See How Much I Love You (The First Kiss)

611 26 5
                                    



OoOoOo


"Ya sudah tinggal jawab jujur saja."

"Oke-oke. Aku gak ikut-ikutan Laura kali ini, soalnya aku dimarahin Kak Dicky dan dilarang Kak Dicky buat bantuin Laura lagi sejak tadi siang. Memang malam ini Laura dan Kak Tania bertemu di restaurant dekat kantornya Kak Tania." Papar Novi yang membuat Rangga kini mulai emosi. Kedua rahangnya mulai mengeras mendengar informasi yang disampaikan oleh istri dari sahabatnya ini.

"Kenapa Dicky sekarang melarang kamu? Bukannya kalian berdua itu salah satu pihak yang tidak mendukung hubungan kami? Bahkan kalian membenci Tania."
Rangga mengeluarkan nada ketusnya yang menyeramkan. Bisma dan Dina yang sempat mendengar kalimat ini yang baru saja terlontar langsung meringis takut dan pura-pura tidak mendengar.

"Ya entahlah. Kak Dicky tadi siang katanya ditelpon sama Kak Tania buat minta nomor ponsel Laura. Kak Dicky sempet gak mau ngasih, tapi Kak Tania katanya sih ngancem Kak Dicky, jadinya dia kasih deh nomor ponsel Laura. Maybe suamiku ketakutan kak, makanya dia melarangku untuk mencelakai Tania lagi. Kata suamiku, tadi siang Kak Tania benar-benar menyeramkan." Jelas Novi membuat Rangga kini semakin penasaran, semarah apa gadisnya sampai Bibah dan Novi bercakap bahwa Tania terlihat menyeramkan.

"Oke makasih ya atas infonya. Salam buat suami kamu."

"Sipp kak! Maaf ya kak aku selama ini jahatin calon istri, kakak. Aku mulai sadar, Kak Tania sebenernya gak salah. Kak Tania itu sebe---"

"Minta maaflah pada Tania, jangan sama kakak. Wassalamualaikum."

Tanpa mendengar jawaban salam dari Novi, Rangga langsung mematikan ponselnya. Kedua matanya kini menatap ke arah Bisma dan langsung menatap wajah sahabatnya itu dengan sendu.

"Tania emang malam ini bertemu Laura. Di restaurant deket kantor lo."

"Serius?"

"Iya, tadi Novi bilang begitu."

"Berarti Tania bertemu di restaurant waktu dia dan Tante Yudith bertengkar, ya?"

"Maksud lo?"

Bisma langsung tersadar akan ucapannya yang tidak bisa dijaga. Bisma mengutuk dirinya bodoh di dalam hati. Kenapa harus Rangga di hadapannya? Padahal Ia tidak mau membeberkan masalah ini pada Rangga, karena takut ada apa-apa dengan hubungan Rangga dan mamih tersayangnya itu.

"Ah enggak kok." Jawab Bisma dengan cengiran khasnya. Rangga langsung menatap Bisma dengan tatapan intimidasi.

"Kita keluar sebentar. Gue mau ngomong sama lo, Bis."

Rangga melangkahkan kakinya untuk berjalan meninggalkan kamar rawat ini terlebih dahulu. Bisma menghela nafas dalam dan meringis takut. Bagaimana ini?

Bisma menatap istrinya yang kini masih menatapnya tajam. Pria ini menunjukkan jarinya yang berbentuk 'v' walau dibalas Dina dengan cibiran tanpa suara.

"Tanggung jawab sama apa yang sudah diucapkan." Ujar Dina singkat. Bisma semakin meringis, Ia pun kini melangkah untuk meninggalkan kamar rawat ini.

"Sebenarnya ada apa, Dina?"

Kania sedari tadi hanya mendengar dan menatap ketiga manusia yang dekat dengan Tania dalam diam tanpa mengerti maksud dari semuanya. Dina langsung tersenyum kikuk.

"Bukan apa-apa, bunda.. Bunda gak usah khawatir.."


***
Pernah kehilangan harusnya mampu menjadikanmu belajar arti dari mempertahankan.
***


#

"Lo gak berniat nyusul Tania? Gue takut mereka bertengkar disana."

Bisma menatap Rangga yang sudah duduk di bangku yang ada di depan kamar rawat Bibah. Lelaki ini hanya berdiri dan tak berniat duduk. Entahlah, Ia grogi kali ini. Ia takut Rangga mengintrogasinya karena mulutnya yang tak bisa dikunci dahulu saat di dalam tadi. Bisma rasa mending Ia berdiri, karena kalau Rangga nanti mengamuk, Ia langsung bisa berlari ke dalam dan meminta pertolongan kedua orang tua Tania. Oke, ini memang terlalu berlebihan.

"Percuma gue nyusul ke restaurant itu sekarang, nyatanya ini udah lewat dari setengah jam. Belum pergi kesananya, memakan waktu setengah jam lagi."

"Dan gue yakin Tania bukan tipikal orang yang mau ngobrol lama sama musuh bebuyutannya." Lanjut Rangga. Bisma menghela nafas pelan setelah mendengar jawaban Rangga, mengapa Ia sekarang mencemaskan Tania ya?

"Terus, kenapa lo nyuruh gue kesini?" Tanya Bisma dengan cueknya. Sebenarnya ini hanya berbasa-basi untuk Bisma, namun karena suasananya yang tidak enak, makanya Bisma menanyakan pertanyaan konyol ini. Pertanyaan yang mestinya Bisma sudah tahu sendiri jawabannya.

"Ceritain semuanya." Ujar Rangga sambil menatap Bisma dengan tatapan intimidasi. Bisma menghela nafas lagi.

'Mampus lo, Bis! Punya mulut kadang remnya suka blong mendadak.'

"Ceritain yang mana?" Pertanyaan konyol itu kembali terucap dari mulutnya. Bisma hanya bisa meringis dalam hati.

"Lo itu bodoh atau mau mancing emosi gue, Bis?" Ujar Rangga semakin dingin. Kedua matanya memang tak memandang Bisma lagi, tetapi aura intimidasinya semakin terasa di kulit Bisma.

"Hehe iya-iya damai deh!"

"Kasih tau gue apa yang terjadi antara Tania sama mamih gue."

"Oke-oke."
Bisma untuk ketiga kalinya menghela nafas setelah berucap tadi. Sumpah demi apapun, suasana seperti ini memang sangat membuat keringat keluar begitu saja.

"Dua hari yang lalu, gue sama Dina lagi makan di restaurant deket kantor. Gak tau sih awalnya kayak gimana, yang pasti emang waktu itu kayak ada yang teriak. Gue liat sama Dina. Dan itu yang teriak mamih lo."

"Mamih gue teriak? Tania berbuat apa sampe mamih gue teriak?"
Rangga terdengar cemas menjawab pernyataan Bisma tadi. Bisma menghela nafas pelan sebelum menjawab.

"Gak tau. Tapi sih gue liat Tanianya tenang-tenang aja."

"Gue emang harus ketemu Tania."
Bisma mengerutkan dahinya saat Ia mendengar nada bicara Rangga yang menjadi terdengar ketus. Apa sahabatnya ini menyalahkan Tania? Andai Rangga tahu, dirinya tidak bisa menceritakan yang sebenarnya. Bisma takut, Bisma takut nanti Rangga dan Yudith malah bertengkar akibat masalah ini.

"Kenapa lo? Marah sama Tania?" Tanya Bisma akhirnya. Rangga melirik Bisma sekilas lalu menengokkan kepalanya kembali ke arah depan.

"Gak sih. Kesel aja. Lagi ngapain dia sampe buat mamih teriak kayak gitu. Kasian mamih, Bis.." Jawab Rangga dengan nada dingin. Bisma yang tadi menatap Rangga kini ikut mengikuti arah pandangan Rangga.

Andai dia bisa berucap tanpa rasa ragunya, Bisma pasti akan langsung bilang, 'Tania yang harusnya lo kasihanin.. Dia korbannya!'

"Lo kenapa sih? Kalo sama Tania kok lo selalu aja cuek lah, jutek lah, galak lah! Segala macam sifat-sifat lo yang nyebelin itu keluar. Hey, Ngga lo harus inget! Tania calon istri lo. Dia pacar lo. Dia bukan sekedar temen atau musuh lo waktu sekolah. Posisi dia sekarang berbeda." Bisma tersenyum miris sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Gue sadar, Bis. Tapi ya, ini selalu muncul begitu aja. Gue sendiri juga gak ngerti ini kenapa. Tapi ini aslinya gue, gak ada yang gue tutup-tutupin di depan Tania. Gue apa adanya."

"Tapi ini semua terlalu berlebihan. Lo bukan orang yang kayak gitu. Jangan bilang lo cuma jadiin Tania pelampiasan?"

Pertanyaan Bisma barusan sukses membuat Rangga langsung menatap Bisma tajam. Bisma menengokkan kepalanya karena Ia sadar Rangga tengah menatapnya marah. Bukannya takut, Bisma malah tersenyum sinis dan kembali menatap ke arah depan.

"Shut up you're mouth, Bisma!"

"Why? Omongan gue salah, apa tepat sasaran?"

"Gue gak pernah berpikiran seperti itu sama Tania!"

Bisma menengokkan kepalanya, menatap Rangga kembali dengan tatapan jengah. "Tapi sikap lo gak sama dengan apa yang lo ucapin tadi. Gaya pacaran lo, beda banget saat lo waktu sama Laura! Dulu lo itu ibarat selalu menempatkan Laura sebagai cewek yang paling spesial di hati lo, Ngga.. Lo selalu membangga-banggakan Laura! Ibarat Laura adalah emas di dalam kehidupan lo. Sekarang sama Tania, apa hah? Apa seistimewa itu? Coba lo pikir!"

"Lo gak tau apa-apa tentang diri gue, Bisma!" Jawab Rangga dengan nada dingin. Lelaki ini tersenyum sinis tanpa menatap sahabatnya yang tengah menghela nafas dalam.

"Oke. Oke. Gue emang gak tau apa-apa tentang lo. Dibanding Dicky dan Ilham, mereka yang lebih tau semua tentang lo. Gue paham."

Rangga langsung menatap sahabatnya. Menatap Bisma dengan tatapan bersalah. Rangga sadar, Bisma memang bergabung dengannya saat terakhir-terakhir masa sekolah. Makanya Rangga tidak terlalu dekat dengan Bisma, dan Bisma pun belum mengetahui sebanyak apapun tentang Rangga, tidak seperti Dicky dan Ilham.

"Maaf, Bis. Maksud gue bukan kayak gitu."

"Gapapa. Gue juga sadar diri kok."

Bisma menghela nafas dalam. Ia ingin melanjutkan ucapannya.

"Gue cuma ngerasa lo berubah, Ngga.. Kalo nyatanya lo masih cinta sama Laura, kenapa lo gak kejer Laura aja? Lo balikan sama dia. Toh nyatanya cewek itu juga sekarang minta balikan sama lo kan?! Kenapa lo malah mewujudkan harapan Tania buat bisa jadi milik seorang Rangga?"

Rangga menghela nafas pelan. Ia kini menunduk dalam, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. Ia baru sadar, pantas Tania tidak pernah terbuka dengannya. Tania juga selalu diam, tidak pernah Ia meminta lebih pada Rangga sekalipun hanya perbuatan-perbuatan kecil yang seharusnya Rangga berikan kepada Tania sebagai seorang kekasih. Gadis itu tidak pernah protes saat Rangga tidak mengabarinya, berbeda dengan dirinya sendiri saat Tania lama sekali membalas pesan singkat atau panggilannya tidak diangkat-angkat. Tania tidak pernah marah besar, gadis itu hanya marah-marah kecil biasa dan Ia kembali seperti biasa dalam waktu sekejap. Kekasihnya itu selalu mengalah, disaat terkadang Ranggalah yang salah dan terlalu banyak posesif. Gadis ini simple. Kenapa Ia baru menyadari semuanya?

"Gue gak pernah punya pemikiran jadiin Tania sebagai pelarian gue. Gue sayang sama Tania. Gue cinta sama dia. Rasa ini ada dari masa kita berdua sekolah, walau akhirnya gue cinta juga sama Laura dan lebih memilih Laura buat jadi pacar gue. Dulu juga gue kayak gitu karena gue gengsi, Bis sama Tania. Dan secara gak sadar juga gue patahin hati Tania selama ini sebelum kita akhirnya pacaran." Rangga mendongakkan kepalanya menatap ke arah plavon koridor rumah sakit ini.

Ah, kenapa Ia sekarang ingin menangis? Mengapa hanya membicarakan gadis itu saja hatinya sudah merasakan sesak yang amat lara? Dia yang pertama, dia berhasil membuat Rangga ingin menangis karena cinta. Apa karena Ia merasa sangat bersalah? Jujur saja, biarpun Ia sangat berbeda karena tidak seperti kekasih pada umumnya, Ia sangat mencintai Tania.. Rangga sangat sayang dengan Tania.. Gadisnya yang selalu Ia ejek jelek, walau nyatanya gadis itu cantik.. Gadis itu berkulit putih, berwajah oriental, tubuhnya pun tidak gemuk apalagi gendut, gadis itu hanya berisi saja tubuhnya. Dia mungil untuk Rangga, gadis itu selalu lincah kesana dan kesini seperti yang Rangga kenal sejak dahulu. Rangga hanya senang mengejeknya, sudah itu saja.. Dan Rangga sadar satu hal dari topik ejekannya untuk Tania selama ini, apakah hal ini yang membuat gadisnya selalu merendah?

"Gue mau nanya satu hal sama lo, Ngga.. Apa Laura masih ada di hati lo? Apa nyatanya rasa lo buat Laura lebih besar daripada rasa lo buat Tania? Jawab aja, gue gak bakal bilang sama Tania.."

Rangga langsung menatap Bisma dan menggeleng cepat.

"Gak! Laura bukan pemilik hati gue lagi! Gue emang sayang sama dia, tapi sebagai temen aja. Biar begitu dia masa lalu gue dan cukup gue kenang.
Bahkan asal lo tau, Bis.. Sayang dan cinta gue sama Laura dulu itu gak sedahsyat kaya sekarang. Rasa ini luar biasa. Mungkin maka dari itu, yang bikin gue susah mengekspresikan rasa gue ke Tania sampe sekarang."

Rangga menghela nafas pelan. Apa sesak nafas ini sama dengan Tania yang selalu saja sabar menghadapi sifatnya? Rangga kembali menunduk. Kedua matanya terpejam, Ia kini tengah memikirkan gadisnya. Sangat memikirkannya.

"Terserah aja sih sekarang, gue cuma mau menyampaikan sedikit uneg-uneg gue selama ini aja.. Gue dan Dina, kita berdua terkadang selalu menjadi tempat Tania mengungkapkan semua perasaannya. Dia cerita begini, begitu. Tapi dia tetep tersenyum menceritakan semua perbuatan lo ke dia yang terkadang gak pernah layak disebut sebagai kekasih. Tapi dia bilang dia bahagia. Buat dia, asalkan lo selalu ada di samping dia, lo jadi milik dia, dia udah seneng.. Dia sederhana, sangat sederhana.. Lo harus inget, bagaimana tulusnya dia dari dulu.. Lo harus inget, Rangga!"
Bisma memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. Suami Dina itu tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya tanda tidak percaya.

Kalau boleh Bisma jujur, Bisma terkadang berpikir, mengapa Tania harus bersama Rangga? Masih banyak lelaki di luar sana yang mengharapkan gadis seperti Tania. Mengapa wanita ini sangat tulus dengan seseorang yang tega mempermainkan perasaannya? Kenapa Tania harus setia dengan Rangga? Sembilan tahun, itu bukan waktu yang sebentar untuk mencintai seseorang dengan segenap hatinya. Rela berkorban hati biar kekasih hatinya pernah bersama orang lain. Tidak pernah menganggapnya ada, tidak pernah menghargainya.

Tania terlalu baik untuk Rangga.

"Gue selalu inget, dan itu yang kadang buat gue merasa bersalah banget sama Tania." Lirih Rangga masih menundukkan kepalanya. Bisma melirik sekilas Rangga, lalu tercipta senyuman sinis di wajahnya.

"Kenapa lo kayak gini? Sadar, Ngga!
Lo tahu, semenjak sama lo, banyak yang benci sama dia.. Dia selalu dianggap perusak sama orang-orang terdekat lo.. Mereka selalu menganggap Tania lah yang merusak hubungan lo sama Laura. Apa lo pernah bela Tania? Apa lo pernah denger gimana rasanya Tania dibully sama orang-orang terdekat lo? Dibenci mereka? Apa lo tau gimana cerita dia soal hatinya?"

"Dia selalu diam dan diam. Dia gak pernah perduli sama semua itu. Bahkan disaat keluarga lo banyak yang gak setuju sama hubungan kalian, apa Tania ngerasa takut dan ngejauhin lo? Enggak kan?
Dia gak pernah nilai lo dari sisi yang sulit. Disaat lo tetap mempertahankan Tania buat jadi calon istri lo, tanpa memandang banyak yang membenci dia yang sekalipun lo gak pernah tau gimana bentuk cacian itu, dia udah yakin. Itu yang buat dia selalu ada buat lo, disaat banyak orang yang nyuruh dia jangan pernah ada buat lo lagi."

Bisma terbawa perasaan, kini kedua matanya berkaca. Memang semasa sekolah Bisma tidak terlalu dekat dengan Tania. Tetapi semenjak mereka dewasa, sejak dirinya dan Dina bertemu dengan Tania di lingkup kerja, dekat dengan Tania, dan mereka bertiga selalu bertukar pikiran, mereka bertiga menjadi ada keterikatan bathin tersendiri. Bisma dan Dina sayang Tania, dan Tania pun sayang dengan mereka berdua.

Tidak ada yang tahu, bisa saja yang tadinya tidak kenal menjadi keluarga. Dan bisa saja yang tadinya keluarga akhirnya menjadi sosok yang tidak mengenal.

Rangga semakin memejamkan kedua matanya erat. Dadanya sesak, Rangga merasa seperti tidak ada pasokan oksigen di tempat ini. Rangga ingin bernafas, Ia ingin menyegarkan otaknya. Kepalanya juga kini terasa sakit. Apa sesakit ini, Tuhan? Mengapa Ia tak pernah memikirkan dan mencoba rasakan apa yang selama ini di alami oleh orang yang sangat dicintainya itu?

"Kejar dia sebelum terlambat. Gue takut Tania mulai pasrah. Akhir-akhir ini banyak yang nyari masalah sama dia." Bisma berujar pelan dan mengusap wajahnya. Rangga menatap Bisma.

"Siapa aja yang nyari masalah sama dia?" Tanya Rangga dengan nada kesal. Bisma tak membalas tatapan Rangga, lelaki itu menggelengkan kepalanya.

"Cari tau sendiri. Gue cuma mau bilang itu aja. Ah, kenapa gue baper gini ya? Padahal Tania selalu nge-judge gue si boss walang sangit." Bisma jadi mengingat bawahannya yang jarang sekali sopan terhadapnya. Ia tertawa kecil. Bisma rasa, Bisma merindukan Tania saat ini.

Rangga beranjak berdiri. Terdengar lelaki itu menghela nafas cukup dalam. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Bisma yang masih duduk.

"Makasih untuk semua cerita lo itu. Gue duluan, salam ya buat yang di dalem. Bilang aja gue ada keperluan mendadak."
Bisma mendongak menatap Rangga dengan heran. Sahabat karibnya ini ingin kemana?

"Mau ngapain lo?"

"Gue mau nyari Tania. Dia gak ada kabar sama sekali. Gue takut dia kenapa-kenapa. Duluan ya, bro!" Rangga tersenyum kecil lalu menepuk bahu sebelah kanan Bisma.

"Hati-hati."

Rangga mengangguk dan melangkah cepat meninggalkan Bisma seorang diri di kursi pengunjung ini. Bisma menghela nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Lelaki ini memejamkan kedua matanya sesaat sebelum membukanya dan menghela nafas dalam kembali.

"Cuma ini yang bisa gue bantu. Lo harus bahagia sepenuhnya, jangan terlalu pasrah sama Rangga. Gue, Dina, sayang sama lo, Tan.."


*

"Mbak, tadi ada cewek yang ribut-ribut gitu nggak disini?"

Rangga bertanya langsung dengan nafas yang terengah-engah. Restaurant ini sudah tutup, hanya menyisakan beberapa karyawannya saja yang masih berdiri di depan bangunan tersebut. Rangga yang menyesal sudah datang terlambat, langsung turun dan berlari dari arah parkir mobilnya menuju beberapa karyawan yang tengah duduk santai disini.

Semua demi kamu, Tania..

"Yang bertengkar tadi toh, mas? Yang ada adegan gampar-gamparan?" Jawab karyawati yang Rangga tanya barusan. Rangga langsung membulatkan kedua matanya kaget. Gampar-gamparan?

"Maksudnya, mbak?"

"Ya itu mas tadi kan ada tiga orang berantem hebat. Yang dua masih muda, yang satu ibu-ibu. Nah yang berhijab itu nangis sambil meluk si ibu itu. Nah yang cantik sipitnya ya digampar sama si ibu. Dibentak, terus dia yang pulang lebih dulu sambil nangis." Papar karyawati ini dengan aksen jawanya yang kental dari nada bicaranya.

"Ciri-ciri ibunya gimana, mbak?"

"Putih, agak gemuk, glamour deh.. Kayak orang-orang banyak duit."

Pikiran Rangga pun langsung tertuju dengan seorang perempuan yang sudah melahirkannya di dunia ini. Rangga mengalihkan pandangannya, berusaha memikirkan mengapa ini semua bisa menyangkut pautkan si mamih tersayangnya. Apa mamihnya tidak sengaja melihat pertemuan Tania dan Laura, atau Laura membawa mamihnya di dalam pertemuan itu?

Yaaa~
Rangga rasa pilihan kedua lebih meyakinkan. Laura, itulah pilihan banyak orang-orang terdekatnya yang sangat didukung sang mamih. Dan Rangga menebak, bahwa wanita itu memanfaatkan dukungan sang mamih untuk menghancurkan Tania.

"Oke, mbak terima kasih ya."
Rangga menatap lawan bicaranya lagi. Karyawati itu menganggukkan kepalanya dan kembali bergabung bersama teman-teman kerjanya yang lain.

Rangga berbalik dan melangkah besar untuk kembali menuju kendaraannya. Sambil berjalan, Rangga mengambil ponsel dari saku celana kerjanya. Salah satu jemari lengannya kini menyentuh layar sentuh ponsel pintarnya beberapa kali sebelum ponsel itu ditempelkan Rangga di telinga kanannya. Karena langkahnya sudah sampai, Rangga menyandarkan tubuh belakangnya pada pintu mobilnya.

"Halo, Bis!"

"Ya, Ngga?" Jawab suara serak-serak basah penerima panggilan di ujung telepon. Bisma.

"Gimana? Ayahnya Tania ngomong Tania udah pulang belum?"

"Belum. Lo ada dimana?"

"Di resto yang katanya si Novi bilang. Restonya udah tutup."

"Ya emang kali, udah jam berapa ini." Ujar Bisma di ujung telepon setelah menghela nafasnya pelan.

"Tapi tadi gue sempet nanya sama karyawan disini. Katanya, tadi mereka bertengkar. Mamih gue ada disini. Tania ditampar sama mamih gue."

Rangga mengambil nafas panjang. Gimana kabar Tania sekarang ya? Ia mengkhawatirkan gadis itu. Apalagi yang Rangga tahu sejak dahulu, gadis itu tidak pernah tidak menangis kalau menerima hukuman fisik seperti ditampar, dilempar sesuatu, atau di push up sekalipun saat masa mereka masih sama-sama di ekskul. Percayalah, Tania juga gadis cengeng.

"Ditampar? Serius lo?" Kaget Bisma.

"Ya. Gue gak ngerti, kenapa mamih gue juga ikut-ikutan." Jawab Rangga dengan nada datar. Bisma menghela nafas kesal.

"Pasti si Laura yang bawa mamih lo! Ah dasar cewek gila!" Umpat Bisma kesal. Rangga tersenyum kecil mendengar ucapan Bisma barusan. Bukan karena Ia senang Laura dijudge seperti itu. Tetapi Rangga bisa lihat dari perkataan Bisma barusan, sepertinya Bisma memang menyayangi gadisnya. Sebagai sahabat.

"Jangan so'udzon dulu. Bisa aja mamih gue gak sengaja lewat gitu."

"Ah lo mah seakan membela Laura terus. Benci gue!" Sentak Bisma marah. Rangga menghela nafas pelan. Apa Rangga salah mengucapkan kata-kata tadi?

"Bukannya begitu, Bis.. Tapi ka---"

"Stop! Jangan bahas nenek lampir itu!
Lo sekarang mau kemana lagi?"

Rangga terdiam setelah mendengar jawaban Bisma. Lelaki ini menegakkan tubuhnya, Ia kini membuka pintu mobilnya lalu masuk dan duduk di jok kemudi. Kedua tangannya melipat, dan sikut kedua lengan itu bertumpu pada kemudi mobilnya.

"Gak tau, gue bingung. Biasanya Tania kemana sih kalau lagi begini?"

"Ya! Lo pacarnya! Kenapa lo nanya gue, mana gue tau!" Teriak Bisma. Rangga menjauhkan ponselnya saat Bisma tengah mengomel, lalu kembali mendekatkannya saat Ia rasa Bisma sudah tidak berbicara.

"Tania pertama kalinya begini. Jadi gue gak tau harus gimana." Jawab Rangga frustasi. Ia mengacak rambutnya. Jadi kelanjutannya bagaimana? Apa Tania orang yang suka clubing kalau sedang kacau?

Dan Tania tipe wanita polos yang tidak mungkin seperti itu.

"Duh kalo gini caranya, mending lo undur aja pernikahan lo sama Tania!"
Rangga langsung melotot tajam mendengar ucapan dingin Bisma tadi. Apa-apaan lelaki itu? Bukannya memberi solusi, malah memberi masalah baru.

"Saiko lo!"

"Yeee daripada lo nikah, tapi lo gatau apa-apa.. Cih, buat apa!"

"Udahlah. Males gue ngomong sama lo!"

Rangga langsung mematikan panggilannya tanpa mendengar jawaban Bisma atas kalimatnya barusan. Rangga melempar ponselnya di jok sebelah. Lelaki ini menyalakan mesin mobilnya, dan mulai mengemudikan mobilnya untuk keluar dari area parkir restaurant yang beberapa jam lalu dikunjungi oleh gadisnya.

Rangga sakit kepala mendadak. Mungkin mencari gadisnya di taman kota atau rumahnya menjadi pilihan yang bagus. Sepertinya.


*

Rangga menatap ke sekeliling taman yang baru dipijaknya beberapa menit yang lalu. Ingin rasanya Rangga melangkah menelusuri taman yang kalau saja taman tersebut sangat gelap karena minim penerangan. Bukannya Rangga takut, hanya Ia harus waspada barangkali ada hal yang tidak diinginkan mengingat beberapa minggu lagi akan puasa, pasti tindak kriminal semakin banyak terjadi.

Rangga kembali ke posisi mobilnya yang Ia parkirkan di samping taman kota yang tidak terlalu ramai. Rangga yakin Tania tidak mungkin berada di tempat ini. Tania bukan sosok yang berani kalau berada di tempat gelap, apalagi dengan keadaan sendiri. Gadisnya itu bukan seorang perempuan yang bela-belain nyali demi kondisi hatinya yang memburuk, dia masih menimang keadaan dengan situasi dirinya. Gadisnya itu memang banyak pertimbangan yang membuat Rangga sangat yakin, lokasi ini adalah pilihan yang salah.

Rangga mengambil ponselnya dan menekan panggilan cepat, yang secara cepat langsung menghubungi nomor Tania di ponselnya. Rangga menempelkan benda kotak berwarna putih itu di telinganya. Namun baru saja ditempelkan, benda kotak itu kembali Rangga jauhkan dengan desahan kesal yang Ia keluarkan secara bersamaan.

"Tania kemana sih?!"

Rangga masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin mobilnya lalu mulai mengemudikan kendaraannya itu untuk ke lokasi selanjutnya. Rumah keluarga Tania.

Tak lama, karena jarak dari taman kota ke rumah Tania tidak terlalu jauh, Rangga sudah sampai dalam waktu lima belas menit. Mobil pria berstatus CEO salah satu perusahaan maju itu terparkir di halaman luas rumah Tania yang terbuka tanpa pagar. Rangga menatap keadaan rumah Tania dari kaca depan mobilnya. Sangat sepi.

Rangga menghela nafas lalu membuka setbeltnya dan keluar dari mobil. Rangga melangkah lebar menuju teras sederhana rumah Tania. Pintu rumah ini tertutup rapat, tidak ada suara sama sekali yang terdengar dari dalam rumah itu. Rangga menjadi tidak yakin kalau Tania berada di rumahnya.

TOK! TOK! TOK!

"Tan. Tania."

TOK! TOK! TOK!

"Assalamualaikum."

TOK! TOK! TOK!

"Tan. Tania. Ini aku, Rangga."

TOK! TOK! TOK!

"Gak ada kayaknya." Gumam Rangga dengan raut wajah kecewa. Ia berbalik dan melangkah menuju kursi yang ada di teras rumah Tania.

Lagi dan lagi pria ini mengeluarkan ponselnya. Beberapa jemarinya kini sibuk menyentuh layar benda kotak tersebut sebelum menempelkan benda kotak itu di salah satu telinganya.

"Halo." Ujar Rangga saat panggilan itu tersambung.

"Gue punya kerjaan buat lo sama temen-temen lo."

"..."

"Cari calon istri gue, soalnya dia menghilang tanpa kabar hari ini. Gue rasa dia kabur. Fotonya nanti gue send ke bbm lo."

"..."

Rangga menampakkan raut wajah dinginnya setelah mendengar kalimat respon dari penerima panggilannya. "Gue nyuruh lo nyari Tania, bukan nyari tau kenapa Tanianya gue kabur!"

"..."

"Lacak semua yang ada di kota ini dulu. Semua tempat. Mall, hotel, losmen, kost-an, appartement, semua yang ada di kota ini. Gue mau kalian gerak cepat!"

"..."

"Gue berani bayar berapapun yang lo mau. Asal jangan buat gue bangkrut aja."

"..."

"Gue tunggu info dari lo."

KITA YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang