Kepercayaan didalam bimbang

472 24 0
                                    

###
@Tania POV
###


Aku kini duduk di sebelah bunda yang sedang serius menonton sinetron kesukaannya. Sejak tadi aku hanya duduk diam mengikuti bunda menonton tanpa berniat serius menyimak sinetron tersebut. Kalau ayah, beliau sedang berada di teras rumah tidak tahu sedang ngapain. Adikku Bibah, dia setelah makan malam tadi langsung saja masuk ke kamarnya. Aku yang tidak ada kerjaan sama sekali kini ikut menimbrung di ruang keluarga sambil sesekali memejamkan mata supaya cepat tidur, walau nyatanya kedua mataku belum mengantuk sama sekali.

Setelah kejadian di taman kota beberapa hari yang lalu, aku menjauhi Rangga. Kalau dia tidak mengabariku sampai seharian penuh, aku juga ikut-ikutan seperti Rangga. Namun dia terlihat tidak mempermasalahkan komunikasi kami yang renggang ini. Karena yang aku tahu, semakin hari dia semakin sibuk. Bahkan pertengahan bulan ini, tidak ada jadwal libur untuknya. Semua dia lakukan agar dua minggu setelah pernikahan kami, dia bisa ambil cuti sesuai rencana Rangga sendiri. Ia tidak mau menyusahkan ayahnya ketika Ia cuti nanti, makanya lelaki itu berkerja keras sekarang supaya saat nanti Ia menitipkan perusahaan tersebut pada ayahnya, ayahnya tidak terlalu repot. Anak yang baik bukan?

Dan akibat dari kejadian itu, aku mulai ragu untuk melanjutkan hubungan ini. Aku takut ditengah jalan nanti, hubunganku bersama Rangga akan kandas begitu saja. Aku tidak yakin Rangga benar-benar mencintaiku. Mengingat dulu kami sering bertengkar saat SMA, dan kami sempat terpisah selama beberapa tahun dengan dia yang berpacaran cukup lama bersama Laura.

Kisah selanjutnya kami kembali bertemu, dengan Rangga yang baru saja putus bersama perempuan itu. Tidak berapa lama, kami berpacaran. Aku takut aku hanya menjadi pelariannya.

Pelarian. Ya, pelarian!

Yang aku tahu Laura dan Rangga memang sudah memiliki rencana menikah, namun baru saja ide itu tercetus, masalah itu datang dan hubungan mereka yang sudah lama pun berakhir. Berbanding terbalik dengan hubungan aku dan Rangga yang masih baru, tetapi kami sudah memiliki rencana menikah, bahkan saat ini sudah meniti persiapan yang mulai masuk ke level matang.

Apa aku membatalkan pernikahan ini saja? Kelihatannya Rangga dan Laura juga sangat cocok. Mereka berasal dari keluarga yang sama derajatnya, keluarga yang cukup religius, dan keluarga yang memang sangat-sangat cocok dan pantas apabila disatukan. Ketimbang aku, yang memang pada nyatanya sangat berbeda jauh dengan Rangga.

"Tan.."

"Iya, bun?"

Aku mengalihkan pandanganku saat bunda menyapaku dengan tatapannya yang terheran. Ku lirik sekilas televisi yang menyala terang di hadapan kami berdua. Oh ternyata sedang iklan..

"Kamu kenapa ngelamun?"

"Aku, bun?"

"Iya.. Kamu ada masalah sama Rangga?"
Sepertinya bunda sangat peka terhadap perasaanku. Aku hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalaku pelan. Biarkan ini menjadi masalahku, jangan sampai bunda mengetahui masalah ini dan akhirnya beliau memikirkanku.

"Bener kamu gak kenapa-kenapa, Tania?" Bunda bertanya sekali lagi. Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku lagi.

"Aku gak kenapa-kenapa, bunda.."
Bunda menganggukkan kepalanya dan kini kembali menatap fokus layar televisi 24 inch itu, karena serial drama kesukaan bunda sudah tersaji kembali.

Aku melanjutkan pemikiranku tadi. Apa benar aku harus membatalkan pernikahan ini? Kalau aku bertahan, ku pastikan hatiku akan mengalami apa itu namanya gaber dan gegana. Aku juga pasti akan menyanyikan banyak lagu galau lalu malas berbuat apa-apa. Lalu aku akan me-retweet setiap status galau yang muncul di timeline twitter ku. Mwehehe aku alay banget ya kalau patah hati?

Kalau aku tidak bertahan, bagaimana dengan hubungan silaturahmi keluargaku dan keluarga Rangga? Aku pasti akan mengecewakan keluargaku, apalagi keluarga Rangga. Dan yang paling terutama, lelaki tampanku itu.

"Tuhkan kamu ngelamun lagi.."

Suara bunda kini berhasil membuyarkan lamunanku kembali. Aku hanya cengengesan tidak jelas menatap bunda yang tadi menyindirku, namun kedua matanya tak sekalipun menatapku. Apakah acara ini memang sangat menarik hati bunda sampai-sampai bunda fokus sekali menonton sinetron aneh ini?

"Bun.. Kalau aku membatalkan pernikahan aku sama Rangga gimana ya, bun?" Tanyaku asal. Bunda yang sangat terlihat fokus sejak tadi langsung menatapku tajam.

"Membatalkan? Kamu lagi ngapain, Tania?" Ujar bunda dengan nada frustasinya. Aku hanya menggelengkan lemah kepalaku.

"Cuma nanya, bunda. Kalem, bun.."

"Kamu ada masalah sama Rangga?" Tanya bunda lagi tanpa melirik kembali layar televisi yang masih menyiarkan serial drama kesukaan bunda. Aku jadi merasa bersalah karena pertanyaanku tadi.

"Gak ada kok, bun. Ya udahlah bun gak usah dipikirin, tadikan Tania cuma asal nanya.." Ujarku menenangkan bunda yang sepertinya kini mulai bertanya-tanya tentang asal-muasal tadi aku menanyakan hal tersebut. Bunda menatapku heran dan kini mulai kembali menyaksikan layar televisi keluarga kami.

"Ucapan adalah doa, Tania.. Kalo kamu mau membatalkan pernikahan kalian berdua, kamu mau mengecewakan keluarga Rangga? Mereka baik banget loh sama keluarga kita.." Bunda berucap dengan pandangan kedua matanya yang kini mulai terpaku lagi dengan aksi para pemain di serial drama tersebut.

"Tapi, kalo kamu memang merasa gak nyaman dan mempunyai bukti bahwa pernikahan ini nantinya gak akan berjalan mulus, bunda terserah sama kamu.. Pilihlah yang menurut kamu terbaik, sayang.." Ucapan bunda yang ini membuatku menatap bunda terkejut. Jadi... Bunda bisa saja menyetujuiku untuk membatalkan acara sakral ini kalau nyatanya aku mempunyai bukti bahwa pernikahan ini akan berjalan tidak mulus... Dalam artian suatu saat akan berpisah?

"Tania, ada Rangga di teras.. Kamu temenin sana.."

Pikiranku kembali terbuyar kala ayah yang baru saja masuk dari teras rumah menyuruhku untuk menemani Rangga yang datang di waktu malam seperti ini. Aku beranjak berdiri dengan lesu dan langsung menatap jam dinding sekilas.

Jam delapan malam.

Ada setan apa lelaki itu datang ke rumahku? Secara refleks otakku kembali mengingat kejadian dimana Rangga merangkul bahu Laura di taman kemarin. Dan ingatan itu berhasil merusak moodku untuk bertemu Rangga di teras sekarang.

Ya akhirnya mau gak mau, niat gak niat, suka gak suka, ngebet ya emang ngebet sama Rangga, aku harus melangkah keluar rumah untuk bertemu Rangga di teras rumah. Daripada nanti Ayah ngamuk terus sendal kesayangannya terbang ke kepala?

Kini aku sudah sampai di pintu rumahku, dan aku dapat melihat Rangga yang sudah duduk di bangku rotan yang tersedia di teras rumahku. Aku menghela nafas menatap Rangga yang saat ini berpenampilan rapih menggunakan jeans biru panjang ditemani jaket levis berwarna biru tua sebagai penutup kaos hitam polos di dalamnya. Sambil melangkah pelan mendekati Rangga, aku juga menatap penampilanku sekilas. Aku hanya menggunakan pakaian tidur yang cukup kusam karena sudah lama aku gunakan. Penampilanku dan Rangga bagaikan pembantu dan majikan sekarang.

"Tumben malam-malam kesini, Ngga?" Tanyaku setelah duduk disampingnya. Rangga yang tadi tengah menatap ke arah depan kini menengokkan kepalanya untuk menatapku yang kini duduk di sisi kanannya. Ia tersenyum kecil.

"Gak boleh ya aku kesini?"

"Boleh kok.. Mau minum apa? Biar aku ambilin.."

"Gak usah. Aku cuma sebentar disini." Rangga memberikan senyum khasnya setelah mengucapkan kalimat tadi, membuatku hanya ber-oh ria saja dan menatap lurus ke depan. Rangga mengikuti arah tatapanku dan kini malah terdiam mengikutiku.

"Ada yang mau kamu omongin?" Tanyaku sambil meliriknya dari ujung mataku. Dia terlihat menganggukkan kepalanya lalu menghela nafas setelah itu.

"Kamu ikut gak besok? Ada acara pelantikan anggota Paskibra di sekolah.."

Aku langsung menatap Rangga yang kini menatap wajahku teduh. Pelantikan? Kenapa aku tidak mendapat informasi sama sekali dari anak-anak Paskibra angkatanku yang lain?

"Kok aku gak tau ya?" Tanyaku heran. Asal kalian tahu, aku dan Rangga selain satu kelas selama tiga tahun, kami juga berada dalam satu ekskul yang sama selama SMA.

"Nomor kamu ganti terus kata anak-anak. Kamu juga semenjak lulus, belum pernah ke sekolah lagi kan? Makanya aku ngajak kamu sekarang.." Ujar Rangga diiringi senyuman khasnya. Aku mengalihkan pandanganku sekilas untuk berpikir apakah aku harus ikut besok atau tidak.

"Anak-anak banyak yang ikut?" Tanyaku lagi. Rangga menganggukkan kepalanya semangat.

"Naufal bilang, yang didata dan fix ikut sudah hampir 20 orang buat besok, aku juga termasuk. Nah sekarang makanya aku mau ngajak kamu.." Ujar Rangga yang memang terlihat semangat sekali mengajakku untuk ikut ke acara tahunan ekskul kami saat SMA.

"Ada ekskul lain yang ngadain pelantikan juga?"

"Aku denger-denger sih, Patroli Keamanan Sekolah juga ngadain acara pelantikan besok.."

Pernyataan Rangga barusan langsung membuatku menatap lelaki itu tajam. Patroli Keamanan Sekolah(?) Itukan ekskul yang diikuti oleh Laura dulu.

Jangan-jangan besok juga Laura hadir di sekolah?

Kalau begitu caranya, aku memang harus berpikir lebih matang lagi untuk mengikuti acara pengukuhan anak-anak Paskibra. Apa alangkah lebih baiknya aku bersantai di rumah saja besok malam?

"Aku gak tau." Jawabku datar. Rangga yang mendengar jawabanku, langsung menatapku dengan satu alisnya yang naik.

"Kenapa gak tau?" Tanyanya dengan nada heran. Aku tersenyum tipis seraya mengangkat kedua bahuku.
Rangga itu harus digetok pake apa sih biar peka? Ada mantan pacar lo, boy! Ah elah..

"Gak tau sih, males aja.. Besok juga aku harus kerja, Rangga.."

"Angkatan kita pada datengnya malam, Tania.. Lagian bukannya perusahaan Bisma memulangkan pegawainya jam empat setiap hari sabtu?"

Aku menghela nafas mendengar ucapan Rangga yang sepertinya kekeuh aku harus mengikuti acara tersebut. Rangga itu mau menguji kesabaranku atau mau aku kerasukan setan yang namanya envy disana?

"Ya, emang aku gak capek? Lagian aku harus kerja full demi surat resign aku yang udah masuk kemarin. Belum tentu juga ayah dan bunda mengizinkanku menginap besok malam.." Inilah alibiku yang berikutnya. Aku sudah memantapkan niat bahwa aku ingin tidak ikut besok malam. Walaupun aku sangat rindu dengan teman-teman ekskulku, tetap saja kalau nanti aku bertemu Laura disana, moodku pun akan hancur lebur seketika dan takutnya, aku akan mengamuk ditempat itu.

"Apa aku harus meminta izin ke ayah dan bunda kamu sekarang, Tania? Tetapi kamu benar-benar memiliki niat untuk ikut kan?" Tanya Rangga selanjutnya. Aku meringis dalam hati mendengar ucapan Rangga yang sangat berharap aku ikut. Alasan apalagi yang harus aku buat berikutnya?

"Biar aku aja yang nanti bicara sama mereka.. Aku usahain besok aku ikut ya kalau enggak capek, Ngga.." Ujarku berusaha menengahi antara keinginan Rangga untuk ikut dan kemantapan diriku untuk tidak mengikuti kegiatan esok malam. Terdengar Rangga menghela nafas perlahan membuatku kini merasa iba, apa Rangga sangat berharap aku hadir di dalam acara itu?

"Ya udah baiklah, Tan.. Oh iya, tiga hari lagi setelah pulang kerja, kata mamihku kita harus memesan cincin dan undangan. Besoknya lagi kita fitiing baju.. Kamu bisa kan?"

Pertanyaan yang berbeda topik saat ini membuat kepalaku kian pusing. Baru saja aku memiliki niat untuk membatalkan acara pernikahan ini, tetapi mengapa persiapan acara ini terlihat semakin matang?

"Bisa." Jawabku tanpa pikir panjang. Terlihat senyum bahagia Rangga yang tercipta di bibirnya membuatku secara refleks juga ikut tersenyum bahagia. Ya Tuhan, melihatnya bahagia sedikit saja hati ini sudah terasa sangat tenang.

"Ya udah. Kalau kamu mau ikut acara besok, kamu kabari aku, ya? Nanti kita perginya bareng. Oh iya, pakai pakaian dinas lapangan angkatan kita ya, Tan?"

"Celana training jangan lupa. Itu pesan anak-anak tadi sore." Lanjut Rangga mengingatkanku. Aku menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Rangga tersenyum kesekian kalinya dan kini beranjak berdiri diikuti olehku setelahnya.

"Kamu udah shalat isya?" Tanyanya. Aku tersenyum seraya mengacungkan ibu jariku. Rangga yang masih tersenyum, kini tersenyum semakin lebar. Kini telapak tangannya terangkat dan mengusap puncak kepalaku dengan kasih sayangnya yang sangat aku rasakan dari usapannya itu. Kalau begini caranya, aku tidak sanggup melepaskan lelaki yang amat ku cintai ini.

"Jangan tidur malam-malam.. Wassalamualaikum.." Rangga melepas usapannya pada puncak kepalaku membuatku kini tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab salamnya.

"Wa'alaikumsalam.."

"Oh iya, sampaikan salamku untuk kedua orang tua kamu dan Bibah ya?" Ujarnya sebelum benar-benar meninggalkan teras rumahku. Aku mengangguk seraya tersenyum untuk mengiyakan pesannya. Dia tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah menjauh dari posisiku berdiri.

Rangga kini telah menghilang bersama mobil mewahnya. Aku masih saja berdiri di teras rumahku sambil menghela nafas pelan beberapa kali karena banyak masalah yang aku pikirkan akhir-akhir ini.

"Kalau seperti ini terus, aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu, Rangga.."



###

Aku terus mengerang frustrasi sambil menatap jam yang melingkar di lengan kiriku. Kalau saja aku ada kendaraan, aku tidak akan mungkin menggunakan angkutan umum di malam hari seperti ini. Aku takut, takut sekali menaiki angkot pada jam-jam sekarang dimana sekolah SMA ku juga berada di jalan yang cukup gelap. Mau gimana lagi? Masih untung ada dua penumpang wanita yang tadi kutanya dan mereka menjawab mereka memiliki tempat tujuan yang lebih jauh dariku. Daripada aku bersama Rangga atau minta jemput dengan Rangga?

Entah mengapa aku memang jadi sangat malas berhubungan dengan kekasihku sendiri. Untuk kegiatan malam ini saja, aku berbohong dengannya. Aku bilang bahwa aku tidak bisa datang karena aku lelah sehabis kerja. Memang sih aku lelah, tapi harus kapan lagi aku datang ke acara seperti ini? Mumpung moodku cukup bagus, lagian aku rindu dan ingin mengunjungi sekolahku kembali setelah delapan tahun lebih aku lulus. Dengan diriku yang belum menjadi apa-apa sampai saat ini, jadi malu sendiri sama bangunan sekolah.

Setelah satu jam aku mengutuk tukang angkot yang sangat lamban menyetir mobilnya, kini aku sudah berpijak di tanah samping pagar sekolah SMA ku. Aku tersenyum menatap ke dalam, dimana sekolahku ternyata mengalami sedikit perubahan penampilan. Kedua kakiku selanjutnya melangkah masuk ke dalam pagar samping sekolahku yang terbuka cukup lebar, karena malam ini memang ada acara yang diselenggarakan dua ekskul sekaligus.

Baru saja aku masuk, di depan kedua mataku sudah tersaji tiga anak remaja yang menggunakan baju putih dan bawahan bahan hitam dengan dasi yang tercantol di leher mereka. Di bahu mereka tertempel benda persegi panjang berwarna hijau, dan aku ingat itu adalah atribut Paskibra yang bernama evolet. Di tengah dasi mereka, tertempel bros garuda berukuran sedang. Di baju skoder mereka juga tertempel name tag khusus dan lencana kepemimpinan berwarna biru yang menandakan bahwa mereka sudah menjabat di kepengurusan organisasi. Mereka bertiga kini tengah duduk di belakang meja yang tersedia di depan pos satpam. Aku sudah menebak, mereka pasti bertugas menerima tamu. Aku jadi ingat masa aku masih berada di kepengurusan.

"Teteh.. Teteh alumni Paskibra?" Tanya seorang gadis dari tiga orang remaja yang aku lihat tadi. Aku mengangguk dan tersenyum kecil membalas pertanyaannya. Ku lihat mereka bertiga tersenyum sumringah lalu menyuruhku untuk mendekati mereka. Aku melakukannya. Fyi, salah satu ciri khas anak Paskibra di SMA ku adalah memanggil alumni atau instruktur dan senior tentunya dengan panggilan 'akang-teteh'.

"Wah selamat datang dan selamat malam, teh.." Ujar gadis yang tadi menanyaiku.

"Selamat malam juga, dek.." Jawabku sambil tersenyum.

"Teteh boleh isi nama, alamat, nomor ponsel, dan divisi berapa disini ya, teh.." Papar temannya gadis tadi dengan sedikit senyum. Aku mengambil bolpoin dan buku besar mereka yang tadi disajikan di depanku.

"Udah banyak, dek alumni yang dateng?" Tanyaku berbasa-basi pada ketiga anak di depanku sambil tetap menulis apa yang mereka minta dariku di buku ini.

"Alhamdulillah lumayan teh.. Teteh nama panggilannya siapa? Divisi berapa?" Tanya laki-laki yang ada satu-satunya disana menemani dua temannya yang perempuan. Aku sudah menyelesaikan tulisanku, ku serahkan buku besar itu ke perempuan pertama yang menanyaiku tadi.

"Panggil aja teh Tania.. Teteh divisi 28.." Jawabku. Ku dengar mereka menghela nafas seperti tertekan. Ada apa? Mereka takut? Dulu aku juga seperti itu kalau kedatangan alumni muda, pasti bawaannya langsung depresi tingkat tinggi. Alumni muda, mereka merajai mental para junior ketimbang alumni tua, yang sedikit tidak lebih menyeramkan daripada alumni muda.

"Jangan setres duluan.. Teteh mah baik kok.. Gak akan obrak-abrik acara kalian.. Gak bakal makan kalian.. Teteh udah makan malam tadi.."

"Ah teteh, emang kami keliatan tertekan banget ya, teh?" Tanya anak laki-laki itu lagi. Aku terkekeh kecil sebelum menjawab pertanyaannya.

"Seenggaknya jangan seperti orang mau nahan boker, dek mukanya.."

"Aih teteh pengandaiannya.." Ujar anak lelaki itu frustasi. Aku tergelak melihat reaksi dia dan dua temannya yang lain.

"Ya udah, alumni-alumni letaknya dimana nih dek?"

"Di kelas 12 IPS 3 teh.. Letak kelas masih kayak jamannya divisi 28 kok.." Ujar si anak cowok itu lagi. Ku lihat dia yang paling banyak berbicara daripada teman-teman perempuannya.

"28 udah banyak yang dateng?" Tanyaku penasaran. Memang aku tidak mempunyai kontak angkatanku sendiri kecuali Rangga yang memang kekasihku. Itu mungkin alasan mengapa aku tidak pernah mendapat informasi tentang teman-teman SMA ku setelah lulus dari sekolah menengah atas ini.

"Udah teh, udah banyak banget yang dateng, tadi rombongan soalnya kayak orang tawuran.. Hehe aku kira itu udah semua anggota divisi 28.. Ternyata masih ada teteh cantik yang ketinggalan dari rombongan.." Ujar lelaki remaja itu dengan genitnya. Aku hanya tertawa kecil, sedangkan dua teman perempuannya langsung menyemburkan kata-kata pedas mereka. Pantas anak laki-laki ini di taruh di meja penerimaan tamu, anaknya memang sangat mudah bergaul.

"Ya udah teteh kesana dulu ya.. Semangat!" Ujarku sambil mengepalkan jemariku di udara. Mereka bertiga terlihat menampakkan raut wajah semangat dan sama-sama mengepalkan jemari mereka di udara membuatku langsung mengedipkan sebelah mataku. Kini aku melangkah ke arah kanan dan mulai memasuki area sekolahku yang sudah terkenal sangat luas sejak dahulu.

"Tania.."

Baru saja aku masuk ke dalam area koridor kelas yang dimaksud oleh anak laki-laki di depan tadi, aku sudah mendengar suara seseorang yang menyapaku dari belakang. Aku berhenti melangkah dan menengok ke arah belakang. Dua orang wanita kini melangkah mendekatiku dengan tatapan yang berbinar.

"Baru dateng lo sekarang? Baru inget ya lo pernah jadi anak Paskibra, Tan?" Tanya wanita berperawakan kecil yang sejak dahulu aku biasa panggil Icha. Aku tertawa dan mengajak Icha beserta wanita di sebelahnya untuk berhigh five ria. Wanita di sebelah Icha ini juga masih anak Paskibra yang satu angkatan denganku, nama panggilannya Aam.

"Iya nih, biasa orang sibuk.." Jawabku santai. Mereka berdua langsung mencibirku tanpa suara membuatku tertawa melihatnya.

"Kerja apa sekarang?" Tanya Aam menatapku. Kini kami bertiga mulai melangkah beriringan ke ruang alumni yang letaknya hanya sekitar dua puluh langkah dari posisi kami berdiri tadi.

"Artis.."

"Artis apaan lu? Model iklan sabun colek, hah?" Tanya Icha nyolot membuatku tertawa kembali. Aam menatapku kesal membuatku langsung menempelkan kedua telapak tanganku memohon maaf.

Kami terus mengobrol dengan langkah pelan sampai akhirnya lima menit kemudian kami baru sampai di depan pintu kelas, dimana kelas itu dijadikan ruangan alumni berada. Dengan semangat aku masuk ke dalam ruangan itu, dan tersajilah banyak orang-orang mulai dari angkatanku dan angkatan-angkatan di atasku yang tengah sibuk sendiri dengan aktivitas mereka.

Anak-anak angkatanku berkumpul di pojok kanan kelas bagian depan. Saat aku masuk di susul Icha dan Aam, mereka semua menatapku dalam diam. Di detik berikutnya setelah mereka diam, mereka semua langsung meneriaki aku ibarat aku adalah sosok yang baru saja nyolong kolor tetangga.

"Yeee kemana aja lu, Tania?"

"Heh Tania, baru inget jadi alumni Paskibra lu?"

"Sesibuk apa sih Tania sampe gak pernah ada kabar semenjak lulus?"

Mereka berujar dengan nada ngotot membuatku tergelak di depan pintu. Aku masuk lebih dalam ke ruangan itu dan melangkah mendekati gerombolan anak-anak angkatanku yang membentuk lingkaran tidak jelas.

"Biasalah biasa.. Kangen yee lo semua?" Ledekku. Mereka langsung mencibirku membuat diriku terkekeh pelan.

"Sini lu gabung!" Ajak lurah putra divisi kami. Aku kini duduk di sebelah Icha yang duduk di belakang gerombolan anak-anak, walau begitu aku masih bisa melihat ke dalam lingkaran yang dibuat anak-anak divisi kami. Aku menatap ke seisi kelas, ternyata yang paling ramai adalah anak-anak divisi 28.

Kedua mataku kini beralih ke posisi meja yang berada persis di sebelah kananku. Ada sebuah gitar, dan aku mengenali ciri-ciri gitar tersebut. Rangga, Ia membawa gitar kemari?

Ngomong-ngomong, kemana lelaki menyebalkan itu? Aku belum melihatnya sejak tadi.

KITA YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang