Setelah pidato yang cukup melelahkan kaki untuk berdiri, aku dibawa pendeta wanitaku, Maya ke sebuah ruangan dengan pintu berlambang kucing.
Saat pintu terbuka, mulutku terbuka bukan karena shock. Melainkan bahagia melihat banyaknya kucing yang berkeliaran di dalamnya. Beberapa pendeta wanita tersenyum sembari bermain dengan kucing yang ada.
"Wah, Anda penggemar kucing, ya?". Aku mengangguk. Membenarkan pernyataan Maya. "Hmm... sebelumnya, maukah Anda menyentuh kotak ini sebelum kita memulai latihan Anda?", tanyanya sembari menyodorkan sebuah kotak eboni berornamen emas di pinggirnya. Aku mengangguk dan menyentuhnya. Cahaya menyilaukan ke luar dari kotak dan menutupi pandanganku.
"Putri,". Aku membuka mataku dan tersenyum mendapati Nena berdiri di hadapanku. "Apakah Putri ingin bertemu dengannya?". Aku mengangguk. "Wah, sayang sekali. Beliau sedang tidak ingin bertemu siapapun.". Aku menundukkan wajah kecewa. "Tapi, jangan khawatir, Putri. Beliau sudah mengamanatkan sesuatu pada saya.". Nena menarik tanganku menuju sebuah gazebo yang ditutupi kelambu. "Silahkan.". Nena menyibakkan kelambu. Mengisyaratkan aku masuk ke dalam. Aku mengangguk dan masuk ke dalam.
Saat kelambu di tutup, bagian dalam gazebo langsung berubah menjadi ruangan bercahaya yang absurd. Aku menoleh kanan kiri. Apakah aku akan menjadi haunt?! Apakah aku melakukan kesalahan?!
Aku berlari ke segala arah. Berteriak minta dibukakan pintunya. Aku terus berteriak hingga sebuah erangan kesakitan mengalun di telingaku.
"Ah!". Aku bergegas menghampiri seekor kucing yang meringkuk di pojok ruangan. "Apakah kau terluka?". Kucing itu mengeong. Seolah membenarkan perkataannya kalau ia terluka. "Kemarilah, sayang. Aku akan menyembuhkanmu.". Aku membawa kucing itu ke dalam pelukanku dan mengeluarkan sebuah toples kecil dari tas pinggangku. Aku mencari luka pada tubuh kucing malang ini dan menemukannya di dekat pergelangan kakinya. Aku mengoleskannya dengan hati-hati. Berusaha dia tidak kesakitan dan mencakar balik diriku.
"Nah, sudah siap.", seruku kegirangan sambil mengelus lembut punggungya. Kucing itu menggeram. Seolah-olah menikmati elusanku yang membuatku tertawa. Biarlah. Kalau aku memang harus ditahan di sini. Aku akan melakukannya. Setidaknya, ia berbaik hati memberiku seorang kucing menemaniku di sini.
Apa kau sebegitu putus asanya untuk tidak kembali?
Aku tertegun dan menoleh ke kanan kiri. Siapa yang berbicara?!, pikirku ketakutan.
Hnn... aku berbicara dalam pikiranmu, sayang. Mengapa kau seputus asa itu untuk tidak kembali?
Aku menunduk. Sang kucing mengeong karena aku menghentikan elusan di punggungnya secara tiba-tiba.
Aku? Tidak ingin kembali?! Banyak alasannya dan itu... susah kujabarkan.
Benarkah? Apa kau ingin mengecewakanku? Setiap rintangan kehidupan yang kau temui pasti ada jalan ke luarnya. Apa kau mau menyerah sebelum menemukan jalannya?
Aku menggeleng pelan. Tidak. Tentu saja. Tapi, jika aku kembali...
Apa yang kau takutkan jika kau kembali? Kau Reinkarnaku, bukan? Situasi apapun yang kau hadapi, aku akan selalu berada di sampingmu. Bukankah selama ini kau selalu menemani hewan kesayanganku dan melawan segala macam badai yang ada karenanya?
Aku tersenyum. Membenarkan pernyataannya. Kau benar. Aku belum bisa menyerah sekarang. Aku masih ingin melakukan hal yang belum pernah kulakukan pada seseorang.
Bagus. Nah, letakkan kedua tanganmu di dada.
Aku mengangguk dan mengikuti instruksinya. Seketika cahaya ke luar dari telapak tanganku dan saat aku membuka mata, posisiku sama persis saat Maya mengulurkan sebuah kota kayu eboni padaku.
"Apakah Anda telah bertemu dengannya?". Aku mengangguk. "Wah, ternyata benar. Aura Anda berbeda dari sebelumnya.". Aku tersenyum mendengar perkataan Maya. "Baiklah. Karena Anda telah melakukan pelatihan sifat dengan baik. Naya, kembaran saya, akan melatih Anda dengan pelatihan senjata.", ujarnya pada seorang pendeta wanita yang wajahnya sama dengannya.
"Mari, Putri.". Aku mengangguk dan mengikuti Naya ke luar dari ruangan ini. Melewati sebuah lorong panjang di hiasi taman bunga menuju sebuah padang rumput yang sudah diisi oleh beberapa Reinkarna lainnya.
"Rizal!". Aku melambai pada seorang pemuda yang asyik membaca buku. Rizal menoleh dan melambai saat menemukanku berlari menghampirinya. "Sejak kapan kau ada di sini?", tanyaku sembari mendaratkan pantatku di sampingnya. "Kurang lebih 1 jam, Putri.", jawabnya. "1 jam?!", pekikku. Rizal mengangguk. "Benar, Putri. Bukankah setiap Reinkarna memiliki pelatihan sifat yang berbeda?". Aku mengangguk. Membenarkan perkataan Rizal yang tenggelam lagi dalam buku yang dibacanya.
"Hei Rizal,". Ia menoleh padaku. "Apakah kau melihat Kakak?", tanyaku penuh harap. "Saya ingin menjawab iya, Putri. Tapi, sedari tadi, saya belum melihat Kakak Anda.", jawabnya lalu kembali membaca bukunya. Aku menghela napas panjang. Apakah pelatihannya berjalan lama?
Aku terus menunggu sambil duduk di samping Rizal. Perhatianku teralih saat seorang wanita yang kukenal berjalan ke mari dengan seorang pendeta wanita.
"Ka..."
"Saya sarankan agar Anda tidak mendekati Kakak Anda.". Aku menatap tajam pada Rizal yang menutup bukunya. "Apa maksudmu?!", tanyaku sengit. "Saya sarankan agar Anda tidak mendekatinya jika Anda ingin jiwanya tidak tenggelam dalam kegelapan.", jawabnya. "Bagaimana mungkin? Jangan bergurau!", ucapku lalu bergegas menghampiri kakakku yang seperti mencari seseorang di sini.
"Kakak!", panggilku. Ia menoleh. Aku berharap ia tersenyum. Seolah dia mengharapkan kehadiranku. Namun, helaan napas kecewa ke luar darinya. Meruntuhkan senyum yang terukir di wajahku. "Mencari siapa, Kak?". Aku tersenyum sambil menoleh kanan kiri. "Kakak mencari seseorang. Tapi, dia tidak akan bergabung dengan kita hari ini.", jawabnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Piar Nakhtina yang mulai memberikan kata sambutan.
-------------------------------------------------------------
Saat ini, aku sedang berjalan di sebuah lorong kuil menuju kamarku. Badanku terasa penat dan lelah sekali setelah berlatih. Saat melewati kamar kakak. Aku tertegun melihat adegan yang kulihat.
Tidak mungkin?! Aku membekap mulutku dan mempercepat langkahku menuju kamarku.
"Apa-apaan tadi?!", ucapku gusar. Aku mengunci pintu kamarku dan menghempaskan tubuhku ke kasur.
Jangan dekati dia jika kau tidak ingin ia tenggelam dalam kegelapan!
Aku mengacak-acak rambutku. Merasa terganggu sekaligus khawatir dengan perkataan Rizal yang terngiang di telingaku.
Apa yang dimaksud dia dengan kegelapan? Apa dia merupakan kegelapan yang akan menenggelamkan Kakak?!, pikirku. Aku menghela napas dan memejamkan mata.
Siapa Reinkarna di sini yang dapat membantuku? Mataku melebar saat teringat pada seorang gadis berambut golden brown yang tidak beranjak dari aula.
Aku harus bicara dengannya!
-------------------------------------------------------------
Yey! Selesai juga nih chapter. Gemana? Kalian penasaran nggak dengan apa yang diliat Tiara dan maksud perkataan Rizal? Hehehe... jangan lupa voments ya!^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ellysia
FantasyDari dulu... Para nenek moyang kami meyakini... Kekuasan dewa dewi... Akan kembali dan berdiri... Dengan kehadiran reinkarna... Yang membawa ellysia... Untuk menghancurkan Soww, Sang Pengkhianat Dewa Dewi