Part Nine: In Servant's Eyes

18 4 0
                                    

Aku sudah lama sekali mengabdi pada keluarga kerajaan. Aku memiliki seorang kembaran yang sayangnya tidak berumur panjang. Waktu kami masih kecil, kami selalu menemani Putri Shaula bermain di taman istana yang besar.

Dulu, Putri Shaula sangat bahagia. Dia lah yang menjadi penyemangat kembaranku untuk berusaha bertahan hidup. Kembaranku memiliki mimpi untuk melihatnya menjadi Reinkarna, walau alam tak mengindahkannya.

Dulu, kami adalah anak kembar beruntung yang bisa melihat raut wajah bahagia sang putri mahkota. Tapi, itu dulu.

Sejak kematian kembaranku, aku melalaikan tugasku sebagai pelayan sekaligus sahabatnya. Aku mengabaikan dia yang terluka saat sang raja memutuskan menikahi seorang penari, hadiah dari Tuan Fahzan untuk ayahnya.

Andai aku bisa kembali. Aku akan menyuruh dia untuk meruntuhkan senyum yang terukir di wajahnya. Anda boleh menipu semua orang, Putri. Tapi, tidak denganku. Aku akan memintanya untuk menangis meraung di hadapan sang raja. Karena, Putri Shaula tetaplah permata di hati ayahnya. Hingga sekarang, meski ia tak menyadarinya.

Aku ingin berkata demikian. Namun, rasa duka atas kehilangan kembaranku menutup ruang-ruang hatiku untuk membantu sang Putri. Aku tahu. Ia akan kecewa. Namun, bagaimana lagi? Aku juga masih sedih dengan kenyataan kembaranku yang meninggalkanku.

Aku terus berada di sampingnya. Melihat ekspresi wajah yang ia paksakan bahagia saat pernikahan ayahnya berlangsung. Wajahnya tetap tersenyum. Namun, tidak dengan matanya. Sorotan matanya mendingin saat Permaisuri Dewi menangis dalam diamnya saat melepas kapal suaminya untuk melakukan prosesi pernikahan di Sungai Nil.

Aku tahu. Telinganya memerah dengan hebat namun ditutupi jalinan keramik kecil dari mahkotanya. Aku tahu. Sang Putri tetap menengadahkan kepalanya ke atas. Sembari menatap ke lautan diiringin lidah-lidah tajam di belakang punggungnya.

Aku terus berada di sampingnya. Berusaha menyembuhkan luka hatinya yang semakin menganga ketika istri kesayangan ayahnya melahirkan seorang putri ke dunia. Aku tertegun. Bukan karena kecantikan bayinya. Tetapi karena perlakuan sang raja yang begitu berbeda dibanding saat permaisuri melahirkan.

Saat Putri Shaula lahir, Mesir sedang mengalami masa krisis karena adanya pemberontakan dari paman sang putri. Menyebabkan sang raja bertempur di tengah gurun. Meninggalkan sang ratu yang berjuang antara hidup dan mati di atas ranjang bersalinnya. Cukup miris jika dibandingkan dengan saat ini dimana sang raja memilih menyerahkan tanggung jawab pengamanan pada jendral terbaiknya, sementara ia menemani istri keduanya di ruang bersalin. Mengapa ia tak melakukannya juga saat Putriku lahir?!

Aku menemani Putriku ke dalam kamar bersalin. Menemaninya yang tersenyum saat mengucapkan selamat pada ayah dan istri barunya atas kelahiran anak mereka. Ia juga menggendong anak mereka. Meski aku tahu. Ia mati-matian menahan hasrat untuk tidak menghempaskan bayi malang itu ke tanah.

Aku hanya tersenyum miris sembari membalas perkataan yang dilontarkan Putriku dalam senyum dan tawa getirnya.

Aku berusaha menenangkan tangisnya setelah kami tiba di kamar. Aku membawa dia dalam pelukanku. Membisikkan kalimat semangat agar ia kuat menghadapinya.

Aku menyelimuti dirinya yang terlelap akibat lama menangis. Aku menatap wajahnya. Aku tidak pantas menjadi pelayannya! Aku tidak pantas mengucapkan kalimat itu setelah pengacuhan yang kulakukan.

Setiap hari, semua kulewati dengan senyuman dan rasa bersalah pada kembaranku dan sang putri. Pada kembaranku karena tidak mampu menjaga perasaan sang putri dan larut dalam kesedihanku. Pada sang putri karena tidak menaninya dalam keadaan tersusah hidupnya.

"Sarah!". Aku berjalan terburu-buru mendengar pekikannya di suatu pagi. "Apa itu merah-merah di kasur?", tanyanya sambil bergidik ketakutan. Aku berjalan menuju kasurnya dan melihat bercak darah yang cukup banyak di kasurnya. Pipiku memerah apalagi melihat kepolosan dirinya yang tidak tahu makna dari darah di kasurnya.

"Putri, coba Anda balik badan.". Ia pun membalikkan badannya. Aku tersenyum melihat noda yang sama di belakang gaunnya.

"Putri, selamat! Anda sudah dewasa saat ini. Saya akan meminta Mina untuk membersihkan Anda.", kataku. Ia menggeleng. "Mengapa tidak kau, Sarah? Bukankah selama ini kau yang melakukannya?", tanyanya yang menbuat mulutku bungkam.

"Anu... eto... ngg...". Aku menatap sang putri yang menuntut penjelasan dariku. Apa yang harus kukatakan?! "Ngg... begini Putri, saya sedang mengalami hal yang sama dengan Anda. Jadi, tidak boleh membersihkan Anda.", jelasku berusaha mengendalikan jalaran hangat di pipiku.

"Oooo.... begitu. Baiklah.". Aku mengangguk dan pamit memanggilkan Mina untuk membersihkannya.

Setelah memanggil Mina, aku pergi ke kamarku yang berada di samping kamarnya.

"Ini salah!". Aku mengusap wajahku frustasi sembari memegangi dadaku yang berdebar kencang.

Sejak saat itu, aku sungguh tidak mampu mengendalikan perasaanku. Aku terus berperan seperti ini sambil berusaha menahan diriku ketika ia menggodaku atau sengaja berganti pakaian di depanku.

Dan...

Andai Putri Tiara tidak terkesiap, mungkin aku sudah melakukan ...

"Akh!", erangku frustasi sambil mengacak-acak rambutku. Aku menuju toilet dan membasahi wajahku dari keran. Aku menatap pantulan diriku di cermin.

"Dasar lancang! Kau kira kau siapa, hah?", ucapku pada pantulan diriku. "Kau pikir kau siapa, hah?! Dasar brengsek!". Aku memukul keras wastafelku.

Aku pun ke luar dan menghempaskan tubuhku ke atas kasurku. Aku memejamkan mataku dan bersyukur alam mengirimkan Putri Tiara untuk menghentikanku.

-------------------------------------------------------------

"Pagi, Putri.", sapaku keesokan harinya pada Putri Tiara yang asyik bermain di taman belakang kuil. Harus kuakui. Aku mengharapkan Putriku bisa serajin Putri Tiara untuk bangun pagi.

Putri Tiara terkejut melihat wajahku. Ia menyunggingkan senyum tipis sebelum berkata pagi, meski sorot matanya tidak dapat membohongiku.

"Anda tak perlu berusaha ramah denganku, Putri.". Senyum memudar dari wajah Putri Tiara. "Saya tidak yakin apakah senyum itu selaras dengan tatapan yang Anda berikan pada saya.". Wajah Putri Tiara menggelap mendengarnya.

"Apa maksudmu?", bisiknya sembari menatap tajam padaku dari bulu matanya. Maaf saja. Tatapan Anda tidak mampu membuatku ketakutan seperti tatapan Putriku.

"Saya harap, Anda menjauh dari Putri.", kataku. "Karena, Anda dan Ibu Anda sudah terlalu banyak menambah cuka pada luka Putri yang belum mengering.", lanjutku. Meninggalkan Putri Tiara yang tertegun menatap punggungku.

-------------------------------------------------------------

"Putri... Putri...". Aku berbisik lembut di telinga Putriku sembari mengguncang pelan tubuhnya. Sehabis dari taman belakang, aku membawa kakiku ke kamar Putriku. Membangunkannya agar tidak telat mengikuti latihan.

"Ukh, kumohon. Sebentar lagi, Sar.", igaunya sembari memeluk erat lenganku. Nafasku tercekat. Jarakku dengan Putriku hanya beberapa senti dan aku bisa menjulurkan jariku. Menelusuri tulang pipinya yang tinggi, bentuk mata yang tajam dan menggoda, serta ...

Aku menggoyangkan kepalaku saat mataku bersibobrok dengan bibir merahnya yang ranum. Membayangkan manisnya bibir itu saat bertemu dengan bibirku. Menggigitnya dan menjadikannya milikku.

Stop! Rrfleks aku menampar diriku. Apa kau gila?! Belum saatnya kau melakukannya, jerit nuraniku sembari menelusuri wajah damainya saat terlelap.

Ya. Biarkanlah. Aku bisa menahannya. Penantian dan kesabaranku tak akan berakhir sia-sia. Aku tersenyum sembari membereskan anak rambut yang menutupi wajahnya.

-------------------------------------------------------------

The EllysiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang