Detik menitku selalu aku persembahkan untukmu.
Akal, pikiran dan perasaan aku korbankan untukmu.
Untukmu yang takkan pernah kembali kepadaku.
Lengkungan pelangi itu taakan pernah datang.
Jika awan ini masih saja menunggu kehadiranmu.
***
Sifa menyelipkan rambut sebelah kanannya ke balik telinga. Ia menutup buku cokelatnya dan mengusap kalung dengan kayu berbentuk persegi panjang bertuliskan inisial nama Sifa dengan-nya yang bergantung di lehernya-I & K. Titik air mulai membasahi sampul buku cokelat. Semakin lama, aliran air bening itu semakin banyak sampai-sampai ia harus mengusap matanya beberapa kali.
Sayangnya hanya kalung ini saja yang ia miliki untuk mengingat dia. Sebenarnya ada satu lagi benda yang berhubungan dengan-nya. Namun benda itu disimpan oleh-nya. Entah benda itu kini berada di mana.
Kalung ini sebenarnya milik dia. Sifa mencurinya. Bukan berniat jahat. Tapi Sifa ingin ada satu benda yang akan selalu mengingatkannya pada dia sebelum dia pergi meninggalkan Sifa. Meninggalkan Sifa sampai sekarang.
Hujan di luar masih menjatuhkan airnya. Sejak tadi siang, hujan tak kunjung berhenti hingga langit mulai menggelap. Hujan seperti tak tahu waktu kapan ia harus menurunkan airnya dan kapan harus berhenti.
Sama seperti Sifa yang tak pernah tahu kapan ia harus terus mengharapkan kepulangan dia atau justru harus berhenti mengharapkannya dan mengubur semua kenangan selama beberapa tahun ini. Entahlah, hujan hanya mengerjakan tugas yang diberikan tuhan kepadanya. Ia pasrah dengan apapun yang terjadi. Yang ia tahu, tuhan akan memberikan lengkungan warna-warni di awan setelah ia mengerjakan tugas yang diberikan tuhan kepadanya.
***
Panggung dengan desain era tahun 90-an sudah menyambut Sifa. Yap, dekorasi era 90-an memang terkesan unik dan klasik. Spanduk besar sudah terpasang rapi sebagai background panggung. Beberapa instrumen musik pun ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi. Sound system dan kabel-kabel bertebaran di belakang panggung. Kursi-kursi besi sudah tertata rapi-berbaris menghadap panggung. Namun orang-orang masih sibuk menata panggung agar ketika pembukaan nanti tidak ada masalah dengan sound system dan beberapa properti lainnya.
Sifa masih berdiri di koridor lantai satu menghadap lapangan-tempat acara pembukaan pentas seni hari ini-dengan tas ranselnya yang masih di punggung. Ia mengamati orang-orang yang sibuk mengurus panggung untuk pembukaan hari ini. Siswa dan siswi yang berlalu-lalang di hadapannya melempar tatapan bingung terhadap Sifa.
Ngapain dia berdiri di situ ngeliatin orang nata panggung?
Begitulah kiranya batin mereka yang melempar tatapan bingung. Sifa tak peduli dengan tatapan itu. Bahkan, ia mungkin tak pernah peduli keadaan sekitarnya. Ia bukan anak yang mudah bersosialisasi.
"Sif, kok lo masih di sini? Eh... Itu tamu-tamunya baru pada dateng tuh! Liat deh! Dari SMA sebelah. Anjir cowoknya ganteng-ganteng!" Suara Hana yang mengejutkan dan terlalu tiba-tiba datangnya, membuat Sifa memejamkan mata. Pekikan suara Hana tak kalah keras dari suara mikrofon yang tengah digunakan Pak Tedi untuk mengetes suaranya.
Sebenarnya apa yang membuat mereka menjadi sepasang sahabat? Padahal jika kepribadian Sifa dan Hana dibandingkan, mereka memiliki banyak perbedaan. Sifa? Pasif dan tak banyak orang yang mengenalnya. Berbeda dengan Hana yang banyak mengenalnya. Jangankan siswa dan siswi sekolah ini, pelajar dari sekolah lain sudah pasti mengenalnya. Dia memang sering gonta-ganti pacar, baik dari sekolahnya sendiri maupun sekolah lain. Hana termasuk kategori anak famous di SMA Harapan Jaya. Entahlah hingga saat ini, Sifa belum juga mengetahui alasan Hana ingin menjadi teman dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Divergensi [DISKONTINU]
Teen FictionKehilangan seorang sahabat membuat sebuah lubang hitam dalam hidup Sifa. Walaupun lubang-lubang hitam lainnya sudah tercipta oleh orang tuanya, ia tetap merasa terpukul kehilangan satu-satunya sahabat. Fandi, kakak kelas yang ditaksir Sifa selalu me...