Maaf

431 25 0
                                    

Tania terdiam didepan pintu kamar Rangga. Tubuhnya bagaikan kaku dihadapan papan kayu berwarna cokelat mengkilap itu. Bibir bawahnya Ia gigit sesekali dan jemari kedua lengannya pun Ia remas secara bergantian. Tatapannya lurus ke arah depan, dan pikirannya pun bekerja seiring tatapannya yang menajam memandang pintu tersebut.

Tania kini sedang berpikir keras. Yang dipikirkan olehnya itu adalah, apakah respon Rangga nanti saat membuka pintu, dan menatap dirinya yang berada dihadapan laki-laki itu? Apakah dia marah atau sebaliknya, malah memeluknya?

Selanjutnya, pantaskah Ia nanti tersenyum saat membalas tatapan Rangga? Atau justru Tania harus memasang tampang ‘jual mahal’ didepan Rangga? Toh, nyatanya Tania menghilang juga salah satu penyebabnya adalah laki-laki itu.
Tania langsung menggelengkan kepalanya kuat agar pemikirannya tadi tidak menjadi terlalu jauh bagaikan seorang peramal. Dengan gemetar, Tania mengangkat lengan kanannya yang menyiku bersama kepalan jemarinya seperti panakol. Tania mengetuk pintu kamar didepannya dengan pelan. Tania tidak mau mengganggu Rangga dengan ketukan pintu yang keras, karena nyatanya Rangga memang tengah istirahat selepas sakit akibat menyelamatkannya beberapa hari yang lalu.

Satu menit sudah ketukan itu tidak mendapat tanggapan apa-apa. Hati Tania yang tadi berdegup kencang sekarang malah sedikit jengkel. Apa Rangga sebenarnya ada didalam? Apa laki-laki itu tidur dengan nyenyaknya? Tetapi setahu Tania, membangunkan Rangga yang tertidur itu tidak seperti laki-laki lain yang harus sampai berteriak-teriak marah. Rangga gampang dibangunkan dari tidurnya.

Tania kali ini mengetuk pintu itu lagi tanpa rasa ragu. Selepas ketukan pintu itu, tidak ada respon apa-apa dari dalam kamar tersebut. Tania semakin tidak sabar. Dengan sedikit emosi, Tania mengetuk pintu itu lebih kencang dan keras lagi. Beberapa detik setelahnya pun tidak ada apa-apa seperti ketukan sebelumnya. Tania mendecak frustasi. Emosinya yang bertambah dan putus asa yang mulai timbul di hatinya, Tania mulai melangkah meninggalkan posisinya tadi sambil menghela napas pendek-pendek beberapa kali.

“Hei, kamu! Saya kan sudah bilang berkali-kali, jangan ganggu istirahat saya. Kalo sekali saya tidak merespon ketukan pintu, ya sudah berarti tidak perlu mengetuk pintu berkali-kali dan bahkan tidak sopan seperti tadi. Ngerti?”

Tania menghentikan langkahnya saat ada suara bernada tidak enak dari arah belakangnya. Dan Tania yakin itu adalah suara pemilik kamar yang tadi pintunya Ia ketuk. Tapi Tania merasa aneh, sejak kapan Rangga mengoleksi kata-kata jahat didalam omongannya? Rangga yang Tania kenal, biarpun menyebalkan, dia masih bisa menjaga omongannya yang kadang suka kelewat pedas secara tidak sengaja kalau dia sudah terlalu emosi.

“Apa gue kayak pembantu ya sekarang?” Tanya Tania dalam hati saat perkataan Rangga barusan sudah terhenti. Memang Tania juga menanyakan satu hal lagi. Berkat ucapan Rangga tadi, Tania mulai menarik pendapat. Berarti Rangga saat ini tidak mengiranya dan malah mengira dia pembantu? Apa penampilannya kali ini benar-benar berantakan sampai Ia dikira seorang pembantu rumah tangga?

“Heh, kamu! Diam aja. Kamu ngerti kan sama perkataan saya barusan?” Tanya suara itu lagi. Tania semakin bertambah emosi, dia mendecak kesal secara pelan. Tanpa membalikkan tubuhnya, Tania menjawab pertanyaan Rangga tadi dengan nada jengkelnya.

“Iya saya mengerti. Maaf telah mengganggu istirahat Den Rangga. Permisi.” Ujar Tania sesopan mungkin meniru perkataan pelayan rumah ini pada saat menyambutnya datang tadi. Tania mulai melanjutkan langkah kakinya dengan perasaan benar-benar kesal dan jengkel. Bahkan langkah kaki pertamanya pun terlihat seperti dihentakkan kasar.

“Kenal sih sepuluh tahun, tapi apal body kayak baru setengah hari. Oke aja.” Umpat Tania dalam hati.

Baru sampai dilangkah kedua Tania lanjutkan, Tania langsung tersentak saat tubuhnya tertarik kebelakang lalu bagian belakang tubuhnya bersandar pada suatu bidang kokoh. Tania langsung melirik ke arah perutnya saat Ia merasa perutnya dilingkari oleh dua buah tangan besar dengan cukup erat. Bukannya merasa senang atau malah menangis karena mengingat masalahnya, emosi Tania malah semakin memuncak dan mulai mencoba melepas paksa lingkaran tangan tersebut.

KITA YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang