"Jadi Fandi ini anaknya teman nyokap gue, Sif. Yang tadi siang gue bilang, ada anak temannya nyokap yang ultah, ya dia ini. Anjir gue kira si Fandi-Fandi itu siapa. Taunya dia. Lo kenapa gak bilang gue sih?" Arka terkekeh sambil melirik gadis yang bersanding di sebelahnya. Sementara Sifa melirik Arka dengan tatapan tajam.
Nih anak ngapain ngomong gitu sih? Nanti dikira gue sering cerita-cerita soal Fandi ke dia. Waduh bisa ketauan nih.
"Emangnya Sifa pernah cerita tentang gue ke lo, Ka?" Fandi mengulas senyum tipis di wajahnya. Sifa sedikit takut dengan jawaban yang akan dilontarkan Arka selanjutnya. Tanpa disadari, pelipisnya sudah penuh dengan cucuran keringat dingin. Seperti biasa, jantungnya berdegup begitu cepat. Hawa panas mulai menjalar ke pipinya sehingga menimbulkan rona merah di sana.
"Wah jangan salah. Sering banget, Fan. Tiap ketemu di kafe, pasti topik utamanya itu lo," ujar Arka polos—tanpa rasa bersalah. Ia hanya tergelak bersama Fandi. Sementara gadis di sebelahnya mengutuk Arka dengan sumpah serapah yang hanya diucapkannya dalam hati.
"Apa sih, Ka? Gak sering-sering juga. By the way, ini Kak hadiahnya. Sorry nih gue cuman bisa kasih itu aja. Semoga sih lo suka." Sifa mengalihkan topik pembicaraan yang sedari tadi terasa begitu memojokkannya. Ia menyodorkan sebuah kotak—berwarna cokelat tua dengan riasan pita putih di atasnya—kepada Fandi seulas senyuman tipisnya.
"Wah thanks lho, Sif. Padahal pas ulang tahun lo, gue gak ngadoin apa-apa. Kapan dirayainnya Sif? Biasanya kan anak-anak cewek suka ngadain party gitu buat sweet 17th mereka," ujar Fandi diiringi dengan kekehan dari Arka. Senyuman Sifa memudar usai mendengar ucapan Fandi barusan. Kepalanya sedikit tertunduk. Fandi mengecilkan volume kekehannya kemudian mimik wajah cerianya berganti menjadi perasaan bersalah. Apa kalimat barusan menyinggung Sifa?
Mana bisa papa ngebuat pesta ulang tahun buat gue?
"Eh Sif, sorry-sorry gue salah ngomong ya? Gue cuman bercanda kok. Sorry ya!" seru Fandi dengan nada suara paniknya. Sifa kembali mengangkat kepala dan menyunggingkan senyuman manisnya seraya mengangguk. "Mmm ... yaudah langsung gue mulai aja ya pestanya."
***
Acara bernyanyi bersama dan tiup lilin berjalan lancar serta cepat. Beberapa keluarga, saudara, dan kerabat Fandi tengah mencicipi cheese cake yang tersuguh indah di meja yang sengaja diletakan di hadapannya. Sementara Sifa dan Arka sudah memisahkan diri dari acara pembagian potongan kue yang masih berlangsung. Wajah gadis itu masih berseri-seri mengingat kejadian yang baru saja dialaminya sambil terus menyantap potongan kuenya bersama Arka.
"Ciailah! Iya deh gue paham yang dikasih potongan kue ketiga sama Fandi mah. Yaelah gue mah apa atuh belum dapet," gurau Arka sambil mengoyak kue milik Sifa yang memenuhi ruang mulutnya. Sifa menyambut gurauannya dengan sebuah gelakan tawa yang menghiasi wajah. Membuatnya terlihat semakin cantik di balut dress putih-nya.
"Bisa aja lo! Yang penting gue baik kan sama lo. Gue mau ngebagi kue yang udah gue dapet. Lagian kok bisa ya dia ngasih potongan kue ketiganya buat gue? Kenapa gak yang pertama atau kedua?" tanya Sifa sambil mengetuk-ketuk sendok kecilnya di dagu. Arka mendesah panjang.
"Yailah, yang penting udah dikasih kue sama dia, Sif. Lagian yang pertama sama yang kedua kan buat orang tuanya. Ye kali dia ngasih lo dulu baru orang tuanya. Yang ada dia jadi anak durhaka. Lagian lo juga sampe dikenalin ke orang tuanya segala kan? Bersyukur Sif." Arka—yang gemas melihat tingkah gadis di sebelahnya—mencuil sedikit hidung Sifa yang sedikit mancung. Gadis itu tidak membalas apapun, ia hanya bergeming menatap Arka.
Kenapa dia hobi banget noel-noel idung gue?
"Sifa! Sifaaa! Lo jangan bengong kenapa sih! Itu cewek siapa deh? Kok dia kayaknya deket banget sama Fandi?" Teriakan Fandi membuat Sifa terkejut seketika.
Gadis itu memang melihat seorang perempuan dengan setelan dress maroon dan high heels hitam tengah memberikan sekotak kado dan pelukan kepada Fandi. Mata Sifa yang awalnya terlihat berbinar-binar, berubah sinis seketika. Ia mengerut kan dahinya sambil menggelengkan kepala. "Nah lho nah lho! Sifa ada saingan," ujar Fandi menunjuk-nunjuk wajah Sifa dengan telunjuknya.
"Apa sih berisik!" Sifa menyingkirkan telunjuk Arka dari hadapannya. Cheese cake yang tengah berada di telapak tangannya pun terjatuh dan mengenai dress putihnya. Ia membungkukan badannya dan mulai membersihkan noda yang tertinggal di pakaiannya secepat mungkin. Melihat hal tersebut, Arka ikut membungkukan badannya dan membantu Sifa membersihkan noda di dress-nya.
Mata Arka membulat ketika dirinya melihat sebuah kalung yang menguntai indah di leher Sifa. Lelaki itu sedikit terkejut ketika menyadari insial yang tercantum pada kalungnya. Ia menegakkan tubuhnya kembali dan membisu sambil terus terpaku pada kalung tersebut.
"Ah gak bisa dibersihin. Yaudah deh di rumah aja." Sifa kembali menegakan tubuhnya dan menyadari bahwa lelaki yang berdiri di hadapanya tengah diam membisu seperti patung. Ia pun mengerutkan dahi kemudian menggerakan lima jarinya di depan wajah Arka. "Lo kenapa, Ka?"
"Itu ... itu kalung lo ... dari ... dari siapa?" tanya Arka sambil menunjuk kalung di leher Sifa. Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia hanya meraba kalungnya kemudian menyembunyikannya di balik dress putih.
"Dari ... dari orang tua gue. Emang kenapa?" Bibir Sifa bergetar namun tak begitu kentara. Ia menggigit bibirnya kemudian mengulas senyuman tipis. Arka menghela napas panjang diiringi dengan senyuman yang juga mengulas di wajahnya.
Gue kira, inisial di kalungnya itu nama gue sama Ifa.
***
Malam semakin larut. Jam dinding kamar Sifa menunjukan pukul 10 malam namun dirinya baru tiba di rumah. Ia melepas flatshoes hitamnya kemudian mengganti dress putih dengan piyama tangan pendek.
Gadis itu merebahkan tubuhnya diranjang kemudian memejamkan matanya sejenak untuk sekadar menghilangkan lelahnya malam ini. Ponsel Sifa yang terletak di atas nakas tiba-tiba saja bergetar dua kali. Ia kembali membuka matanya kemudian melihat notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya.
New message! (1)
LINE
You have a new message! (2)"Jam segini siapa yang sms sama nge-line gue ya?" tanya Sifa sambil bersandar pada bantal yang sengaja sudah ia tumpuk dengan guling. Ia membuka notifikasi LINE terlebih dahulu. Sebuah pesan dari Hani berada yang paling atas.
Hani : Sifaaaa! Lo tadi kok pulangnya cepet banget, udah mana engga negor gue lagi. Parah lo
Sifa : Tadi gue gak ngeliat lo
Hani : Mentang-mentang lagi berdua sama gebetan lo yang baru, trus lo lupa sama gue?
Sifa : Gebetan yang mana? Yang tadi berangkat bareng gue?
Hani : Iyelah siapa lagi sifa cantikk
Sifa : Itu teman gue kali. Namanya Arka.
Hani : TEMAN LO? Berarti gue boleh ngedeketin dong? Ganteng banget anaknya.
Sifa : Heh inget lo udah taken. Teman gue masih mau diambil
Hani : Yailaah. Cie tadi yang dapet potongan kue ketiga dari Fandi. Udah gitu dikenalin ke nyokapnya juga lagi. Hmm... bentar lagi ada yang jadian kayaknya nih.
Sifa : Aamiin.Disusul pesan dari Fandi di bawahnya.
Fandi : Kok pulang duluan Sif?
Sifa : Iya tadi baju gue kotor kena kue. Jadi buru-buru pulang deh. Maaf ya gak sempet pamit.
Fandi : Iya gapapa kok. Tadi padahal ditanyain mama.
Sifa : Titip salam aja buat tante Doris.Dilanjutkan dengan pesan singkat yang juga ikut mampir ke ponselnya.
From : Arka (teman)
10.17 PM
Thanks buat malem ini Sif. Btw gue suka kalung lo.Sifa tidak menjawab. Ia hanya mengunci ponselnya, memadamkan lampu kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil sedikit berbisik di antara semilir angin dari pendingin ruangan.
Kenapa lo segitu kagetnya ngeliat kalung gue, Ka?
[*]
Yaps akhirnya update juga hehe. Maaf yaa late update terus, soalnya gue lagi banyak banget tugas:( sorry jugaa kalo aneh alurnya. Udah lama gak nulis, berasa kaku banget gue hehe. Tapi jangan lupa di vote sama comment ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Divergensi [DISKONTINU]
Teen FictionKehilangan seorang sahabat membuat sebuah lubang hitam dalam hidup Sifa. Walaupun lubang-lubang hitam lainnya sudah tercipta oleh orang tuanya, ia tetap merasa terpukul kehilangan satu-satunya sahabat. Fandi, kakak kelas yang ditaksir Sifa selalu me...