Part One: The Selection Time

56 5 4
                                    

Saat ini aku sedang duduk di balkon kamarku. Menikmati angin malam yang berhembus dan memainkan gaunku. Untung saja aku melipat kakiku, kalau tidak, aku menoleh pada Elzar yang memejam matanya.

"Enak sekali menjadi cowok. Mereka bisa menang banyak.", ucapku sambil memainkan lengan gaunku.

"Menang apanya, Dwin?". Wajahku memerah saat menyadari betapa dekatnya wajah Elzar denganku.

Tuhan... wajahnya dekat sekali. Kalau aku seberani Virsta, aku pasti bisa menyentuh pipinya itu.

"Malah mandangin. Segitu gantengnya ya aku.". Elzar tertawa melihatku yang memalingkan wajah. Berusaha menutupi pipiku yang semakin memerah.

"Hei Dwin, kalau kau menerima ellysia, apa yang akan kau lakukan?". Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Namun... aku ingin menjadi Athena.". Aku memegang erat bandul kalungku. "Ah, aku tahu alasannya.". Elzar menatap langit berbintang di atas kami. "Kau tahu, Dwin. Menjadi Athena itu, bukan hal yang mudah. Kau tahu kan ellysia Athena belum pernah diturunkan. Apakah kau yakin kalau kau..."

Aku bangkit dan mendelik kesal padanya. "Ih, Elzar jahat! Saat aku yakin, kau menyelepekanku!". Elzar tertawa melihat wajahku. "Hei, aku tidak meremehkanmu dan kalau kau tidak duduk...". Elzar merangkak mendekatiku. "Ngg... El, kau mau ngapain?". Elzar mengernyit. "Tentu saja untuk menengadah dan melihat hadiahku."

"Hadiah?!". Maksudnya? Saat Elzar hendak menengadah saat gaunku hendak mengembang, aku segera menahannya dan melempari Elzar dengan barang di sekitarku.

"Dasar mesum!!!", jeritku sementara tawa Elzar membahana di seluruh dinding rumahku.

"Cih, reinkarna apa yang semesum dia?! Alam pasti salah memilihnya.", ucapku seraya menikmati terangnya bulan malam ini.

-------------------------------------------------------------

Shaula sedang memandangi bulan dari jendela kamarnya. Sejak ia kecil, ia selalu mengagumi bulan. Melihat bulan adalah satu-satunya hiburan dan hobi yang mampu mengubah suasana hatinya.

"Putri, Raja dan Ratu meminta Anda segera berbenah,". Shaula mengangguk saat Sarah datang dan membawa sebuah gaun linen berwarna gading. Gaun itu merupakan gaun favoritnya karena mengekspos bahunya dan menampilkan belahan dada impian para wanita.

Sarah membantu putrinya berbenah. Sampai sekarang, ia akan selalu terpukau ketika melihat gaun itu memeluk erat tubuh Shaula dan menonjolkan...

"Hei Sarah, kenapa kau melihatku seperti itu?". Sarah menundukkan wajahnya. Malu karena ketahuan mengamati tubuh putrinya. "Dari kita kecil, aku selalu heran, mengapa kau mengamatiku?". Shaula mendekatinya dan menarik dagunya dengan jarinya. "Hnnn... kau imut, Sarah!". Shaula memeluk kencang Sarah sebelum berjalan ke luar dari kamar. Meninggalkan Sarah yang mengatur deru napasnya.

"Hampir saja.". Sarah mengelus dadanya dan menyusul putrinya.

Saat pintu besi aula terbuka, semua orang menunduk saat Shaula memasukinya diikuti Sarah di belakangnya. Iris zamrudnya tak lepas dari Tiara, adiknya yang asyik bermain dengan kucing loreng coklat di pangkuannya.

Shaula hanya tersenyum miris. Adik. Hah! Jangan bercanda. Matanya tak lepas dari mimbar, tempat ia selalu duduk bersama ayah dan dua ibunya.

"Salam, Ayah!". Sang raja mengangguk. "Duduklah!", perintah sang raja. Shaula mengangguk dan duduk di samping adiknya.

"Sayang, bukankah hebat kalau anak-anak kita adalah reinkarna?". Shaula memandang bosan Selir Hanina, Ibu Tiara. "Bukankah itu membuktikan kita adalah keluarga yang taat? Terutama Tiara,". Selir Hanina membelai kepala Tiara yang acuh terhadap ibunya. "Dia mendapatkan ellysia Mut. Bukankah itu hebat, Sayang?", lanjutnya yang membuat sang raja tersenyum senang.

The EllysiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang