Part Eleven: Tahta Asgard dan Hati Isis (1)

31 4 0
                                    

"Hah... hah...". Aku menatap lawan di depanku sembari memegang dada kananku yang terluka karena sabetan pedangnua . Kuat juga dia, batinku seraya menatap anak panahku yang tidak ada apa-apanya dengannya.

"Menyerahlah!", ucapnya seraya mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. "Cih, jangan harap!". Aku berusaha mengambil anak panah di tas pinggulku dan terkejut menyadari anak panahku sudah habis.

"Hahaha... kehabisan panah, Anak Muda?", cibirnya seraya tersenyum sinis padaku. "Cih, sial. Apa yang harus kulakukan?!", bisikku seraya melihat tawa kemenangan di wajah lawanku.

"Elzar... Elzar..."
"Ya, Dwinda?"
"Ajarin aku bela diri.", pintaku. "Bela diri? Maafkan aku, Dwin. Tapi, aku belum mau mati karena mengajari anak kepala desa hal-hal aneh.", tolaknya seraya mengacak-acak rambutku. "Kumohon, Elzar. Kalau tidak, Papa tidak akan mengizinkanku ikut perburuannya seminggu lagi.", bujukku dengan wajah memelas. "Hah...". Ia menghela nafas dan itu artinya ia kalah dengan tatapanku. "Aku benci dengan wajah itu.", akunya sementara aku terkikik melihat ekspresinya.

"Namun, karena waktumu sangat sedikit, aku akan mengajarimu serangan paling kuat yang pernah kumiliki."

Entah kenapa kejadian saat aku pertama kali belajar bela diri terlintas di benakku.

"Tapi, tolong. Jangan menggunakannya terlalu lama. Harganya sangat mahal, Dwinda. Kau tahu.", katanya memperingatkan. Aku segera mengangguk mengiyakan agar ia berhenti berceloteh.

"Berjanjilah kau jangan menggunakannya untuk waktu lama.", desaknya.

"Iya, bawel! Buruan ajarin."

Aku menghembuskan nafas. Maafkan aku, Elzar, bisikku seraya mulai memasang posisi kuda-kuda.

"Anak muda, menyerahlah! Tidak ada gunanya memaksakan tubuhmu yang ringkih itu bertarung.", ejeknya.

Aku tidak peduli. Aku akan mengalahkanmu. Aku sudah berjanji. Dan aku tidak akan mundur dari janjiku.

Dwinda... Aku bisa mendengar seruan terharu dari mulut Athena.

"Hyaaa!!!". Aku berlari kencang ke arahnya. "Huft, percuma!". Ia mengangkat tinggi pedangnya dan berusaha menebasku.

"Hyaa!!". Secepat kilat aku menunduk dan menendang pedang di tangannya lalu menyepak kaki kirinya.

"Hyaa!!!". Aku menendang tinggi tubuhnya ke angkasa lalu ikut melompat dan menendang tubuhnya ke bawah.

"Ukha". Darah segar ke luar dari mulutnya. "Hyaaa!!". Ia menoleh dan melihatku mendorong sesuatu ke arah dahinya.

"Ukh...". Ia jatuh dan pecah menjadi butiran debu. "Hah... hah...". Aku menatap dirinya seraya memegang lengan kananku yang gemetar hebat karena melakukannya.

Sebenarnya, aku tidak menyentuh dahinya. Justru selama ini tindakan yang kulakukan untuk mendorong angin agar masuk dan menghancurkan tubuhnya dari dalam. Walau harus mengorbankan lengan kananku untuk mengumpulkan angin, aku cukup puas. Karena sekarang aku bisa melihat wajah bahagia noth sebelum ia menghilang dari hadapanku.

"Selamat, Rein...". Barrier telah diturunkan dan Lezzy terkejut melihat banyak darah menetes dari lubang hidungku.

"Eh, Le...". Aku benar-benar sudah lelah. Hal yang terakhir kutangkap sebelum menggelap ialah suara teriakan panik Lezzy dan sepasang tangan besar yang mengangkatku.

Kumohon. Bertahanlah.

Aku tersenyum dan memejamkan mataku.

-------------------------------------------------------------

The EllysiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang