3| Dejavu

119 20 2
                                    

Lelaki itu masih memetik gitarnya dengan serius. Namun sesekali ia menyesap kopi yang dipesannya. Kemudian beralih kembali pada gitar yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Matahari sudah melewati puncaknya. Masih siang, namun segerombol awan hitam memayungi bumi Jakarta. Sampai akhirnya, turunlah rintik-rintik hujan dari langit. Ia meletakan gitarnya di sebelah kaki meja. Matanya masih sibuk melihat keluar jendela. Seperti sedang menunggu seseorang.

Semoga lo dateng. Batinnya.

Sudah 2 jam ia di kafe Lindap dan sudah menghabiskan 2 cangkir kopi. Memang tidak baik mengkonsumsi kafein berlebihan. Namun jika bukan karena menunggu gadis itu, ia tak akan mengkonsumsi kopi sebanyak ini.

Dentingan halus berbunyi. Arka segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk.

"Sif-Sif-a ...," rupanya bukan. Ia memasang earphone di telinga dan memainkan jemari tangannya. Pandangannya kembali ke arah jendela. Melihat butiran air hujan yang mengetuk-ketuk jendela kefe. Ia menopang dagunya sambil melihat rintikan hujan yang membasahi jendela kafe. Pikirannya menerawang jauh dan membawanya kepada kejadian beberapa tahun silam itu. Ia meraba lehernya kemudian tersenyum penuh arti.

***

"Ken! Tunggu aku!" Perempuan itu berlari sekuat tenaga mengejar sahabatnya. Kenan berhenti berlari ketika menyadari Ifa mengejarnya. Keceriaan menyelimuti mereka berdua. Rintik-rintik hujan yang menghujam tubuh mereka, tak berpengaruh apapun pada hati mereka. Hanya ada kesenangan dan keceriaan. Hanya itu.

"Fa, kamu ngga dimarahin mama hujan-hujanan begini?" Kenan kecil menoleh ke belakang. Kini Ifa sudah berdiri di sebelahnya. Ia hanya tersenyum lebar kemudian menggelengkan kepalanya.

"Eh engga tau deh. Kamu sih ninggalin aku di sekolah." Ifa mengerutkan dahinya. Kendaraan berlalu lalang di sebelah mereka. Trotoar sepi akan pejalan kaki yang memilih mengurungkan niat mereka keluar dari rumah karena hujan yang cukup lebat hari ini.

"Nanti kamu sakit lho!" Seru Kenan dengan semangat. Mereka melangkahkan kaki menuju halte bus dekat sekolah. Seragam mereka sudah lepek. Kenan sama sekali tak terlihat kedinginan. Sementara Ifa tubuhnya terlihat sedikit bergetar.

"Ka-kamu juga nanti sakit kalau hujan-hujanan." Ujar Ifa di sela-sela gemertak giginya-menahan dingin. Kenan menyadari tubuh Ifa yang sedikit bergetar. Ia memeluk Ifa erat sekali. "Kamu ngapain meluk aku Ken?" Ifa tak membalas pelukan Kenan.

"Kamu kedinginan, Fa. Aku gak mau kamu kedinginan." Ujar Kenan sambil menampilkan senyumannya kepada Ifa.

"Kamu emang gak kedinginan?" Kini Ifa membalas pelukan sahabatnya itu. Kenan terkekeh sedikit kemudian menggelengkan kepalanya. Ifa sempat menautkan alisnya-heran. "Oh iya, kata mama kamu, arti namamu hujan. Pasti kamu tahan ya sama hujan."

"Iya. Itu kamu tau! Masih kedinginan Fa?" Kenan melonggarkan sedikit pelukannya yang diiringi gelengan kepala Ifa. Senyuman Ifa terpancar dari wajahnya. "Yuk kita pulang! Aku mau langsung les gitar sebentar lagi."

***

"Buku lo." Seseorang menyodorkan buku-yang sangat Arka kenali-tepat di depan matanya. Semua lamunannya buyar begitu saja. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali dan memundurkan tubuhnya -menjauhi buku itu-sedikit. Kemudian kepalanya mendongak ke atas.

"Akhirnya lo dateng juga!" Arka mengambil buku yang disodorkan Sifa. Senyumnya mengembang sempurna. "Makasih Sif! Sumpah gue kira bukunya hilang." Arka memeluk buku kesayangannya dan memejamkan mata-saking senangnya. Sifa mengulas senyuman tipis kemudian duduk di seberang Arka. Gadis itu merebahkan badannya dan meletakan ranselnya di kaki kursi. Sifa masih terbalut dengan seragam sekolahnya yang sedikit basah karena air hujan. Arka mengerutkan dahinya-melempar tatapan heran.

Dia duduk di depan gue? Bukannya kemarin masih sewot banget ya? Aneh. Batin Arka sambil menggelengkan kepalanya takzim.

"Lo kelas berapa?" Sifa menghembuskan napasnya berat. Ia memandang Arka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lelaki itu berseragam putih abu-abu sama sepertinya.

"Kelas 11. Lo juga?" Arka bertanya kembali. Yang akhirnya hanya dibalas anggukan kepala Sifa tanpa senyuman sedikit pun. "Rambut lo basah tuh, seragam lo juga sedikit basah. Lo gak bawa payung apa?"

"Basahnya sedikit doang. Gue pake payung kali. Kalo engga, ya lepek pastinya." Sifa membelai rambutnya yang basah. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Seketika tubuhnya bergetar. Bibirnya membeku-pucat.

"Lo kedinginan?"

Mengapa lelaki ini masih harus bertanya?

"Yaiyalah, masa kepanasan sih!" Sifa mengernyitkan dahinya. Mata Arka dan Sifa sempat bertemu. Arka melihat ketenangan di mata Sifa. Namun semua ketenangan itu terasa seperti kebohongan belaka. Tersimpan sejuta makna pada ketenangan yang terpancar dari mata Sifa.

"Pake." Arka menyodorkan jaket hitamnya kepada Sifa. Yang diberikan jaket hanya diam dan tetap bergeming.

"Gak usah makasih." Jawab Sifa ketus. Ia menampilkan senyuman sarkastis. Sementara Arka membalas dengan senyuman tulusnya.

"Lebay lo. Ambil cepet!" Sifa memutar bola matanya kemudian mengambil jaket hitam Arka. Ia memakainya dengan hati-hati. "Abis ngasih jaket hitam gue, terus kita janjian makan malem, dan ujungnya kita pacaran. Drama banget asli." Gurau Arka sambil sedikit terkekeh. Ia ingin mencairkan suasana saat ini. Atmosfer sedingin es selalu muncul ketika dirinya sedang bersama Sifa. Gadis yang satu ini memang sangat dingin. Seperti suasana hujan saat ini.

"Apaan sih? Basi banget modus lo." Sifa memunculkan cengirannya sambil memutar bola matanya. Setelah itu, suasana menjadi canggung kembali. "Lo suka musik ya? Bisa main gitar juga?"

"Akhirnya lo ngomong lagi. Gue gak tau mau ngajak ngomong lo apa. By the way, iya gue suka banget musik. Bisa main gitar? Ya lumayanlah, dulu gue pernah les gitar gitu." Mata Sifa melotot. Dadanya menyempit seketika. Alisnya saling bertautan.

Kenapa setiap ngobrol sama lo, gue selalu inget dia sih? Batin Sifa.

"Lo kenapa Sif? Kok kayak kaget gitu?" Arka mendekatkan wajahnya ke wajah Sifa. Ia menatapnya heran. Sifa hanya menggelengkan kepalanya sambil menyesap cappucino­-nya yang baru saja di antar sang barista. Sementara Arka mengatupkan mulutnya dan memilih diam.

Kok gue ngerasa dejavu ngeliat Sifa kedinginan gini? Batin Arka.

[*]

Yak gue ngerti part ini pendek banget. Sebagai gantinya, pasrt selanjutnya gue publish besok siang deh. Gimana?

Jangan lupa vomment-nya ya :)

Divergensi [DISKONTINU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang