Lelaki bertubuh tegak itu memasukan koper hitam ke dalam bagasi mobil yang sudah menunggunya. Flight dari Austria memakan waktu berjam-jam hingga tiba di negeri asal. Matanya masih sembab karena peristiwa seminggu lalu ketika nenek meninggalkannya. Seorang perempuan berambut panjang dengan tas hitam yang tengah dijinjingnya sudah masuk ke dalam mobil sedan tersebut.
Lelaki itu masih berdiri memandang keramaian bandar udara hari ini. Terpaan angin malam menyentuh tubuhnya yang berbalut jaket cokelat. Angin yang sudah cukup lama tak pernah ia rasakan kembali.
"Akhirnya gue balik ke Jakarta."
***
Sifa mengaduk cappucino hangat yang kemudian diseruputnya. Rasa manis cappucino mampu membantu Sifa menulis sajak yang tengah dibuatnya. Sifa menulis sajak-sajaknya rapi di sebuah buku berwarna cokelat muda. Baik sajak buatannya maupun sajak buatan orang lain. Sastra seperti sudah mendarah daging di dalam tubuhnya.
Kafe lindap. Hanya nama itu yang tercantum pada papan kecil di pintu masuknya. Desain kafe yang classy, alunan musik klasik dan jazz serta suasananya yang tentram, membuat Sifa betah berlama-lama di sini untuk menulis sajaknya. Entah apa yang akan terjadi jika ia menulisnya di rumah. Rumah bagaikan neraka untuknya.
Cewek berambut panjang dengan kunciran kuda, kacamata yang super tebal, kancing baju dikait sampai atas dan masuk kelas percontohan, sepertinya sangat menggambarkan karakter Sifa yang lugu. Cewek pendiam yang sangat menyukai sastra.
Dentingan halus mulai berbunyi kesekian kalinya. Seorang cewek bergaya modern muncul dari balik pintu dan sibuk memilih meja yang cocok untuk di dudukinya.
Ribet banget sih! Serunya dalam hati. Sifa memang kurang suka kepada orang yang ribet dan banyak omong. Apalagi kalau orang yang baru saja ia kenal.
Dentingan halus kembali berbunyi. Kini, muncul seorang lelaki bertubuh tinggi membawa gitar di tangannya. Lelaki itu duduk di meja 6. Yap, sebelah meja Sifa.
"Duh, apalagi kata yang cocok ya? Engga biasanya gue susah buat bikin sajak." Keluh Sifa sembari menyeruput cappucino-nya.
Lelaki di sebelahnya mulai membunyikan senarnya. Petikan demi petikan yang dimainkannya cukup membuat Sifa jengkel karena mengganggu konsentrasinya membuat sajak. Sifa hanya menatapnya sinis. Lelaki itu balik menatap Sifa. Bukannya balik menatap sinis, lelaki ini justru tersenyum kepadanya.
Senyum-senyum engga jelas! Dasar aneh!
Lagi-lagi Sifa menggerutu dalam hatinya. Lelaki itu menambah volume-nya memetik gitar-membuat kemarahan Sifa mulai memuncak pada level waspada.
"Lo tau kan ini kafe lindap? Engga boleh nimbulin suara yang keras-keras kayak petikan gitar lo! Diem!" Seru Sifa sambil menggebrak mejanya. Sontak, laki-laki itu terkejut dan hanya menatap Sifa. Pengunjung seisi kafe memperhatikannya.
"Maaf." Ujar lelaki itu yang kemudian bangkit dari kursi dan keluar membawa gitarnya. Hanya satu kata itu saja yang dikeluarkan dari mulutnya. Sikapnya masih membuat Sifa jengkel sebenarnya.
Syukurlah, dia pergi. Kini aku bisa melanjutkan membuat sajak kembali.
Sifa tersenyum sinis, kemudian melanjutkan sajak yang sedari tadi belum juga ia selesaikan.
[*]
Alhamdulillah ujian nasional terakhir hari ini berjalan lancar. Doain ya semoga saya dapat nilai yang maksimal hehe.
Alhamdulillah juga, ini part akhirnya saya upload. Silahkan tinggalkan komentar dan vote. Terima kasih.
Design cover by cttnxcandy (kontak dia kalau mau pesan design cover wattpad).
Lindap : (Menurut KBBI)
Redup; samar; sejuk; teduh, dll.
.
.
Part selanjutnya saya update sesuai partnya kapan selesai ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Divergensi [DISKONTINU]
Novela JuvenilKehilangan seorang sahabat membuat sebuah lubang hitam dalam hidup Sifa. Walaupun lubang-lubang hitam lainnya sudah tercipta oleh orang tuanya, ia tetap merasa terpukul kehilangan satu-satunya sahabat. Fandi, kakak kelas yang ditaksir Sifa selalu me...