Bab 5

213 45 18
                                    

BAB LIMA

YANG pertama kali Edward lihat saat sadarkan diri adalah langit-langit putih, dan bau obat.

Edward mencoba menggerakkan tubuhnya yang sakit. Tetapi saat tangannya hendak bergerak, Edward merasakan ada seseorang menggenggam tangannya.

Ia mendongakkan kepalanya dan matanya melebar. Ia tidak percaya dengan matanya sendiri. Ia merasa seperti ia masih bermimpi. Yang ia lihat dihadapannya adalah Vanesa, gadis itu. Vanesa sedang tertidur dengan kepala di tempat tidur dan tangannya menggenggam erat tangan Edward.

Speechless..

Jantung Edward berpacu. Ia bahkan membeku, ia tidak bergerak selama beberapa menit. Memandangi Vanesa. Bahkan ia tidak merasa pegal. Dan perasaan yang ia rasakan saat ini adalah rasa lega. Kelegaan.

" Mm..mm.. Ed? " Vanesa membuka matanya perlahan dan mendapati Edward sudah bangun dan memandanginya.

" Hai. " Sapa Edward, mengulas sebuah senyum.

Vanesa bangun dan secara otomatis genggaman tanganya terlepas. Ia meregangkan tubuhnya.

" Orangtuaku tahu? " Tanya Edward pada Vanesa yang sedang merapikan tatanan rambutnya.

" Tentang ini? Entahlah. Tapi yang aku tahu nyaris semua orang di dunia tahu kau masuk rumah sakit. Biasalah kecepatan liputan talkshow yang disiarkan secara live. Apalagi saluran televisi internasional. Itu hal wajar, Ed. " Jawab Vanesa kemudian berdiri dan menuju ke arah pintu. " Aku akan menelpon kakakmu dan memberitahu bahwa kau sudah siuman "

Setelah Vanesa keluar. Edward memandangi tangannya dan ia merasa hangat.

***

" Sudahlah, Edward butuh istirahat. " Ucap Mrs. Miles.

Kepala Edward semakin terasa pusing ketika ayah, ibu dan kakaknya datang. Ayahnya mengomelinya tentang ini itu. Sayup-sayup Edward mendengar suara paparazi yang hendak menerobos masuk untuk setidaknya mewawancarainya.

" Kata Oliver kau tidak tidur cukup selama tiga hari. Tidak mau makan, dan hanya memakan pil penambah stamina. Apa yang ada di kepalamu hah? Kau sudah mau mati? " Omel Mr. Miles.

" Sudahlah, yah. Edward sedang sakit. Nanti kondisinya bertambah buruk. Ibu dan ayah pulang saja. Aku akan menemani Edward. " Ucap Errina sambil mengambil tas ibunya dan mendorong keduanya keluar dari ruangan Edward.

Setelah cukup tenang, Errina mendekati Edward dengan wajah marah. Edward sendiri bingung kenapa ekspresi kakaknya dengan cepat berubah.

" Kau.. berani-beraninya kau mengakui aku sebagai pacarmu! " Errina menggeram marah sambil menunjuk-nunjuk wajah Edward.

Edward sedikit menahan tawa karena kakaknya marah-marah. Kakaknya memang dari dulu pemalu dan suka bekerja dibelakang layar. Ia tidak suka menjadi terkenal dan dipotret sana sini. Berlainan dengan Edward.

" Tadi waktu aku datang.. huh! Para wartawan menyorotku dan menyerbukan banyak pertanyaan, tahu! " Errina melipat kedua tangannya di depan dada kemudian menghempaskan tubuhnya di tempat duduk.

" Mah..af. " Gumam Edward. Suara terdengar lemah dan serak.

Errina mengeluarkan termos dan menuangkan air hangat ke gelas keramik. " Minumlah.. Suaramu seperti zombie. " Errina menyodorkan gelas yang langsung disambut Edward.

" Jagalah kesehatanmu, dik. Ayah sangat khawatir. Kau tidak mau 'kan kalau kau dipaksa berhenti lagi oleh ayah? " Ucap Errina.

Edward tertegun. " Tih..dak. "

Errina menghela nafas panjang. " Kalau kau masih ingin bertemu dengannya, jangan lakukan kesalahan fatal lagi. " Errina mengemas barang-barang.

" Oh ya, sepertinya Tiffany akan datang beberapa saat lagi. " Errina tersenyum jahil. " Silakan nikmati waktu berdua. "

Errina pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan Edward yang memasang wajah setengah tidak mengerti dan setengah panik.

Tiffany?!

***

Canggung.

Satu kata itu bisa menjelaskan segalanya yang terjadi ketika Tiffany masuk ke ruangan Edward.

" Apa kamu baik-baik saja? " Tanya Tiffany meletakkan buah jeruk di sebuah mangkuk porselen sambil menunduk, sama sekali tidak memandang Edward.

Edward tahu semua ini ulah siapa. Jika ada orang yang ingin menghukum Edward dengan hal ini, ayahnyalah satu-satunya tersangka. Dan kaki tangannya pasti ibunya dan Errina, tidak salah lagi.

" Yah.. ahku.. baikh.. " Edward terbatuk sedikit. Semakin ia banyak bicara tenggorokannya semakin perih.

Tiffany menghadap ke arah Edward, dengan tetap menunduk, mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah serbuk berwarna hijau kecoklatan. Ia menuangkan air hangat dari termos dan menuangkan serbuk itu ke dalam air hangat. " Minumlah. Tenggorokanmu akan lebih baik. "

Tangan mungil Tiffany terulur ke arah Edward. Jujur, Edward sedikit tersentuh akan kebaikan gadis itu. Gadis yang selalu menghindarinya. Tetapi tangan gadis itu nampak bergetar dan pucat, begitu juga dengan wajahnya. Ia sedikit berkeringat padahal di ruangan Edward sudah dinyalakan air conditioner.

" Teh..rima..kahsih.. " Edward meraih cangkir itu dan menegaknya. Setelah itu meletakkan gelas itu di meja kecil tepat di samping tempat tidurnya.

Tiffany mengambil gelas itu dan menuju ke arah wastafel pencucian tanpa banyak bicara.

Edward heran kenapa gadis itu sangat takut dengan laki-laki. Kecuali kakeknya. Kadang-kadang gadis itu sedikit kaku ketika ayah Edward mendekatinya. Hal itu tidak terjadi ketika Errina dan ibu Edward mendekati gadis itu. Biasanya xenophobia terjadi karena trauma. Mulut Edward terasa gatal untuk bertanya.

" Tih.. ffany. "

" Ya? " Tiffany menjawab dengan cepat dan membalik menghadap Edward. Entah karena terkejut atau apapun itu, gelas yang Tiffany cuci meloncat dari tangannya dan jatuh di lantai. Pecah berkeping-keping.

" Maaf. " Melihat serpihan yang menyebar itu Tiffany segera memungutnya.

Edward segera bangun dari tempat tidurnya, mendorong tiang infus dan mendekati Tiffany yang berusaha memungut serpihan kaca.

" Jah..ngan. " Edward menahan tangan Tiffany yang hendak memungut serpihan.

Sekali Edward menyentuh pergelangan tangan gadis itu, ekspresi wajah dan tubuh Tiffany langsung berubah. Ia nampak ketakutan.

" Mah..af.. " Edward melepas genggamannya. " Ta..pih.. biar.. khan sah..ja. " Edward terbatuk sebentar. " Pang..gil.. Cleaning..Sher..vice.. "

Tiffany mengerjapkan mata perlahan, nafasnya yang tadinya cepat melmbat perlahan. " Ya. "

Kemudan Tiffany berdiri dan keluar dari ruangan itu.

Edward memandangi tangannya yang tadi menggenggam pergelangan tangan Tiffany. Getaran dari tangan Tiffany masih terasa.

***

Terimakasih ya untuk yang mau vomment cerita ini :)

vote dan comment dari kalian sangat berarti :'3


One More Time akan slow update untuk sementaraa :)


Terimakasih,

Jangan lupa baca ceritaku yang lain :D #numpangpromosi

1. Between You and I

2. The Gateway

Dan buat kalian yang bingung mau baca cerita apa, liat aja rekomendasi ceritaku :)

Sekali lagi terimakasih

One More TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang