2| Lomba Puisi

174 19 0
                                    

Keramaian sekolah Harapan Jaya menyambut kedatangannya. Tubuhnya tegap namun dengan tubuh yang tak begitu tinggi, penampilannya tetap terlihat cantik. Rambutnya tergerai lurus dan sempurna. Tulang pipinya dapat terlihat jelas dan kulit putihnya terlihat cukup bersinar. Sepertinya itu semua dapat menggambarkan fisik seorang Sifa Serena Leandra.

Siswi yang terkenal paling kalem seantero sekolah. Ia bukan tipe perempuan yang mudah membicarakan orang seperti perempuan pada umumnya. Menurutnya, itu hanya membuang-buang waktu saja. Ia lebih suka menyendiri di pojok kelas atau perpustakaan dengan buku cokelat dan bolpoinnya. Gadis pecinta sastra ini tak mudah bergaul. Ia tak memiliki banyak teman atau sahabat. Sifa hanya memiliki satu orang teman dekat.

"Sif! Lo udah denger kabar belum?" Seorang perempuan muncul dari balik pintu kelas Sifa. Sifa mendesah berat. Ia hanya menggidikan dagunya sambil mengangkat kedua alisnya. Perempuan itu kemudian melangkah menghampiri Sifa yang tengah duduk lemas di kursi sambil menggores tinta bolpoin di atas buku cokelat. Hana membawa dua lembar brosur di tangannya

"Kabar apa, Han?" Sifa menutup buku cokelat ketika Hana duduk di kursi sebelahnya. Hana memutar bola matanya kemudian memandang Sifa dengan intens. Yang dipandang mengerjapkan matanya dan mendengus.

"Minggu depan sekolah kita akan ngadain pensi! Banyak lomba-lombanya Sif. Sastra ada juga kok." Raut wajah Hana seketika berubah ketika ia menyampaikan kabar tersebut. Kini ia terlihat begitu bersemangat. Sementara Sifa hanya mengangguk datar. "Oh ya, ini dibuka untuk umum. I mean, SMA lain boleh ikut join juga. Nih brosurnya!" Hana menyodorkan salah satu brosur yang sedari tadi sudah dipegangnya.

"Gue mau ngajak siapa? Temen gue aja cuman lo doang." Sifa memindahkan posisi tasnya dari atas meja ke kaki meja dan memasukan buku cokelat beserta bolpoinnya ke dalam tas. Ia memandang isi brosur tersebut. "Wah iya nih, ada lomba cipta puisi. Uhm... ikut engga ya?" Sifa mengusap janggut imajinernya.

"Ikut aja kali Sif. Cobain dulu. Siapa tau lo menang? Ya secara, tiap hari lo pasti nulis sajak, puisi, cerita atau entahlah di buku cokelat lo itu. Gue yakin lo menang deh." Hana mengembangkan senyuman manisnya. Sementara Sifa mengerutkan dahinya-masih ragu.

"Tapi kan saingan gue bukan dari sekolah ini aja Han. Di sekolah lain pasti banyak yang lebih hebat dari gue." Sifa masih belum yakin dengan usul dari Hana. Menurut Sifa, jika harus melawan siswa atau siswi di sekolahnya, mungkin saingannya lebih mudah. Namun bagaimana jika harus melawan sekolah lain? Apa dia memiliki kesempatan untuk menang?

"Yang penting lo yakin dulu. Kalau udah yakin, apa sih yang gak mungkin?" Hana mengerjapkan matanya beberapa kali. Hana memandang mata Sifa. Ia dapat melihat kilatan di mata Sifa yang tenang namun kuat. Hana mengetahui apapun tentang Sifa. Makanan kesukaan, berapa lama Sifa menjawab pesan dari Hana, hobi-hobi yang disukai Sifa, sampai orang yang Sifa sukai pun Hana mengetahuinya. Hanya dua yang tidak diketahui Hana. Masa lalu Sifa dan keluarganya.

Menurut Hana, Sifa bukan tipe orang yang mudah menceritakan privasinya tentang keluarga dan masa lalu. Sifa lebih memilih menyimpannya sendiri di dalam hati dan mulai melupakan semuanya perlahan. Walaupun Sifa tak pernah bisa melupakannya. Bahkan, setiap menit dan detik ia selalu mengingat masa lalunya yang,... ah sudahlah. Membayangkannya saja ia tak pernah mau-walau bayangan masa lalu itu selalu muncul secara mendadak di pikirannya-,apalagi harus menceritakan kepada orang lain.

"Iya deh. Lo mau ikut lomba apa Han?" Sifa meletakan brosur-yang sedari tadi dipandangnya itu-ke atas meja. Hana menghembuskan nafas berat kemudian memperhatikan isi brosurnya. Ia tersenyum dan mengangguk-angguk. Sifa tidak tahu pasti apa yang sedang ada di pikiran sahabatnya ini.

"Gue ikut lomba nyanyi aja kali ya?" Pandangan Hana masih terpaku pada brosurnya. Sifa memutar matanya kemudian menggeleng takzim.

"Yaelah, lo malah nanya gue. Nyanyi? Kan ada solo, vokal grup, dan band. Lo mau yang mana?" Tanya Sifa sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga.

"Gue vokal grup aja kali ya? Sama Jessica dan Abel. Menurut lo gimana?" Hana menoleh ke arah Sifa-menunggu pendapat dari sahabatnya itu. Sifa hanya mengangkat satu alisnya. Kemudian menggidikan bahunya sekali.

"Terserah lo aja." Hana mengernyitkan dahinya. Ia mendengus kesal. Bagaimana tidak? Tadi Hana sudah memberikan pendapat kepadanya mengenai lomba puisi. Kini ketika Hana bertanya pendapat Sifa, ia hanya mengatakan 'terserah' sambil menggidikan bahunya saja. Hana memang sudah terbiasa dengan sifat Sifa yang dingin seperti ini. Namun apakah salah jika Hana bosan dengan gidikan bahu yang sering ditunjukan Sifa kepadanya itu?

"Kata temennya Fandi, dia ikut lomba nyanyi lho! Nge-band gitu sama geng-nya." Tubuh Sifa menegang. Nafasnya sedikit tercekat. Ia berusaha menelan saliva-nya walau terasa sedikit sakit di kerongkongan. Keringat dinginnya muncul tanpa diaba-aba dan jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya. Hal ini selalu terjadi ketika seseorang menyebut nama Fandi dan ketika lelaki itu sedang berdiri di sebelahnya atau bahkan hanya sekadar berbicara dengannya.

"Yaudah bagus deh. Nanti pas gue selesai lomba, gue bisa langsung duduk di depan panggung buat ngeliat lo tampil dan sekalian ngeliat dia tampil." Bahkan untuk berbincang mengenai orang yang disukainya saja, Sifa masih terlihat dingin dan acuh. Entah apa yang bisa membuat gadis ini tersenyum atau tertawa seperti dulu. Lagi-lagi masalahnya hanya ada di masa lalu.

Tak berapa lama kemudian, bel berbunyi sangat nyaring. Membuat siswa dan siswi seantero sekolah berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Perbicangan mengenai pentas seni sekolah sudah usai. Namun pikiran Sifa masih belum menyudahinya.

Gimana kalo papa tau gue ikut lomba puisi gini?

Pemikiran itu ia tangkis dengan cepat. Lagi pula, papa tak akan mungkin mengetahui perlomban puisi ini. Siapa yang akan membertahunya? Guru? Bahkan wali kelas Sifa saja tak pernah kenal dengan papanya. Untuk bagi rapot Sifa saja, papa tak pernah ingin mengambilnya. Apalagi hanya sebatas lomba puisi tingkat sekolah seperti ini saja?

[*]

Happy reading! Maaf jika membosankan. Ada kritik dan saran? Silahkan comment. Dan jangan lupa vote cerita saya.

Divergensi [DISKONTINU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang