BAB DELAPAN
INI tak benar.
Sudah tidak seharusnya Edward mengantar Tiffany malam ini. Ia sendiri sudah berpikir dirinya gila dan diperintah ayahnya dengan tanpa perlawanan ia mengiyakan. Ia hanya mengiyakan perkataan ayahnya.
Mungkin ini efek dari flu. Sedari tadi ia bersin-bersin, dan alhasil Errina memandangnya jijik ketika ia terus-terusan bersin. Ini gara-gara angin musim gugur. Ya, pasti karena flu. Karena flu otaknya tak bisa berpikir dengan jernih. Ia benar-benar ingin mengacak rambutnya sekarang.
Suasana canggung menyelimuti mereka, suara musik dari radio sama sekali tidak membantu.
" Mau pergi ke suatu tempat? "
Tiffany memandang Edward. " Apa? "
Edward menyadari ia mengatakan sesuatu yang lagi-lagi di luar pikirannya. Edward saat itu juga ingin membenturkan kepalanya di setir mobil, tapi ia menahan drinya. Tidak di depan Tiffany, pikirnya.
" L-Lupakan saja. " sahut Edward dengan cepat. Dan gugup.
Tiffany kembali meluruskan kepalanya ke arah jalanan dan menunduk.
Sesekali Edward melirik gadis itu, dan jantungnya berdentum tak karuan.
***
" Terimakasih. " Tiffany membalikkan tubuhnya.
Edward hanya mengangguk pelan sambil mengeratkan syalnya. Kemudian Tiffany membuka pintu, dan terdiam. Edward memandang ke dalam ruangan apartemen Tiffany dari luar. Semuanya gelap. Lalu? Edward masih tidak mengerti dimana letak kesalahannya. Kenapa Tiffany tidak masuk?
" Ada apa? " tanya Edward.
Tiffany kembali membalikkan tubuh menghadap Edward. " Tidak. Tidak ada..apa-apa. "
Edward mengangguk pelan. Tetapi Tiffany memandang ke dalam ruangan apartemennya yang gelap. Ia tidak masuk ke dalam.
" Kau tidak masuk? "
Tiffany kembali memandang Edward. " Ah..um.. "
Edward menaikkan alisnya, ia baru saja menarik sebuah kesimpulan yang hampir membuatnya tertawa.
" Kau takut gelap. " ucap Edward, setengah menebak.
Dengan kepribadian sekelam itu, tentu saja 'takut gelap' sangat tidak cocok.
Tiffany merunduk. " Y-ya. "
Edward nyaris tertawa lagi dibuatnya. Sekali lagi, seorang seperti Tiffany yang memiliki sorot mata 'gelap', takut gelap.
" Baiklah, aku akan masuk dan menyalakan lampu. "
Edward masuk ke dalam ruangan itu sambil meraba-raba dinding apartemen Tiffany. Ketika ia sudah menemukan tombol lampu, Edward menekan tombol itu. Tetapi tak ada reaksi. Ruangan itu tetap gelap.
Edward keluar dari ruangan itu. Ia kembali menarik sebuah kesimpulan.
" Lampumu rusak. "
Tiffany mengangguk.
" Kau bisa menginap di apatemen tetanggamu. "
Edward melangkah menuju apartemen disebelah apartemen Tiffany, namun dengan cepat Tiffany menahan pergelangan tangannya. Edward terkesiap. Terkejut, juga bingung. Jantungnya berhenti bersamaan saat Tiffany menyentuhnya.
" Jangan. " gumam Tiffany merunduk.
Edward memandang tangan Tiffany yang masih menggenggam pergelangannya. " Kenapa? "
" Aku..aku tidak mengenal mereka. " Tiffany memandang Edward, dan menyadari tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Edward. Dengan satu sentakan Tiffany melepaskan genggamannya. " Umm.. maaf. "
Edward membuka mulutnya, dan menutupnya kembali. Ia baru saja terpikir sebuah ide gila. Tapi mulutnya tak jadi mengucapkan penwaran itu. Ia berusaha berpikir, dan akhirnya otaknya bekerja.
" Kau pasti punya teman lain 'kan? "
Tiffany mengangguk cepat.
" Where? "
Tiffany terdiam sejenak. " Itu.. di.. "
" Kau tak punya teman lain? " tanya Edward. " Kalau begitu, le- "
" Ada. Aku temannya. "
***
" Ada. Aku temannya. "
Sebuah suara membuat Tiffany dan Edward memandang ke asal suara. Seorang lelaki jangkung dengan rambut warna hitam dan mata biru memandang mereka sambil tersenyum.
" Aku teman Tiffany. "
Lelaki itu berjalan mendekati mereka berdua dan meraih pergelangan Tiffany. " Dia bisa menginap di rumahku. "
Edward tidak tahu darimana datang pria itu, pria itu mengaku sebagai teman Tiffany, menawarkan tempat menginap, dan Tiffany hanya diam, dan Edward pikir, pria itu memang teman Tiffany.
Edward menaikkan alisnya. " Ou..ya." Edward memandang Tiffany, setengah meminta penjelasan, dan setengah meminta pendapat TIffany.
Tiffany hanya terdiam dan bergumam tak jelas.
" Baiklah, jika kau tidak keberatan aku dan Tiffany akan pergi sekarang. Sampa jumpa. " ucap lelaki itu. " Oh ya, aku Jeremy Irvine. Aku mengenalmu.. Edward Miles. "
Kemudian lelaki itu membawa Tiffany pergi.
Edward terdiam sebentar. Ia benar-benar mengerti arti pandangan Jeremy barusan. Edward mengerti.
.
Hanya laki-laki yang mengerti.
***
" Bagaimana? "
Edward mengalihkan pandangan dari kopinya dan memandang wajah ayahnya yang penuh dengan rasa penasaran.
" Apanya yang bagaimana? " tanya Edward kembali sambil menyesap kopi di restoran ayahnya. Tiba-tiba saja Oliver memindahkan beberapa jadwalnya lebih siang, jadi ia bisa santai sejenak.
Ayahnya menggeleng pelan. " Tentang semalam, Ed. Kau mengantar Tiffany pulang 'kan? " tanya ayahnya, seolah Edward akan membuang Tiffany ke jalanan di tengah perjalanan.
Edward mengingat kejadian semalam lagi. " Tentu saja. Aku tidak membuangnya ke jalanan. " jawab Edward seolah bisa membaca pikiran ayahnya. Untungnya Edward tak sekejam itu.
" Ayah sedang tidak bercanda. "
Edward meletakkan cangkir kopi itu ke meja berbentuk bundar berwarna cokelat, dan mengambil secarik koran untuk dibaca. " Memang begitu. Tak ada yang istimewa. "
" Kau selalu saja begitu. Kau akan hidup melajang selamanya. "
Edward tertawa kecil. " Terimakasih. Kuanggap pujian. "
Mr. Miles berdiri dan meninggalkan Edward. "Ya, sudahlah. " ucap Mr. Miles dengan nada bersenandung sambil tersenyum jahil.
Kini Edward yakin ayahnya kembali merencanakan sesuatu lagi.
***
TBC~
***
Makasih buat yang sudah menantikan dan membaca One More time buatan writer abal ini :D
Makasih juga buat yang mau vote dan comment.. Ikutin kelanjutannya sampai tamat yaa ..
Terimakasih kepada SharenValencia
Karena sudah menyemangati, dengan pujian-pujian yang kuanggap sebenarnya gak pantas untuk aku terima. Meski gak pernah comment disini :v setidaknya comment di dunia nyata sangat membantu :D
Terimakasih untuk semua..
Salam,
Hanie_Liu
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Time
RomanceEdward Miles " Wajahnya, ya. Tipeku. Sifat dan sikapnya. Tidak. Bukan tipeku. " " Perjodohan ini tak akan pernah berhasil. Dia suka padaku, atau aku suka padanya? Itu mustahil. " Tiffany Turner " Maaf. " --------------------- Bagaimana jika seorang...