Hari ini adalah hari pelatihan kami di kuil Arandelle. Saat ini, Piar Nakhtina sedang memberikan sepatah dua patah kata di atas mimbar. Aku tahu yang dikatakannya pasti penting, tapi posisiku cukup jauh dari mimbar sehingga aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang ia katakan.
Mataku teralih pada Rizal dan Tiara. Entah kenapa ada sesuatu dalam diriku yang tidak suka melihat kedekatan mereka. Tolong jangan bilang ini cinta karena Reinkarna Isis tidak pantas memiliki perasaan yang rendah itu.
Perhatianku teralih pada seorang gadis berambut panjang bergelombang warna golden brown yang berdiri agak jauh di depanku. Dari pertama kali kulihat, aku tahu ada sesuatu yang beda darinya. Ada aura yang lebih dibanding aura dewi yang kumiliki. Dan aku sangat menginginkannya!
Aku terus mengamati gadis itu yang menyimak dengan serius perkataan sang Piar. Sama sepertiku. Dia berdecak saat seseorang berambut pirang dari Lantholi mengacungkan tangan setelah perkataan sang piar berakhir.
Aku terus memerhatikannya. Hingga perkataan terakhir sang piar menggelitik ruang hatiku.
"Reinkarna Athena, saya harap Anda tunggu di sini."
Aku mengamati gadis itu tetap diam di tempat. Bahkan saat pemuda yang di sampingnya pergi meninggalkannya.
"Hmm... ternyata dia.". Aku tersenyum dan mengikuti pendeta wanitaku memasuki sebuah pintu berukiran lili.
"Baiklah, Reinkarna. Kita akan memulai prosesinya.". Aku mengangguk dan meletakkan tanganku di sebuah piala berbentuk lili yang mekar.
Terserahlah. Mau dia yang paling kuat atau paling dinanti, aku akan menjadi Reinkarna terhebat. Demi Ibuku yang menungguku di Mesir.
Sinar terang dan hangat ke luar dari piala itu dan menyelimuti diriku dengan kedamaian yang selama ini kunanti.
Kau sudah menyadarinya, ya?
Aku mengangguk.
Kau cepat juga, ya? Apa kau siap untuk meleburkan dirimu bersamaku?
Aku mengangguk.
Baiklah. Setiap kecantikan, pesona, dan sihir yang kuberikan padamu memiliki harga. Apa kau sanggup menebusnya?
Aku mengangguk.
Bagus. Tidak sia-sia alam memilihku untukmu. Nah, sebutkan hal pertama apa yang kau inginkan dariku?
Aku diam sejenak. Wajah Ibu terbersit di benakku.
Ibuku adalah wanita paling cantik di Mesir. Namun, dia tidak semesona Selir Hanina atau adikku. Dapatkah kau mengubahku?
Sinar itu menghilang dan aku membuka mataku. "Reinkarna.". Aku menoleh. Sang pendeta wanita menatapku dengan terkejut. "Ada apa, Ozrit?", tanyaku. Sang pendeta wanita Ozrit mengambilkan cermin. "Apa ini aku?", tanyaku seraya meraba wajahku. Ozrit mengangguk. Namun, aku tahu ada yang tidak beres dengan senyumnya.
"Katakan!", kataku yang lebih mirip ancaman di telinganya. "Saya harap, Anda tidak salah meminta permintaan dengan Isis, Reinkarna.". Ozrit menoleh ke atas. Pada gambar Isis yang dipahat dan dilukis di dinding ruangan ini. "Anda bahkan belum mengenal dekat dengannya."
"Aku tak butuh kedekatan. Aku cuma butuh kekuatan.", acuhku. "Nah Ozrit. Berhenti membuat muka seperti itu dan ajari aku sesuatu.", lanjutku.
"Baiklah. Karena Anda telah meminta hadiah persahabatan darinya, saya akan mengajarkan tugas-tugas hariannya.". Aku mengangguk dan menyimak baik-baik apa yang dijelaskan Ozrit.
Isis bukan Athena yang selalu berada di pengadilan langit atau seperti Mut yang melintasi jalanan Mesir bersama Amun dan Ra memberikan kedamaian. Ataupun Thoth yang berada di perpustakaan langit.
Isis. Dewi yang tersenyembunyi di balik punggung suaminya, Osiris yang dikhianati Seth, saudaranya sendiri. Isis. Istri yang begitu setia mencari mayat suaminya dan mendampinginya dalam kegelapan. Meninggalkan posisinya di atas langit menuju gelapnya perut bumi.
Isis. Wanita kuat yang menyembunyikan semua isi hatinya dalam tatapan mata dan senyum yang menipu semua orang.
Isis. Wanita yang bertekad melakukan apa saja untuk bisa mendampingi suaminya. Menerima kemarahan Ma'at dan Mut dengan senyum di wajahnya.
Dia tahu apa yang dia lakukan dan dia bersedia membayar berapapun untuk mendampingi suaminya di perut bumi. Seperti dirinya yang berusaha keras mendampingi Ibunya di bawah bayang-bayang rayuan Selir Hanina pada ayahnya.
"Reinkarna, latihan pengenalan sifat sudah selesai.". Aku mengangkat wajahku. Menatap Ozrit yang tersenyum padaku. "Selanjutnya Anda akan melakukan pelatihan senjata bersama Nakhila.", ujar Ozrit sambil menunjuk seorang pendeta wanita berambut merah yang entah kapan berada di sini.
"Mari, Reinkarna. Kita harus berpindah dari ruangan ini untuk latihan berikutnya.". Aku mengangguk dan mengikuti sang pendeta wanita.
Aku berbalik dan menatap Ozrit yang meraba ukiran Isis di dinding. Aku yakin setetes air mata mengalir di sudut matanya. Aku berbalik dan mempercepat langkahku mengikuti Nakhila.
-------------------------------------------------------------
Oleh Nakhila, aku dibawa ke sebuah padang rumput yang telah didatangi para reinkarna dengan pendeta masing-masing.
Mataku menoleh ke kanan kiri. Di mana gadis golden brown itu?, pikirku sambil menoleh kanan kiri.
"Jika Anda mencari Athena, dia tidak akan bergabung bersama kita.". Aku menoleh ke arahnya. "Darimana kau tahu aku mencarinya?", tantangku. "Reinkarna, perlukah saya mengingatkan kalau kami, para pendeta dahulunya ilshthya para piar yang dulunya para reinkarna?", balasnya yang membuat mulutku bungkam.
Kalau kau cukup beruntung, para reinkarna bersedia memberikan para ilshthya kesayangannya pelatihan khusus yang membuat mereka memiliki kekuatan yang mirip dengan reinkarnanya.
Nakhila menoleh ke depan. Begitu pun diriku. Tapi, di benakku muncul satu pertanyaan. Reinkarna apakah yang dapat memberikan ilshthyanya kemampuan membaca pikiran? Bukankah Reinkarna utama ada 11? Apakah ada Reinkarna lain yang tidak kuketahui?, pikirku sambil menyimak perkataan Piar Nakhtina sebelum memulai prosesi latihan senjata.
Aku menoleh ke arah pintu yang membawaku ke padang ini. Mengapa gadis itu dibuat berbeda hanya karena dia Athena? Dan mengapa Isis tidak? Aku mengepal keras tangan kananku.
-------------------------------------------------------------
"Hah, capeknya!". Aku menghempaskan tubuhku yang terasa penat ke kasur. Sarah, pelayan pribadi sekaligus teman kecilku sedang menyiapkan air hangat di kamar mandi.
"Putri, air Anda sudah siap.". Aku menngangguk dan merentangkan kedua tanganku. Memberi isyarat pada Sarah untuk membuka mantel gaunku.
Sarah dengan telaten membuka pakaianku dan melingkarkan selembar handuk ke tubuhku sebelum menggiringku ke bak mandi.
"Putri, apa yang Anda lakukan?! Kulit Anda kering sekali.", omelnya sembari menggosok pungggungku. "Uh, enak, Sar. Sebelah sini.". Aku mengacuhkan omelannya dan memegangi tengkukku. Memintanya memijit tengkukku.
Sarah menggeleng dan melakukan tugasnya tanpa berhenti menceramahiku.
Setiap aku memakai gaun tidurku atau pakaian lainnya, aku selalu risih dengan tatapan yang diberikan Sarah padaku. Aku cuma berpikir positif. Mungkin dia iri melihat tubuhku yang cocok mengenakan gaun ini mengingat dadanya termasuk (bahkan) rata bagi kaum wanita.
"Hei Sarah,". Aku mendekatkan tubuhku ke wajahnya. Entah kenapa aku selalu suka melihat rona merah di wajahnya. "Kau tidak akan meninggalkanku, bukan?". Aku bisa melihat kebingungan di wajanhya sebelun anggukan pasti dilakukannya. "Bagus.". Aku memeluknya dan tertidur dengan perasaan damai yang jarang kutemui.
-------------------------------------------------------------
Wkwkwk.... selesai juga nih part Shaula. Gemana? Seru gak? Menurut kalian, Shaula dan Sarah ada hubungan khusus nggak?
Jangan lupa vomments ya^€^
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ellysia
FantasyDari dulu... Para nenek moyang kami meyakini... Kekuasan dewa dewi... Akan kembali dan berdiri... Dengan kehadiran reinkarna... Yang membawa ellysia... Untuk menghancurkan Soww, Sang Pengkhianat Dewa Dewi