumpul di satu meja makan.
"Ehm, Ma, Liana," Papa membuka pembicaraan.
"Nanti malam kita makan malam di luar yuk?"
Mama menatap suaminya itu. "Boleh. Tapi, kenapa nih? Tumbenan,"
Liana ikut menatap Papa dari kaca spion. Hanya menatap, tidak berkata-kata.
"Kenapa, Li? Gak mau ya?"
"Mau kok, Pah." Liana tersenyum simpul.
Papa melakukan hal yang sama. Lalu memutar setirnya ke kanan, dan menginjak pedal rem.
"Udah sampe, Li. Dadah, belajar yang bener, ya!"
Liana mencium tangan kedua orang tuanya. Lalu turun dari mobil tanpa mengucap satu kata pun. Ia benar-benar tidak semangat hari ini.
Gadis berambut hitam itu berjalan gontai ke kelasnya. Ia mendengus ketika menginjak anak tangga pertama. Malas, malas untuk melanjutkan langkahnya. Rasanya ia ingin bolos hari ini. Tapi statusnya sebagai murid teladan otomatis akan luntur.
Ia mendengar suara langkah kaki yang cepat menaiki tangga. Liana tidak memperdulikannya. Tiba-tiba, pemilik langkah kaki itu memukul punggung Liana dengan keras.
"Ih, sakit, Marsya! Ga lucu tau."
Marsya mendelik. "Siapa juga yang ngelawak? Lagian lo udah kayak Putri Keraton jalannya. Mending Putri Keraton jalannya anggun, lah ini?"
"Ck, udah ah, Sya. Gue lagi males bercanda." Liana mempercepat langkahnya, meninggalkan Marsya terpaku di tengah tangga.
"Woi, berdiri jangan di tengah tangga!"
Sementara Marsya menoleh dan mendengus kasar. "Bacot lo, Za!"
Reza, mantan gebetannya.
*
Selama pelajaran Fisika, Marsya dan Liana hanya saling diam. Kali ini Marsya bisa lebih serius memperhatikan papan tulis.
Hanya papan tulisnya saja. Materinya? Boro-boro. Ia memikirkan hal lain sedari tadi.
Liana pun sama. Ia hanya memperhatikan papan tulisnya saja—yang kelihatan lebih bersih daripada kemarin. Ia tidak menyimak pelajarannya.
Dari tadi di rumah, sampai sekarang, ia hanya memikirkan Alwan, Alwan, dan Alwan. Bukan apa-apa. Ia hanya bingung cara meminta maaf kepada Alwan. Karena ia sudah bosan memohon maaf terus. Menurutnya, Alwan terlalu emosian, tidak memikirkan perasaan sahabatnya. Setiap ada kesalahan, Liana yang lebih sering minta maaf duluan. Entah itu siapa yang salah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable
Teen FictionCerita klasik. Seseorang menyukai sahabatnya sendiri saat sahabatnya itu menyukai orang lain yang tak sengaja ia jumpai. Tapi bisakah kisah Liana, Alwan, dan Rio, berakhir saat semuanya dalam posisi yang menguntungkan?