"Lho, anak Papa mau ke mana nih?" Seorang laki-laki berdada bidang dan postur tubuh menjulang ke atas baru saja menutup pintu mobil sedannya. Dengan setelan kemeja yang sudah sedikit lecek, Papa menghampiri anak bungsunya yang kini tengah tersenyum memandangnya.
"Ifa mau ketemu Kenan, Pa. Katanya Kenan ingin menunjukan sesuatu padaku. Semoga aja dia mau ngasih aku boneka baymax yang lebih besar dari ini," ujar Ifa sembari menunjukan boneka baymax ukuran kecil yang tengah di peluknya. Sebuah kekehan kecil keluar dari mulut Papa ketika menyaksikan anak bungsunya masih saja bertingkah manja padahal sudah duduk di kelas 6 SD yang lusa akan diadakan acara wisuda.
"Sayang, Kenan ingin melanjutkan sekolah di mana katanya?" tanya Papa sembari menyejajarkan tingginya dengan anak bungsunya itu. Lawan bicaranya menampilkan senyum lebar di wajah. Seperti sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Papa.
"Katanya, Kenan mau masuk ke sekolah yang sama kayak aku, Pa!" Semangat Ifa seketika membara setiap mengingat kebersamaannya dengan Kenan. Karena hanya dia yang selalu menghapus setiap air mata yang mengalir di pipi Sifa. Dan hanya senyuman Kenan yang mampu menjadi penyemangat Sifa setiap harinya. Ia selalu berharap kebersamaannya dengan Kenan tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun. Padahal tanpa ia sadari, Kenan bisa pergi kapan saja. Entah sebatas beda tempat atau bahkan beda dunia.
Setelah mendekap tubuh anak bungsunya, Mama menghampiri Papa dan mengajaknya untuk segera menyantap masakan Mama atau hanya sekadar membersihkan diri dan beristirahat di kamar. Sementara Ifa segera mengendarai sepeda putihnya menuju rumah Kenan.
***
Desiran angin AC di sudut kamar kecil Ifa mampu membuatnya sedikit kedinginan. Sesekali Ifa mengeratkan dekapannya di balik mantel sambil terus menyeka air mata yang mengalir di pipi mungilnya. Tak bisa dipungkiri, hatinya sangat hancur mendengar kalimat perpisahan yang diucapkan Kenan tadi sore. Rasanya seperti mimpi saja. Seseorang yang selama ini selalu hadir di saat dirinya meneteskan air mata akan segera berangkat ke Austria usai acara wisuda untuk tinggal di sana dalam jangka waktu yang cukup lama. Ifa yang masih berumur 12 tahun sangat terpukul akan kehilangan sahabat terdekatnya. Bahkan ia sudah menganggap Kenan sebagai saudara kandungnya sendiri.
Berteman dengan Kenan membuat Ifa merasa bahwa kesedihan tak pernah menghampiri dirinya. Seakan hanya kegembiraan dan kesenangan yang selalu dirasakannya. Mungkin hanya sebuah foto berbingkai yang akan dipandangnya ketika ia merindukan Kenan atau hanya seuntai kalung berinsial yang akan selalu menemani harinya tanpa Kenan. Kalung yang tadi terjatuh ketika Kenan tengah berlari ke rumahnya usai dirinya mengatakan perihal kepergiannya pada Ifa.
Nenek dan Kakek Kenan tinggal di Austria. Kakek memang seorang pekerja keras dalam bidangnya sebagai pianis yang cukup terkenal di daerahnya. Riwayat penyakit jantung yang dimiliki Kakek tidak membuatnya pasrah pada keadaan dan hanya berbaring lemah di atas kasur melainkan ia sering menyibukan dirinya dengan berbagai kegiatan positif termasuk berolahraga.
Kemarin usai Kakek tampil di atas panggung sebuah acara musik, jantung Kakek berkontraksi sangat hebat yang membuatnya tidak sadarkan diri. Dengan cepat, orang-orang membawanya ke rumah sakit terdekat. Namun semuanya terlambat. Alat monitor yang dipasang oleh dokter menggambarkan sebuah garis lurus dan bunyi yang cukup mengganggu telinga. Hal itulah yang mengharuskan Kenan pergi ke Austria dan tinggal di sana untuk menemani sang nenek yang tinggal seorang diri. Cukup mendadak dan cukup menyedihkan juga memang untuk Kenan. Namun anak berumur 12 tahun itu tidak bisa melakukan apapun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Austria.
"Kenapa mendadak banget sih, Ken? Ifa mimpi kan pasti?" Gadis itu memeluk kedua lututnya dan menundukan kepala, menahan kesedihan yang rasanya tidak mampu lagi dikeluarkan oleh air mata. Berbagai potongan memori dengan Kenan melintas di otaknya dengan cepat. "Apa kebersamaan kita secepat itu, Ken?"
***
"Fa... Ifa... Bangun dong!"
Sebuah tangan mungil mengguncangkan tubuh Ifa beberapa kali dengan diiringi suara cempreng khas yang sangat Ifa kenali. Ifa masih dapat mengenali dengan benar aliran darah yang mengalir dalam tangan seseorang yang sedari tadi berusaha membangunkannya dari tidur. Usai membuka lebar-lebar matanya, ia cukup terkejut mendapati seorang Kenan tengah duduk di sampingnya tepat di sisi ranjang sebelah kanan.
"Ken? Kamu ngapain di sini? Kamu bukannya harusnya berangkat ke bandara jam 11 ya?" Gadis mungil itu berusaha bangkit dari kasurnya dan memasang tatapan heran. Sementara lawan bicaranya hanya mengulas senyum tipis sembari mengusap pelan rambut Sifa.
"Ah sekarang masih jam 10 Fa. Lagi pula Kenan masih mau ketemu Ifa dulu. Kenan gak tau kapan Kenan bisa ketemu Ifa lagi." Kenan mengulas senyuman tipis di wajahnya yang sukses membuat lawan bicaranya beurai air mata. Dengan sekejap, Ifa menghapus air matanya dan mulai beranjak dari ranjang. Ia menghampiri meja belajarnya dan memberikan sebuah kertas berwarna hijau turquois—warna favorite Kenan sepanjang masa—yang sudah dilipat rapi dan beberapa lembar foto yang disisipkan Ifa di dalamnya. Hal itu sukses membuat dahi Kenan mengkerut. Penasaran.
"Simpan ini ya Kenan. Bacanya kalau Kenan udah sampe sana aja ya. Kalau Kenan kangen Ifa, Kenan bisa ngeliat foto-foto kita di sini juga. Ifa mau Kenan berjanji dua hal...," Ifa sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Alis sebelah kanan Kenan mulai naik perlahan. Namun tetap menampilkan kesan seseorang yang tidak rela berpisah dengan sahabatnya sendiri. "Jangan pernah lupain Ifa ya Ken. Sahabat Ifa satu-satunya cuman kamu. Kedua, kalau nanti Kenan udah besar lalu Kenan pulang ke sini, Kenan harus jadiin Ifa orang pertama yang Kenan temuin. Janji?"
Kenan mengait jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik Ifa yang sudah mengacung di depan matanya. Dengan berat hati, Kenan kembali menunjukan senyuman tipis sembari meletakan kedua telapak tangannya di atas pundak Ifa.
"Kenan...sayang sama Ifa." Dengan segera, Ifa memeluk sahabatnya itu dengan sangat erat sembari menahan genangan sungai bening yang kian menumpuk di kelopak matanya. Untuk beberapa saat, Kenan mendengar Ifa terisak di dalam dekapannya. Dadanya terasa sesak. Sesak sekali melihat Ifa meneteskan air mata karena dirinya. Jantungnya pun terasa berdegup lebih cepat ketimbang biasanya. Terkadang Kenan berpikir bisakah ia kembali melihat senyuman sahabatnya itu atau sekadar mendengar gurauannya sembari bernyanyi bersama di balkon rumah Kenan. Sementara itu, di hati yang lain terbesit sebuah kalimat yang sulit diucapkan. Namun selalu terpatri dalam hati. Dan bagi siapapun yang mendengarnya, mungkin sulit untuk percaya.
Sembari terus menguatkan dirinya agar air itu tidak kembali menetes, diam-diam Ifa meraba benda yang melingkar di lehernya. Benda yang tersembunyi di balik baju yang tengah digunakannya.
"Selamat tinggal Kenan. Sampai jumpa... sahabatku."
[*]
Jangab lupa di vote&comment yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Divergensi [DISKONTINU]
Teen FictionKehilangan seorang sahabat membuat sebuah lubang hitam dalam hidup Sifa. Walaupun lubang-lubang hitam lainnya sudah tercipta oleh orang tuanya, ia tetap merasa terpukul kehilangan satu-satunya sahabat. Fandi, kakak kelas yang ditaksir Sifa selalu me...