Bab 3

268 63 13
                                    

BAB TIGA

AKHIRNYA Edward bisa bernafas lega setelah menyelesaikan pemotretan yang berlangsung dari pukul 10 sampai pukul 2 lewat. Ia menghampiri Vanesa selaku fotografer yang nampak sedang mengamati hasil potretannya.

" Bagaimana hasilnya, hm? " Tanya Edward sambil tersenyum kepada Vanesa.

Vanesa yang sedang fokus memandang layar kamera langsung mengalihkan pandangan ke arah senyum Edward.

Mungkin senyum menular.

Melihat senyum Edward, Vanesa ikut tersenyum.

" Bagus. Kau sangat terampil. "

Edward tertawa kecil.

" Sungguh? Aku cukup tersanjung. "

Vanesa membalas tawa Edward. " Sungguh. Kau pikir aku bercanda? Kau memang tampil bagus hari ini, aku tidak menyangkalnya. "

Kemudian Edward melayangkan tawarannya yang sedari tadi sudah ada diujung lidah, tapi tak kunjung keluar.

" Mau makan siang bersama? "

Vanesa menaikkan kedua alisnya dan tampak berpikir.

" Bukankah ini sudah terlambat untuk makan siang? Ini sudah hampir pukul 3. "

" Tidak, bagiku. Dan sekarang aku memaksa. " Ucap Edward sambil sedikit tertawa.

Vanesa tersenyum tipis. " Baiklah, Ed. Tunggu aku di parkiran, aku harus serahkan foto-fotonya terlebih dahulu. "

Vanesa pun berlalu pergi. Edward hanya dapat memandang punggung Vanesa yang kian lama mulai menjauh.

" Akan kutunggu selama apapun itu. " Gumam Edward.

***

Senyum Edward terus tersungging di wajahnya. Ia senang karena berhasil mengajak Vanesa makan siang hari ini, karena biasanya Vanesa menolak ajakannya karena pekerjaannya yang cukup sibuk. Mungkin bintang keberuntungan Edward sebagai bersinar terang saat ini.

Edward kemudian teringat sesuatu, ia memandang ke arah kursi belakang dan mendapati kantung cokelat itu masih ada disana.

Oh God..

Edward baru saja kembali teringat kalau ia harus mengantarkan kantung itu padaTiffany.

Edward berharap ayahnya belum bertanya pada Tiffany apa ia sudah mengantarkan bendaitu padanya atau belum.

Atau.. ia akan kena balasan dari ayahnya.

Edward segera memutarbalik setir. Dengan segera menginjak pedal gas, berharap ia bisa segera mengantar benda itu sebelum ayahnya menelfon Tiffany. Tetapi nampaknya bintang keberuntungan Edward meredup ketika ia melihat jejeran panjang mobil di depan dan disamping.

" Oh hari yang luar biasa. " Gerutu Edward. " Macet. "

Edward menyenderkan punggungnya di jok mobil. Mungkin sebentar saja ia bisa beristirahat.

***

Untunglah macet itu tidak makan waktu berjam-jam sehingga ia tidak perlu membatalkan jumpa fans-nya dan membuat fans-nya kecewa. Edward memandang jam tangannya, jarum nyaris menunjukkan angka 6. Ia masih punya waktu sejam lagi sebelum pukul 7, kebetulan studio dimana jumpa fans Edward dekat dengan lokasi apartemen Tiffany.

Setelah sampai, Edward langsung memarkir mobilnya. Ia keluar sambil membawa kantung itu, dan menaiki tangga apartemen dengan warna dasar biru yang sederhana. Gedungnya tidak nampak mewah, tapi cukup tampak terawat dengan baik dan cukup nyaman.

Ketika sampai di lantai yang tertera di kertas alamat Tiffany. Edward langsung menuju ke arah pintu yang bertuliskan nomor 7 itu dan menekan bel.

Lama Edward menunggu tetapi tak ada yang membukakan pintu. Edward mencoba menekan bel beberapa kali tetapi tetap tidak ada jawaban. Sehingga Edward memutuskan untuk menyerahkannya di hari lain.

Belum beberapalangkah Edward menjauhi pintu itu seseorang kemudian membuka pintu berwarna pintu itu.

" Siapa? "

Mendengar suara itu Edward membalikkan tubuhnya dan mendapati Tiffany membuka pintu dengan kondisi ¼ terbuka, bahkan Edward tak bisa melihat wajah Tiffany dengan cukup jelas. Entah kenapa, Edward bisa tahu itu adalah Tiffany. Perasaannya mengatakan begitu.

" Ini aku, kau ingat? Edward Miles. "

Edward tersenyum memandang gadis itu. Gadis itu memandang Edward mata hitamnya, membuat Edward sedikit merasa tidak enak. Kemudian gadis itu menunduk, ia mundur selangkah.

" Uh, maaf? "

Edward tidak tahu kenapa, tapi ia merasa harus minta maaf.

" Um.. maaf.. tadi aku.. Um, sedang apa kamu di sini? "

Edward menyadari bahasa formal yang Tiffany gunakan padanya. Bahkan Edward tahu gadis itu tidak memandangnya saat bicara. Merasa canggung Edward menyodorkan kantung cokelat ke arah Tiffany.

" Ini. Ayahku minta untuk diberikan padamu. "

Gadis itu memandang kantung itu lama.

" Terimakasih, sampai jumpa. " Setelah mengambil kantung cokelat itu, perlahan Tiffany menutup pintu bernomor 7 itu.

Edward masih diam di tempat itu ketika pintu putih sudah tertutup.

Bahkan tak di undang masuk..

Edward pun berjalan meninggalkan tempat itu.

***

Suara apa itu?

Edward membuka matanya perlahan, masih merasa mengantuk. Ia benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Bahkan ia beberapa hari ini mulai makan tak teratur atau tak makan sama sekali, hanya memakan pil penambah stamina. Keluarganya sama sekali tidak membantu, mereka terus membicarakan tentang perjodohan melalui telepon di jam istirahat Edward yang sangat minim.

Tetapi setelah nyaris seminggu kerja gila-gilaan, akhirnya hari ini Edward bisa tidur dengan nyenyak dan bangun sedikit lebih siang berkat keahlian Oliver mengatur jadwalnya yang padat.

Edward bangun dari tempat tidur dan menatap ponselnya yang berdering. Edward menekan tombol jawab dan menempelkan ponselnya ke telinga

" Hallo. " Sahut Edward dengan nada agak ketus.

" Pagi, Ed. Nampaknya aku mengganggu? "

Suara yang terdengar di telinga Edward, membuat raut wajahnya langsung berubah, ia langsung tersenyum walau ia tahu Vanesa tak bisa melihatnya.

" Tidak! " Jawab Edward cepat. " Ada apa? "

Vanesa tertawa kecil dan menjawab. " Tidak, hanya ingin menawarkan ajakan makan pagi yang sederhana di De Latte. Dan nampaknya kau tidak tertarik. " Vanesa menjawab dengan nada kecewa yang dibuat-buat.

" Oke-oke. Aku akan datang. Jam? " Edward jadi bersemangat.

" Sekarang? " Tanya Vanesa.

Edward mengangguk semangat. " Baik, tunggu aku. "

Edward kemudian langsung meletakkan ponselnya di meja, merapikan tempat tidur seadanya dan tentu saja mandi. Ia ingin tampil maksimal di depan Vanesa. Harus.

***

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang