Ancaman Kedua

318 21 0
                                    

###
@Tania POV
###


Seminggu lagi pernikahan kami akan dilaksanakan. Kami tidak menggunakan adat-adat jawa atau sunda seperti pingitan atau hal apapun sebelum nikah. Kami masih bertemu, dan dua hari lagi kami juga akan bertemu untuk mengawasi persiapan pernikahan yang semakin matang. Kami berdua hanya menggelar pengajian sehari sebelum pernikahan di rumah masing-masing, dengan mengundang banyak anak yatim-piatu dan orang-orang dhuafa serta ibu-ibu pengajian.


Dan aku semakin kepikiran dengan ancaman Laura yang tadinya aku buang jauh-jauh, kini malah jadi menempel di otakku. Hatiku mulai tak tenang. Ku buka pejaman kedua mataku yang sedari tadi ku lakukan. Menegakkan tubuhku yang tadi bersandar di dinding soffa, menghela nafas dalam selama beberapa kali, mencoba berpikir positif, sekarang sedang aku lakukan. Hatiku sedikit demi sedikit kembali tenang.

Ku raih ponselku yang berada di saku blazer pink cerah yang sudah aku pakai sejak pagi tadi. Setelah aku membuka kunci layar, ku lihat ada dua pesan masuk yang belum aku buka. Ku buka pesan yang pertama. Pesan dari Rangga yang berhasil membuatku tersenyum. Dengan cepat aku membalas pesan singkatnya yang baru saja masuk lima menit yang lalu.

Rangga
28-01-2025 07:54 PM

Tan, km udh mandi? Kalo udh, skrng lg ngapain? Maaf ya kalo hari ini buat km cape bgt.

Ke : Rangga

Blm. Aku lg duduk aja istirahat dulu. Ga melelahkan kok, demi kita berdua jg. Km sih lg ngapain?


Kini pesan kedua, aku membukanya. Hatiku berdebar setelah melihat nama si pengirim pesan singkat kedua. Apalagi saat aku membaca pesan singkat itu, nafasku sedikit tercekat di tenggorokan.

Tante Yudith
28-01-2025 07:25 PM

Besok tante mau ketemu kamu di caffee waktu pertama kali kamu bertemu tante. Jam makan siang.


Aku menghela nafas pelan sebanyak dua kali. Ada apa ini? Aku jadi takut sendiri membaca pesan singkat dari calon mertuaku. Aku tidak berniat membalas pesannya. Maafkan aku, Tante.

Tante Yudith, beliau memang tidak terlalu menyetujui hubungan aku dan Rangga sejak Ia mengetahui kami berpacaran. Dan yang aku dengar dari Rangga beberapa waktu lalu, beliau lebih menyetujui hubungan Rangga dan Laura ketimbang hubungannya denganku. Kepalaku serasa pening sekali setelah memikirkan ini. Apa Tante Yudith besok menyuruhku untuk meninggalkan Rangga? Menyuruhku untuk menyerahkan Rangga kepada Laura seminggu sebelum pernikahan kami?

Lebih baik aku ke kamar mandi dan menyiramkan banyak air di sekujur tubuhku. Nyatanya, aku memang belum mandi.


#

Aku sudah menunggu Tante Yudith lebih dari setengah jam yang lalu. Waktu istirahatku tidak banyak, tetapi mamihnya Rangga sampai sekarang belum terlihat sama sekali. Aku hanya menghela nafas pelan sedari tadi, perutku yang sudah meminta makan juga aku hiraukan. Ingin rasanya langsung memesan makan, namun kalau aku makan duluan juga rasanya sangat tidak sopan.

Ingin sekali aku mengirimkan pesan singkat ke Tante Yudith dan menanyakan beliau sudah berada dimana, tetapi nyaliku tidak sebesar itu. Kami memang tidak dekat sejak Rangga mengenalkanku dengan beliau, dan beliau serasa menjauhiku saat Rangga beberapa kali mengajakku untuk ke rumahnya agar pendekatanku dengan keluarganya berjalan mulus. Beliaulah yang paling menunjukkan ke tidak setujuannya dengan hubungan ini.

Pintu masuk caffee kembali terbuka membuatku langsung menatap pintu tersebut kesekian kalinya. Aku menghela nafas lega, ku lihat Tante Yudith memasuki area caffee ini dan melangkahkan kakinya mendekatiku saat Ia sudah mengetahui aku berada di kursi ini. Aku tersenyum setelah beliau berada di hadapanku, walau akhirnya aku harus kecewa. Tante Yudith tak membalas senyumanku, dia hanya diam cuek dan langsung duduk di hadapanku lalu memanggil pelayan untuk memesan minuman. Tanpa menawariku, dia menyuruh pelayan itu pergi. Kedua mataku kini berarir, aku harus bagaimana? Padahal sejak tadi aku tidak memesan makanan hanya untuk menghormati beliau yang belum datang.

"Kamu mencintai Rangga?"

Pertanyaan Tante Yudith yang pertama dan langsung menusuk relung hatiku. Mengapa beliau menanyakan ini?

"Ya, Tante. Saya mencintai Rangga." Jawabku dengan senyum. Ku lihat Tante Yudith menatapku dingin. Tatapan dingin yang sama persis dengan tatapan dingin Rangga apabila tidak menyukai perbuatanku.

"Mencintai dalam hal hati apa karena hartanya?" Tante Yudith menanyakan pertanyaan kedua dengan senyum sinisnya. Aku menghela nafas lebih dalam dari biasanya. Cobaan apa ini?

"Saya mencintai Rangga bukan karena harta, tante. Saya mencintai semua sisi diri Rangga, hati dan sifatnya yang terutama saya cintai." Jawabku masih dengan tersenyum. Tante Yudith menyunggingkan senyuman miringnya, aku memejam beberapa detik sebelum membuka kedua mataku kembali.

"Bohong kamu! Kamu mencintai Rangga hanya karena uang kan? Saya tau kamu bukan dari keluarga yang berada!" Pekik Tante Yudith yang membuatku langsung membulatkan mata terkejut. Darimana Tante Yudith mendapatkan kata-kata itu?

Seisi pengunjung caffee kini menatap mejaku dan Tante Yudith setelah Tante Yudith tadi memekik marah. Kini air mata yang sejak tadi ku tahan tak dapat ku bendung lagi. Aku menangis di depan calon ibu mertuaku. Jujur, aku sakit hati. Aku memang terlahir dari keluarga yang tidak berada, tidak sama dan sangat berbeda dengan keluarga Rangga. Tapi apakah aku harus di cap seperti wanita yang gila harta oleh Tante Yudith? Mendekati Rangga hanya karena hartanya? Aku bukan wanita yang seperti itu.

"Serius, Tan.. Tania gak kayak begitu, mendekati Rangga hanya karena hartanya. Tania mencintai Rangga karena Allah."

"Halah mana ada maling ngaku! Maling ngaku sih penjara penuh!"
Tante Yudith tersenyum sinis lagi setelah menyelesaikan kalimatnya. Aku benar-benar menangis kali ini. Apa meninggalkan Rangga dan membatalkan pernikahan ini adalah cara terbaik, Tuhan?

Aku menyadari bahwa waktu terus berjalan. Aku harus profesionalisme biarpun Bisma sendiri adalah teman dekatku. Lagian menurutku, perbincangan aku dan Tante Yudith kalau dilanjutkan pasti tidak akan kelar dengan cepat. Dan pasti semakin lama, ucapannya semakin menohok hatiku.

"Maaf Tante, waktu istirahat makan siang saya sudah habis. Maaf kalau saya tidak sopan meninggalkan Tante. Saya boleh melanjutkan pekerjaan saya?" Tanyaku diselipi memohon izin secara sopan. Kedua telapak tanganku kini terangkat untuk menghapus air mata yang turun dari kedua mataku. Aku masih tersenyum di hadapan Tante Yudith yang menatapku masih dengan tatapan sinisnya.

"Silahkan."

Ujar singkat Tante Yudith yang membuatku lagi dan lagi menghela nafas dalam. Aku beranjak berdiri dan membungkuk sambil menjulurkan tanganku untuk menyalami telapak tangannya. Cukup lama sampai aku mendongak untuk menatap wajah calon mertuaku yang tengah menatap telapak tanganku dalam diam. Beberapa detik kemudian, Ia mengulurkan tangannya cepat dan akupun langsung mencium punggung telapak tangannya tandaku menghormati orang yang lebih tua dariku.

Aku tersenyum kecil dan mengucapkan salam sebelum pergi. Tante Yudith tidak meladeniku, dia hanya diam cuek sambil menyesap secangkir moccachino panas yang tadi sudah diantarkan pelayan. Kedua kaki milikku melangkah meninggalkan caffee ini ditemani pandangan beberapa pengunjung yang masih memandangiku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan.


*
@Author POV


Tania melangkah lesu memasuki area kantornya. Jam makan siang sudah berakhir sejak lima belas menit yang lalu. Perutnya belum terisi makanan, dan suasana hatinya saat ini tidak bisa diajak untuk kompromi, bahkan untuk mengisi perutnya yang lapar saja Tania tak mampu. Andai bisa pulang, Tania lebih memilih pulang dan tidur di rumah. Kepalanya sangat sakit saat ini.

"Tania."

Saat Tania sudah melangkah memasuki lift dan membalikkan tubuhnya, Ia melihat Bisma dan Dina yang kini melangkah masuk di lift yang sama. Tania tersenyum kecil membalas sapaan mereka. Tania menatap Bisma dan Dina secara bergantian. Apakah Ia dan Rangga juga bisa bersama seperti mereka berdua?

Apakah cinta memihak kepada perbedaan yang ada? Menyatukan dua insan yang saling ingin memiliki?

"Tan.."

Tania tak sadar jika lift sudah sampai di lantai tempat ruangan departementnya berada. Tania hanya tersenyum lebar menatap Bisma dan Dina yang kini sudah menatapnya aneh.

"Kamu kenapa?" Tanya Dina menatap Tania yang kini membulatkan kedua matanya karena Bisma menutup pintu lift dan menekan tombol angka lantai ruangan pemimpin besar itu berada.

"Bis, kenapa ditutup lagi sih pintunya?" Tanya Tania dengan nada kesal. Bisma menatap Tania sekilas dan kini pintu lift sudah terbuka lagi. Tanpa menjawab pertanyaan Tania, Bisma melangkahkan kakinya keluar dari lift dan melangkah menuju ruangannya yang berada di pojok kiri koridor lantai lima ini.

Sebelum menyusul Bisma, Dina menarik salah satu pergelangan tangan Tania dan menarik Tania keluar. Tania mengikuti Dina dengan langkah terpaksa tanpa memberontak sama sekali. Tenaganya seakan sudah hilang begitu saja setelah bertemu Yudith barusan.

"Ngapain ngajak gue ke sini? Kerjaan gue masih banyak, Bis."

Tania menatap Bisma datar. Saat ini mereka sudah ada di ruangan Bisma dengan Dina yang duduk di sebelah Tania, sedangkan Bisma duduk di atas kursi kerjanya.

"Lo abis ketemu Tante Yudith?"

Tania langsung menatap Bisma terkejut. Darimana lelaki itu tahu?

"Tadi kita gak sengaja ketemu Tante Yudith pas mau kesini.. Katanya beliau abis ketemu kamu.." Dina menjelaskan mengapa suaminya bisa bertanya seperti itu. Tania hanya menghela nafas pelan dan beranjak berdiri. Ia tak berniat menjawab pertanyaan boss sekaligus teman dekatnya itu.

"Dan muka lo yang lesu banget kayak gitu, buat gue yakin Tante Yudith udah ngomong yang enggak-enggak sama lo. Benerkan? Bilang sama gue, biar nanti gue bilang sama Rangga.."

Tania yang hendak melangkah meninggalkan ruangan ini membatalkan niatnya. Ia kini menatap Bisma dan Dina bergantian lalu menghela nafas.

"Biar, ini masalah gue. Makasih lo berdua udah peduli banget sama gue. Kalian gak usah khawatir, gue lesu karna gue belum makan kok." Alibi Tania yang terlihatnya cukup dipercayai oleh Bisma dan Dina, karena kedua sejoli itu langsung menganggukkan kepalanya. Tania tersenyum kecil, tanpa mengucapkan apa-apa wanita ini langsung melangkah cepat keluar dari ruangan Bisma.

"Nyatanya memang aku harus melepas semua ini, Tuhan.."


#

Tania mengutuk kedua kakinya yang menurutnya sangat berlari lamban. Tania sadar, Tania tahu nilai olahraganya sejak sekolah dasar memang sangat kecil ketimbang nilai akademik lain di atas buku laporan nilainya. Tetapi dalam keadaan darurat seperti ini, apa harus kedua kakinya tidak bisa diajak bekerja sama?

Kedua mata Tania sudah berair. Wanita ini menangis terisak sambil terus berlari menuju Ruang Kenanga yang berada di lantai satu dan nomor tempat tidur tiga.

Bibah ditabrak mobil. Bibah dibawa ke rumah sakit. Bibah dijahit 40 jahitan. Bibah kecelakaan.

Tania yang masih berada di kantor pukul setengah tiga sore ini pun langsung meminta izin pulang pada Bisma karena berita kecelakaan adiknya yang Ia dapat dari bundanya. Bisma hanya mengucapkan sabar dan semoga lekas sembuh untuk Bibah, karena Ia saat ini juga sedang disibukkan dengan pekerjaannya. Rangga? Entahlah lelaki itu hari ini memang tidak ada kabar.

Tania sudah menemukan ruang rawatnya, dan Ia pun langsung melangkah cepat untuk masuk ke dalam kamar rawat itu. Di pojok ruangan, sudah ada kedua orang tuanya yang terlihat tengah menatap sang adik dalam diam. Tania semakin terenyuh hatinya, mengapa kejadian ini bisa terjadi?

"Bun.. Ayah.."

Kania mengalihkan pandangannya saat Ia mendengar suara putri sulungnya yang bergetar. Kania tersenyum kecil, Ia langsung beranjak berdiri dan menghampiri Tania yang sudah mematung di ujung brankar putri bungsunya. Tanpa aba-aba, Kania langsung memeluk Tania erat. Tania langsung menangis dan membalas pelukan ibundanya erat.

"Ada apa, bun? Kenapa Bibah bisa kecelakaan kaya gini?" Tanya Tania dalam pelukan bundanya. Kania meneteskan air matanya, Ia mengusap punggung Tania agar putri sulungnya itu tenang, walau Ia sendiri juga tengah merasakan kesedihan karena cukup terkejut akan kejadian ini.

"Motornya ditabrak sebuah mobil dari belakang pas pulang sekolah.. Dan pemilik mobil itu kabur, Bibah pingsan.. Tadi pihak rumah sakit yang mengabari bunda.." Papar Kania. Tania melepas pelukan bundanya dan melihat keadaan adiknya di balik bahu ibundanya. Bibah tengah terpejam.

"Bagaimana keadaan Bibah sekarang?" Tanya Tania menatap bundanya kembali.

"Alhamdulillah dia cuma pingsan dan dijahit kakinya aja. Gak ada infeksi atau segala macam. Kamu gak usah terlalu khawatir, dia baik-baik aja." Papar Kania lagi. Tania tersenyum, Ia menghapus sisa air mata bundanya dengan kedua ibu jarinya.

"Biayanya sudah diurus, bunda?"

"Sudah. Untung bunda punya simpanan di bank, jadi tadi Bibah langsung ditangani oleh pihak rumah sakit."

"Ya sudah nanti Tania transfer uang gantinya. Pakai uang Tania aja, bunda.. Uang itu bunda simpan aja buat simpanan sewaktu-waktu kalau dibutuhkan."

"Terima kasih, Tania."

"Sama-sama, bun. Ini memang sudah kewajiban Tania.."

Perasaan Tania kini sudah tenang. Ia melepas tangkupan kedua telapak tangannya dari wajah sang bunda. Tania melangkah mendekati kursi yang ada di samping brankar adiknya. Ia duduk disana dan memperhatikan wajah polos adiknya yang tengah terpejam. Tania kini ikutan terpejam, Ia bersyukur bahwa semuanya kini sudah sedikit membaik.

Tania membuka pejaman matanya. Kedua matanya kini Ia alihkan menatap sang ayah yang sedari tadi berdiri di sisi kanan brankar Bibah. Ayahnya? Sangat lelah sekali sepertinya.

"Ayah istirahat aja di rumah, bunda juga sama. Biar Tania yang jaga Bibah disini."

Alan yang sejak tadi menunduk kini menatap wajah putri sulungnya. Ia tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya.

"Gak usah, Tania. Ayah mau disini."

"Tapi ayah, ayah sudah kelihatan lelah sekali. Ayah mau sakit? Nanti ayah gak bisa jagain Bibah lagi kalau ayah sendiri sakit." Bujuk Tania. Terlihat Alan menghela nafas pelan lalu menatap wajah Bibah sekilas dengan sendu.

"Benar kata kamu, Tania."

"Tapi Tania, kamu juga lelah bukan? Kamu baru saja pulang dari kantor dengan terburu-buru." Kini Kania yang bersuara. Tania menatap bundanya dan tersenyum tipis.

"Tania gak lelah. Toh, Tania cuma duduk diam dan sesekali berjalan. Tania lebih banyak berhadapan dengan komputer."

"Tapi, Tan---"

"Sudah, bunda.. Tidak apa-apa.."

Kania menghela nafas. Tania memang sangat keras kepala, sifat ini memang warisan darinya juga dari suaminya. Kania kini menatap suaminya.

"Ya sudah. Ayah, ayo kita pulang.. Nanti malam kita kesini lagi gantiin Tania."

"Baiklah, bun."

Setelah menyalami masing-masing telapak tangan kedua orang tuanya, Tania langsung mengambil ponselnya. Tania tahu, pasti ini ulah Laura. Bukannya Tania so' udzon, tetapi mendengar pelaku yang kabur setelah mencelakai adiknya, Tania semakin yakin bahwa itu adalah salah satu ancaman Laura yang wanita itu realisasikan.

Tania sudah emosi. Ia juga tidak mau bermain-main lagi dengan wanita itu. Dengan wajah dinginnya setelah mencari nomor kontak yang ingin Ia hubungi, Tania langsung menempelkan ponselnya di telinga kanannya.

Ini harus diselesaikan.

"Halo."

"Ya. Ini siapa?" Tanya seseorang yang Tania hubungi di ujung panggilan. Tania menghela nafas perlahan sebelum menjawab. Ia malas, sangat malas berhubungan dengan orang-orang ini.

"Gue Tania, Dick.."
Terdengar helaan nafas dari penerima panggilan. Tania tersenyum sinis, kenapa lelaki itu?

"Lo nyimpen nomor gue? Ngapain lo nelpon gue? Gue sibuk." Ujar lelaki ini dengan nada dingin. Seorang lelaki yang tadi Tania panggil, Dick. Dicky lebih tepatnya, suami dari Novi, sahabat Laura.

"Gue gak sudi nelpon lo kalo istri lo dan sahabat istri lo itu gak nyari gara-gara sama gue." Ujar Tania dengan nada dingin. Tania banyak menghela nafas saat ini, Ia tidak mau emosinya semakin menjadi-jadi dan akhirnya meluap tanpa melihat suasana.

"Ada apa sama istri gue? Gak usah fitnah lo!"

"Istri lo yang salah karna ikut-ikutan. Gue minta nomor Laura."

"Minta sana sama Rangga. Dia kan pacarnya Laura. Eh salah, pacarnya kan sekarang lo ya? Cewek gak tau diri."
Tania ingin saja berteriak kalau Ia tak mengingat tempat ini adalah rumah sakit. Tania menghela nafas pendek sebelum menjawab pernyataan jahat dari Dicky, sahabat calon suaminya.

"Gak usah banyak bacot. Kalo lo gak mau istri lo gua bongkar kejahatannya. Kirimin nomor ponselnya Laura. Sekarang!"
Tania berujar penuh penekanan. Setelah mengucapkan tiga kalimat itu, Tania langsung mematikan panggilan dengan sepihak. Ia tak punya pengendalian emosi yang baik saat ini.

Tak lama, ponselnya bergetar menampilkan pesan dari nomor yang tadi dihubunginya. Pesan dari Dicky itu tak ada kalimat-kalimat menyebalkan seperti tadi lelaki itu bercakap lewat ponsel, Ia hanya mengirimkan nomor ponsel tanpa embel-embel apapun. Syukurlah. Misalkan lelaki itu mengirimkan kata-kata menyebalkannya saat sms barusan, Tania tak menjamin hidup lelaki itu akan tenang setelah ini.

Tania langsung menghubungi nomor ponsel yang barusan dikirim Dicky. Nomor ponselnya tersambung, berarti Dicky tidak mengerjainya.

"Hallo.."

Ingin muntah rasanya Tania mendengar suara Laura yang Ia anggap seperti radio usang itu. Tania memutar bola matanya sekilas. Jujur saja, Ia malas sekali menghubungi wanita ini. Ia malas berbincang dengan wanita picik ini.

"Apa yang lo lakuin sama adek gue, hah?" Ujar Tania dengan emosinya yang menggebu. Terdengar Laura terkekeh di ujung ponsel membuat Tania ingin meludahi wajah wanita itu. Ada yang punya golok?

"Oh ternyata Kak Tania ya yang telpon aku? Cieee ih dapet nomor aku dimana, kakak?" Ujar Laura dengan suaranya yang dipolos-poloskan seperti anak kecil. Tania menghela nafas kesal, ini bukan saatnya main-main! Tuhan, kenapa Ia harus berurusan sama cewek uler keket kayak gini?

"Lo wanita pintar bukan? Tunjukkin wajah lo di depan gue kalo lo emang cewek pintar dan--- cewek yang mau berada di samping Rangga." Tania memejamkan kedua matanya saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Hanya itu. Hanya kalimat itu yang membuat Tania yakin bahwa Laura mau menemuinya hari ini.

"Kakak menyerah? Akhirnya... Haha akhirnya kakak tahu siapa yang pantas bersanding di dalam hati seorang Rangga Dewamoela." Tania muak mendengar suara Laura. Tania benci mendengar tawa kemenangan yang keluar dari mulut wanita itu. Boleh Tania berkata kasar saat ini? Mulutnya sangat gatal ingin mengucapkan satu kata itu.

"Gak usah banyak basa-basi!"

"Oke-oke. Jam tujuh di resto yang kemarin ketemu. Kalau kakak tetep batu ingin mempertahankan Kak Rangga, jangan salahkan aku kalau ada yang lebih meriah dari perbuatanku hari ini. Camkan!"

Tania langsung menjauhkan ponselnya tanpa menjawab ucapan wanita itu lagi. Wanita itu berhasil mengobrak-abrik ketenangannya. Wanita itu berhasil membuat keluarganya kesakitan. Tak akan Tania biarkan lagi wanita itu berurusan dengan hidupnya, apalagi hidup keluarganya.

KITA YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang