Part Two: Reinkarna

49 4 0
                                    

"Bangun, pemalas!". Dwinda mengeluh saat dilihatnya Elzar sedang membuka tirai kamarnya. "Ukh El, please banget! Aku ngatuk. Tolong izinkan... hei!". Dwinda memekik saat Elzar menarik keras tangannya dan mendorongnya ke kamar mandi.

"Elzar, tanganku bisa..."

Blam!
Dwinda mengupat pelan saat pintu kamar mandi ditutup keras oleh Elzar. "Damn! Kenapa aku bisa punya teman sefreak dia?!". Dwinda memutar keran air dan masuk ke dalam bath up saat airnya sudah memenuhis setengah bath up.

"Lama amat, Dwin!". Dwinda mendengus pelan mendengar perkataan Elzar. "Senyum, dong. Mungkin aja ada reinkarna yang memilihmu nanti.". Dwinda mendelik mendengar kekehan Elzar.

"Siapa yang akan memilihku, wahai reinkarna?!", balas Dwinda yang membuat tawa Elzar makin membahana.

Mereka pun akhirnya sampai di kuil. Di anak tangga paling atas, Dwinda bisa melihat sang piar sedang menatap para denveer. Di kanan sang piar, beberapa denveer berdiri. Dwinda yakin. Mereka lah reinkarna saat ini karena Elzar berdiri di sana dan melambai memberi semangat padanya.

"Hah...". Dwinda menatap iri pada Elzar yang berdiri bersama reinkarna lainnya. Setidaknya, statusnya jelas. Tidak seperti dirinya dan denveer-denveer ini.

"Sepertinya, reinkarnanya kurang.". Semua mata memandang pada sang piar. Apa maksudnya?!

Dan sebelum Dwinda mampu menemukan jawabannya, telunjuk sang piar mengarah padanya. "Ah, di situ kau rupanya, Athena!". Sontak semua orang mengalihkan pandangannya pada Dwinda yang menunjuk dirinya.

"Naiklah, Athena. Kami semua menunggumu!". Seperti dihipnotis, Dwinda berjalan menaiki undakan tangga kuil. Meski sesekali mendengar umpatan tak suka dari para denveer di sekitarnya.

Apa maksud sang piar? Apa sang piar ingin mempermalukannya? Dwinda tersenyum dan berdiri di samping Elzar yang menatap takjub dirinya.

"Jangan bilang kau sakit karena terpilih menjadi Athena!", bisik Elzar sebelum tongkat sang piar menghantam tanah untuk peleburan diri mereka dengan ellysia mereka.

-------------------------------------------------------------

"Ellysia Mut, menyatulah kepada reinkarnamu!". Aku memejamkan mata saat kurasakan emblem ellysia yang ada di tangan sang piar berpendar. Cahayanya yang terang menyelimutiku dengan damai.

"Tiara, bangunlah.". Aku terbangun dan mendapati seorang wanita dengan gaun tuniknya menghampiriku. Leher wanita itu dihiasi kalung turtleneck yang melebar hingga menutupi dadanya. Mahkotanya yang mirip burung hering bergoyang lembut saat wanita itu menggoyangkan kepalanya.

"Nena!". Aku memekik saat melihat kucing persiaku, Nena berada di pelukan wanita itu. Nena yang menyadari kehadiranku menoleh dan meloncat dari pangkuanya ke diriku. "Nena!". Aku memeluknya erat dan menggelitik pipinya.

"Kau pasti sangat merindukan Nena, bukan?". Aku mengiyakan perkataan wanita itu.

Dia benar. Aku sangat merindukan Nena. Nena adalah kucing persia peliharaanku. Dia adalah pemberian dari kakekku saat aku berusia 4 tahun. Sedari aku kecil, Nena selalu menemani kemanapun aku pergi. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Namun, suatu hari, saat aku berumur 10 tahun, ada seseorang yang salah mengisi piring makannya sehingga Nena ditemukan wafat di samping piringnya.

Saat itu, kehidupanku langsung berubah. Aku tak tahu lagi bagaimana harus hidup tanpa Nena. Kupikir, jika bukan Nena, aku tak mampu menyayangi kucing kembali.

"Kau sudah menyadarinya, ya?". Wanita itu tersenyum dengan tatapan penuh makna. "Nena sangat senang dipelihara olehmu. Dia selalu berceloteh padaku mengenai betapa baiknya dirimu.". Wanita itu menjentikkan jarinya dan...

The EllysiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang