1| Buku dan Secangkir Cappucino

231 21 0
                                    

Awan hitam menghalangi sinar mentari yang sedari tadi menghangatkan bumi. Sambaran petir mulai bersahutan. Lelaki itu mempercepat langkahnya. Ia segera merapatkan jaketnya dan berlari kecil. Hari ini mobilnya baru saja akan diambil usai sekolah. Perbaikan mobil akibat kecelakan yang menimpa sepupunya, rasanya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sial.

Hujan langsung mengguyur tubuhnya sebelum dirinya sampai ke bengkel mobil. Ia berlari secepat mungkin menuju halte bus terdekat untuk sekadar berteduh.

"Gue nunggu sampe ujan selesai nih? Yaelah." Lelaki itu memeluk tubuhnya sendiri ketika angin-angin mulai bertiupan. Ia melihat ke sebelah kiri halte. Seorang gadis berbalut seragam sekolah yang serupa dengannya tengah berdiri dengan rambut yang sedikit basah dibagian bawahnya. Ia pun menghampirinya untuk sekadar menghilangkan bosan sambil menunggu hujan reda. "Hai. Lo siswi sekolah gue juga kan?"

"Iya." Gadis itu menoleh kemudian gelagatnya sedikit gugup. Ia mampu menangkap kilatan gugup pada mata sang gadis.

"Gue kehujanan nih. Mobil lagi di bengkel hehe. Lo kehujanan juga?" Tanya sang lelaki. Ia menunjukan senyuman tipis yang mampu membuat jantung lawan bicaranya berdegup semakin cepat.

"Lumayan sedikit. Tapi gue dijemput sih kayaknya. Mau pinjem payung gue gak?" Sang gadis mengeluarkan payung lipat dari dalam tas kemudian menyodorkan payung tersebut kepadanya. Awalnya sang lelaki sedikit segan untuk menerima payung yang disodorkan gadis di hadapannya. Namun ia harus segera mengambil mobilnya di bengkel agar mama bisa mengunakannya kembali. Setelah mengucapkan terima kasih dan mengambil payung yang tadi disodorkan, sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Sang gadis berjalan mendekati mobil dan membuka pintunya.

"Nama lo siapa?" Tanya laki-laki tersebut sebelum sang gadis masuk ke dalam mobilnya.

"Sifa."

***

"Kamu kemana saja Mas? Jam segini baru pulang?"

"Ini bukan urusanmu!"

"Saya tahu Mas pergi lagi dengan perempuan itu kan?"

"Sudah kubilang bukan urusanmu!"

Prangg!

Sifa menutup telinganya keras-keras. Ia tak pernah ingin mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Ia sudah muak mendengar dialog yang setiap malam selalu bertema sama.

Sudah lama Sifa berniat untuk pergi dari rumah ini. Rumah yang bukan surganya, tapi nerakanya. Namun, bunda selalu menahan Sifa untuk pergi karena beliau tak ingin ditinggal sendiri oleh anak kesayangannya. Sifa sering berpikir bahwa ini hanya mimpi saja. Keluarga yang menyebalkan dan abang yang jarang sekali ada di rumah. Namun, ketika ia menyadari bahwa ini bukanlah mimpi, ia pasti menangis dan berharap pada tuhan agar kesengsaraan ini cepat berakhir.

Sifa mencoba mengendap-endap keluar dari rumah bersama buku cokelat kesayangannya menuju kafe Lindap. Lebih baik ia menghabiskan waktu bersama musik klasik, buku cokelat dan secangkir cappucino sampai pagi daripada harus menggila karena mendengar kedua orang tuanya bertengkar.

"Yes! Berhasil!"

***

20.35

Angka itulah yang muncul di jam digital Sifa ketika ia mulai menyeruput cappucino-nya. Rasanya gadis ini sudah terkena candu cappucino. Hanya cappucino yang selalu ia pesan di mana pun dan kapan pun. Tapi untuk malam ini, rasa cappucino-nya sedikit berbeda.

"Pait banget deh! Kurang gula nih." keluh Sifa sambil membersihkan mulutnya dari sisa cappucino yang sangat pahit. Sifa pun bangkit dari duduknya dan menghampiri mas-mas penjaga kasir.

Divergensi [DISKONTINU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang