Luka Di Taman Kota

1.4K 34 0
                                    

***

Bisakah perbedaan ini menyatukan kita dalam satu yang sama?
Di dalam naungan damai yang mengayun damba?
Dicinta dan mencinta, ku harap kau mencintaku. Harapan yang sangat sederhana namun mampu mengoyak semua sisi bahagia hidupku.
Dapatkah kita bersama? Selalu bersama. Meski banyak cobaan yang membuat kita untuk tidak bersama, sejak masa awal kami mulai mencinta?



-Kita yang Berbeda-



***





OoOoOoO

@Tania POV


"Kamu tadi jalan sama Laura, Ngga?"

"Kami tidak sengaja bertemu, Tania.. Kamu jangan salah paham dulu.."

Aku menatap Rangga dengan tatapan nanar. Kenapa lelaki itu selalu saja tidak peka sedari dahulu? Apa dia tidak melihat bagaimana tatapan kedua mataku saat ini untuknya? Aku cemburu, Rangga! Aku cemburu..

"Tidak sengaja bertemu? Mengapa kalian terlihat selalu bersama beberapa hari ini?" Aku bertanya dengan sedikit berteriak akibat kekesalanku yang sudah memuncak. Ku tatap kedua matanya tajam. Dia bergelagat sedikit gelisah dan kulihat kedua pupil matanya membesar, walau hanya dalam hitungan detik. Di detik berikutnya Rangga berhasil menguasai dirinya kembali. Benarkan dia berbohong?

"Aku sedang menyelesaikan beberapa urusan dengannya. Jadi kau tidak perlu marah saat ini, Tania.."

"Urusan?"

Aku menaikkan salah satu alisku dan menatapnya dengan tatapan bertanya. Mereka berdua memiliki urusan yang belum selesai? Tentang apa? Pekerjaan? Aku rasa mereka bisa menyelesaikannya di dalam lingkup kantor, tidak perlu mereka menyelesaikannya dengan berjalan-jalan di area caffee atau taman kota atau juga pusat perbelanjaan di kota besar ini. Lagian, bukankah Laura hanya sekretaris pribadi dari rekan kerja Rangga?

Jangan-jangan, urusan cinta mereka yang belum kelar? Ah kalau seperti itu, aku benar-benar mengamuk.

"Ya, urusan.. Apa kamu gak percaya?"

Tanyanya dengan tatapan seolah-olah meyakinkanku bahwa ucapannya tadi adalah fakta. Maaf Rangga, aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja kali ini. Kalian berdua... Bersama kembali... Aku takut, Ngga.. Apa kamu tahu itu?

"Apa kamu selalu bisa buat aku percaya?" Tanyaku dengan suara meremehkan. Ku dengar helaan nafas Rangga yang berada di hadapanku. Lelaki itu membuang muka sekilas sambil memejamkan kedua matanya sebelum kembali menatapku yang tengah menatapnya dengan emosi yang sudah tercipta sejak tadi.

"Kamu udah shalat isya? Kalau belum, kamu shalat.. Aku mau pulang.. Hari ini benar-benar melelahkan, Tania.."

Rangga tak menjawab pertanyaanku, lelaki itu malah berbalik dan melangkah menjauh dari posisiku berdiri. Aku ingin saja memanggil namanya kalau Ia tidak berbalik kembali, sebelum keluar dari area teras rumah keluargaku yang sederhana ini.

"Setelah shalat dan mandi, kamu istirahat.. Aku gak mau kamu sakit.. Wassalamualaikum.."

"Wa'alaikumsalam.."

Dia memberikan senyum tipisnya ke arahku sebelum Ia meninggalkanku seorang diri di teras rumahku. Aku hanya terdiam menatap tubuhnya yang kini hilang dibalik pintu mobilnya, dan beberapa detik kemudian mobilnya sudah hilang di belokan jalan rumahku. Entah mengapa, melihatnya yang selalu sabar menghadapi sifatku yang cukup sensitif kalau ada yang tidak kusukai, Aku malah menjadi diam membeku sendiri.

Rangga Dewamoela, seorang CEO muda perusahaan keluarganya yang sudah dirintis sangat lama oleh para pendahulunya. Lelaki dengan sejuta karismanya yang mampu mengalihkan setiap perhatian para kaum hawa ini adalah kekasihku sejak tiga bulan yang lalu. Rangga, dia tumbuh menjadi laki-laki yang sangat taat dengan agama, keluarganya pun memang sangat kental dengan suasana islami. Lelaki yang seumuran denganku dan hanya lebih tua beberapa bulan ini memang berhasil menguasai satu ruang kosong di dalam hatiku, yang aku sediakan hanya untuk seorang lelaki yang benar-benar menyayangiku.

Sekolah menengah atas, aku mengenal lelaki itu dari sana. Dahulu kami adalah sepasang sahabat yang dekat karena kami sering bercerita tentang setiap masalah yang kami hadapi. Karena itu pula aku mengaguminya sejak masa itu. Rasa nyaman, itulah penyebab mengapa dahulu aku menyukai lelaki itu. Namun aku harus mengubur dalam rasaku, ketika Rangga menjalin hubungan kasih dengan seorang adik kelas yang berbeda satu tingkat dengan kami, Laura.

Mereka berhubungan saat kami berada di kelas dua, hubungan mereka pun menjadi buah bibir para murid yang mengenal salah satu atau bahkan mereka berdua. Mereka sama-sama anggota induk organisasi yang berada di sekolah kami. Sejak saat itu Rangga sedikit menjauhiku, apalagi saat akhirnya dia mengetahui bahwa aku mengaguminya sejak kelas satu, hubungan pertemanan kami pun meregang. Sampai kami akhirnya lulus dari sekolah dan menghilang tanpa jejak setelah itu.

Setengah tahun yang lalu, dimana usiaku menginjak angka dua puluh lima tahun, dia hadir kembali dengan kesuksesannya yang gemilang. Kami bertemu kembali karena acara reuni yang diadakan oleh sekolah. Dia datang, dan rasa itu masih tetap sama. Aku memang sudah menguburnya dalam-dalam selama delapan tahun belakangan ini, namun entah mengapa tidak bisa. Sekalipun aku menjalin kasih dengan beberapa orang lelaki, namun perasaan ini tidak pernah hilang. Malah disaat pertemuan kami kembali waktu itu, rasa ini semakin membuncah tak terkira.

Dia yang awalnya mendekatiku semejak pertemuan kami di reuni sekolah. Aku merasa minder sewaktu awal-awal kami kembali berkomunikasi, karena status sosial kami yang berbeda. Dia yang sejak dahulu dikenal sebagai anak dari keluarga yang sangat berada dan berpendidikan tinggi, sedangkan aku hanya anak dari kalangan keluarga kelas menengah kebawah dan berpendidikan pas-pasan. Namun dia berhasil menghilangkan tembok yang aku dirikan, karena aku merasa kami memang sangat berbeda. Dia kembali menciptakan rasa nyaman itu, yang menyebabkan aku semakin mencintainya. Cinta yang aku sendiri tak mengira akan bertahan selama ini. Aku tahu bahwa rasa yang terlalu dalam itu juga tidak dibolehkan, namun aku sendiri tak bisa mencegahnya.

Saat kami tengah berada pada masa penjajakan, aku baru mendengar kabar bahwa hubungan kasih Rangga dan Laura memang benar-benar bertahan sampai setahun yang lalu, dimana setengah tahun sebelum kami bertemu di acara reuni sekolah. Aku ragu saat itu, dimana sempat aku menjauhi Rangga karena kabar itu. Aku takut aku hanya menjadi pelariannya. Hubungan mereka yang sudah sangat lama, memungkinkan bukan kalau mereka masih sama-sama memiliki cinta walau hubungan mereka sudah berakhir? Aku tidak mau rasaku harus terpendam lagi seperti waktu kemarin. Ini terlalu menyakitkan.

Namun dia mencecarku dan menjelaskan semua. Dia menceritakan kisah cintanya yang kandas karena Laura memilih lelaki lain, dan lelaki itu juga masih teman dekatnya Rangga. Aku juga mengenal lelaki itu karena dia adalah anak seangkatan kami waktu SMA. Dan banyak cerita lain yang berhasil aku percaya. Dan tak lama sehabis masalah itu, kami menjalin kasih.

Namun disaat hubungan kami akan resmi di mata agama dan negara sekitar satu setengah bulan lagi, mereka kembali dekat. Siapa yang tidak meradang? Aku takut. Aku takut Rangga kembali bersama Laura. Walau aku tahu, memang akulah penengah diantara mereka. Andai saja aku tidak muncul di hadapan Rangga saat-saat mereka tengah saling menjauh akibat masalah mereka, mungkin saja mereka kembali bersama. Kalau akhirnya mereka bersatu kembali, cepatlah untuk aku ketahui. Lebih baik aku tahu sekarang, daripada nanti.

Aku tidak mau jatuh untuk yang kedua kalinya..


###

Dua wanita dihadapanku ini memang sangat cantik. Dengan balutan kain pashmina yang menutupi aurat mereka yang berada di kepala, juga pakaian mereka yang tertutup dan memang sedang trend saat ini, membuatku ingin juga memakainya. Namun aku sadar diri, aku masih belum siap karena tidak kepercayaan diriku. Aku masih terlalu banyak kekurangan yang membuat niatku menutup aurat sepenuhnya pun sedikit aku pendam. Namun jangan salah, aku juga selalu menutup auratku. Walau tidak sepenuhnya, karena aku tidak berhijab sampai saat ini.

Salah satu diantara wanita itu, dia adalah Laura. Dia sangat cantik, aku memang sangat mengakuinya sejak dahulu. Pantas saja Rangga sangat tertarik dengannya, menjadikan wanita ini kekasihnya sampai hampir delapan tahun. Kalau dibandingkan denganku, aku memang tidak ada apa-apanya. Dia wanita yang terkenal sangat baik, sangat ramah, dan banyak lagi tentang kebaikannya. Aku? Haha jangan tanya, aku memang salah satu wanita yang dikenal sekali cuek dan jutek saat masa sekolah, bahkan sampai saat ini pun masih begitu.

Wanita di sebelah Laura juga aku mengenalnya, Dia Novi. Dia adalah sahabat dari istri pemimpin perusahaan dimana aku bekerja. Oh iya percayalah, sebenarnya mereka berdua ini adalah sahabat dari istri boss ku. Novi dan Dina --Dina adalah istri bosku-- sendiri adalah istri dari sahabat-sahabat Rangga sejak SMA, bahkan dengan suami-suami mereka aku dan Rangga sekelas selama tiga tahun. Kalian mengerti kan? Dunia memang terasa begitu sempit.

"Cintaku ke Rangga jauh lebih besar daripada cinta kamu.. Aku yang berhubungan dengannya dari dulu, dan Rangga pun mencintaiku sejak dulu. Pasti hatinya memiliki rasa yang lebih besar untukku, Tania.. Jujur aku menyesal menyiai-nyiakan Rangga, lelaki yang hampir sempurna itu.."

Aku masih menatap Laura sambil menyimak setiap kata yang dilontarkannya saat ini. Makan siang yang aku pesan sejak tadi di restaurant ini pun belum aku sentuh sama sekali. Rasa penasaranku jauh lebih besar daripada rasa lapar yang menjerat perutku.

"Aku mau kamu menjauh dari Rangga.. Biarkan aku bersama Rangga.. Percayakan bahwa Rangga akan bahagia bersamaku. Aku jamin itu, Tania.."

Aku membulatkan kedua mataku tanda terkejut. Menjauh? Ini permintaan macam apa? Tidak tahukah Laura bahwa kami akan menikah satu setengah bulan lagi?

"Aku tau kalian akan menikah sebentar lagi.. Tetapi kalian belum buat undangan kan? Bisa saja nama di dalam undangan itu kita rubah menjadi namaku dan keluargaku.." Ujarnya lagi seolah tahu bahwa ada pemberontakan yang muncul dari dalam kepalaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya, apa masih punya akal sehatkah wanita cantik ini?

"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?" Tanyaku seolah menantang. Lagian Rangga juga kini sudah menjadi milikku walau belum seutuhnya bukan? Dengan cincin manis di salah satu jemariku sebagai pengikat, menandakan dia sepertinya benar-benar serius bersamaku.

"Kita liat saja bagaimana dengan nasib keluargamu." Kali ini Novi yang bersuara. Aku langsung menatap dia tajam. Apa-apaan maksudnya? Kenapa keluargaku dibawa-bawa?

"Awas saja sampai kalian menyentuh keluargaku, menciptakan segores luka kecil saja pada fisik maupun batin keluargaku, aku habisi kalian!" Ujarku setengah berteriak. Terlihat mereka berdua tertawa meremehkan setelah mendengar ancamanku. Aku tak habis pikir, apakah mereka selicik ini?

"Kalau begitu, menjauhlah dari Rangga.. Secepatnya!" Ujar Laura dengan tatapan dingin yang mengintimidasi. Novi tersenyum miring menatapku yang sudah terlihat kalang-kabut takut keluargaku kenapa-kenapa. Mereka berdua beranjak dari duduk mereka dengan anggunnya. Laura menatapku yang masih duduk dengan tatapan sok ramahnya.

"Selamat melanjutkan makan siangnya, Kak Tania.."

"Cih!"


###

Aku belum bertemu Rangga lagi semenjak kejadian sesudah waktu isya itu. Dia yang sibuk karena mengurus persiapan pernikahan kami yang masih baru beberapa persen, ditambah tugas-tugas kantornya yang Ia kebut demi bisa cuti saat nanti, benar-benar membuat kami tidak ada waktu untuk bertemu. Dia hanya sesekali menanyakan kabarku dan memberikan kabarnya, juga mengingatkanku untuk makan dan shalat serta istirahat yang cukup lewat pesan singkat. Selanjutnya, tidak ada komunikasi lagi diantara kami.

Pertemuanku beberapa hari yang lalu dengan Laura dan Novi benar-benar mengusik ketenanganku. Keluarga adalah segalanya, dan aku takut apabila aku mempertahankan pernikahan ini, keluargaku akan dalam keadaan yang tidak baik. Tetapi kalau aku membatalkan acara sakral ini, aku akan mengecewakan banyak pihak, terutama Rangga. Aku bingung, sangat bingung saat ini.

Saat aku tengah menatap kosong layar komputerku, aku baru menyadari bahwa pemimpin besar perusahaan ini sudah berdiri di depan deretan sekat kerja para pegawai departement kami. Teman-teman kerjaku kini terfokus menatap sang boss yang tengah mengucapkan salam. Aku pun mulai fokus ke arah depan untuk menyimak apa yang akan beliau ucapkan.

Ternyata boss ku yang bernama Bisma itu tengah menyelenggarakan study banding ke luar negara, untuk berkunjung ke salah satu perusahaan maju yang juga relasi perusahaan ini selama beberapa hari, untuk melihat bagaimana kinerja kerja mereka yang bagus ditambah untuk merefreshing pikiran juga. Boss menunjuk salah satu pegawai kami yang memang terkenal ulet di departement ini, tetapi dia menolak sebagai perwakilan. Dia malah menunjuk aku yang mewakili departement ini karena selain dia, aku yang paling ulet disini. Bisma langsung menatapku dan sepertinya lelaki ini tidak setuju. Karena memang dia mengetahui, aku dan Rangga sedang mengurus persiapan pernikahan kami yang bisa dibilang sebentar lagi.

"Tania saja, Pak."

"Iya. Dia yang paling rajin di sini selain Naufal, Pak."

"Tapi..."

"Saya bersedia, Pak Bisma."

Ujarku mengacungkan tangan dan berbicara dengan mantap. Bisma langsung menatapku dengan tatapan herannya, tetapi aku membalasnya dengan menganggukkan kepala. Bisma terlihat menghela nafas ringan.

"Baiklah.. Tania, kamu ke ruangan saya sekarang.."

Aku menganggukkan kepalaku dan menyusul Bisma yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju ruangannya.


*

"Kamu bener mau ikut jadi perwakilan departement kamu selama lima hari, Tania?"

Bisma masih menatapku dengan wajah shocknya sejak beberapa menit yang lalu. Aku hanya bisa terkekeh kecil sejak tadi. Kepalaku mengangguk mantap ketika sekretaris pribadi kesayangannya bossku barusan menanyakan perihal kemauanku sebagai perwakilan tadi.

"Iya saya mau ikut, Pak."

"Jangan pake bahasa formal lah!"

"Iya-iya."

"Kamu kan lagi ngurus persiapan nikah kamu bukan?" Tanya Dina lagi --sekretaris sekaligus istri Bisma-- yang berada di sebelah lelaki manis itu.

"Hehe aku mau refreshing." Ujarku tanpa banyak alasan. Jangan sampai mereka tahu apa yang sedang terjadi denganku saat ini. Karena kalau mereka tahu, mereka akan mengadukannya ke Rangga. Memang diantara Bisma, Dina, Novi dan suaminya Novi yaitu Dicky, Bisma dan Dina lah yang paling memihakku.

"Refreshing? Kalian lagi ada masalah?"

"Gak ada.."

"Berarti gue harus bilang dulu sama Rangga, dia ngijinin atau engga.."

"Jangan bilang sama Rangga!" Sentakku yang berhasil membuat sepasang suami-istri ini langsung membulatkan kedua mata mereka karena terkejut.

"Jangan bilang sama Rangga.. Please Bis, Din.." Ujarku memohon dengan menyatukan kedua telapak tanganku di depan dada. Bisma menatapku dengan alisnya yang naik satu.

"Lo bohong ya? Lo ada masalah kan sama Rangga?"

"Lo kepo banget sih, Bis! Lo mau ngomong sama Rangga atau gue sebarin gosip bahwa..."

"STOP!"

Aku tergelak mendengar suara teriakan frustasi dari Bisma dan Dina. Mereka menatapku dengan tatapan membunuh setelah berteriak barusan.

"Mules gue kalo denger anceman lo yang gak bermutu itu! Iya gue gak akan bilang sama Rangga."

Ujar Bisma datar membuatku tersenyum senang. Ku acungkan kedua ibu jariku di depan Bisma. Bisma hanya mencibirku tanpa suara membuatku kini tertawa kembali.

"Siapin barang-barang lo. Lusa kita berangkat."



###

Tubuhku kini sudah duduk di atas kursi tunggu Bandara Internasional Soekarno-Hatta sejak beberapa menit yang lalu. Aku duduk tepat di samping jendela kaca besar, paling pojok. Ditemani Dina di sebelahku, aku rasa aku memang orang yang cukup miris disini.

Ku tatap para rekan kerjaku yang tengah saling berbincang dengan bahagianya. Mereka sangat terlihat ceria, dibandingkan aku yang sejak memunculkan diri tadi pagi, wajahku sudah dalam keadaan masam. Mereka juga sempat menanyai kabarku karena aneh saja bagi mereka, aku yang selalu berisik di kantor kini terlihat lesu. Seharusnya aku bahagia bukan karena aku akan pergi ke salah satu negara yang aku kenal sejak dulu? Argh ada apa denganku?!

Setelah menatap kosong jendela besar disebelahku, pandanganku beralih menatap ponsel yang berada di genggaman kedua tanganku yang disatukan di atas kedua paha. Aku mulai bimbang, bagaimana kalau Rangga khawatir karena aku yang mendadak tidak ada di rumah? Tapi sebentar... Apa benar dia mencariku?

Selama kami berpacaran, dia tidak pernah sekalipun kalang-kabut mencariku, karena memang aku memiliki aktivitas yang itu-itu saja. Paling berbeda kalau aku ada urusan ke pasar atau mall. Berbeda dengan dia yang selalu sibuk dan terkadang membuatku kesal karena dia suka sekali tidak mengabariku. Dia memang berbeda dari semua cowok yang pernah menjalin kasih denganku.

"Kamu nungguin sms dari Rangga?"

Pertanyaan Dina berhasil memecah lamunanku. Aku menatap Dina yang menatapku penasaran sambil menahan senyum membuatku menjadi malu sendiri. Aku meringis kecil lalu mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, Din.."

"Kok gak tau?"

"Begini saja rasanya aku sangat bersalah gara-gara tidak mengabarinya. Tapi Rangga, dengan seenak jidat dia selalu menghilang tanpa kabar dariku. Bahkan pernah sampai dua hari, tapi aku lihat dia santai-santai aja.. Bagaimana caranya supaya aku bisa seperti itu?"

Ku lihat Dina terkekeh kecil membuatku memajukan bibirku kesal. Apa yang lucu?

"Bisma dulu juga seperti itu, saat kami pacaran.."

"Lalu?"

"Bersabarlah.."

Sabar? Dari dulu kalau sama Rangga sih kata sabar emang jadi makanan wajib. Daripada aku emosi karena percakapan tanpa arah ini, aku memilih tersenyum dan kembali menatap jendela kaca besar yang berada tepat di samping tubuhku.


*

Setelah perjalanan selama beberapa jam di udara, kini aku bersama rombongan tengah menunggu barang-barang kami di ruangan yang besar ini. Aku berdiri tak jauh dari benda memutar yang mengeluarkan barang-barang bawaan penumpang itu di dekat Bisma dan Dina. Aku hanya diam saja tak menyimak dengan menarik obrolan Bisma dan Dina yang tidak aku mengerti. Hehe aku tidak menguping ya, tapi emang kedengeran.

Ku ambil ponsel yang terasa bergetar di saku celana jeansku. Ku ambil ponselku dengan cepat lalu menatap siapa yang menghubungiku. Rangga? Kedua mataku langsung membulat sempurna.

"Kenapa lo?" Tanya Bisma dengan nada songongnya yang memang selalu menyebalkan.

"Rangga nelpon.." Ujarku dengan gelagat tubuh gelisah. Bisma langsung membulatkan kedua matanya diikuti Dina disampingnya.

"Lo belum bilang lo disini kan? Gue takut kena amuk Rangga, gue bawa kabur calon istrinya."

Aku mencibir dalam hati ketika mendengar kata 'calon istri' yang tadi sempat dikeluarkan Bisma. Memangnya pernikahan kami sudah pasti?

Ponselku kembali bergetar. Ini kali kedua Rangga menghubungi nomorku. Dengan was-was, aku geser ke kiri layar touch ponselku lalu menempelkan benda kotak itu di telinga kananku.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Kamu dimana?"

Aku meringis mendengar pertanyaan Rangga yang menodongku dengan seram. Walau lelaki itu bertanya dengan nada biasa, tetap saja buatku Ia seperti sedang berbicara dengan nada yang sangat menyeramkan.

"Aku... Di kantor.."

"Jangan bohong!" Rangga langsung menyela jawabanku tadi dengan nada tak terima. Ya Tuhan, apa dia tahu aku tidak berada di Indonesia?

"A...aku.. Tidak bohong, Rangga.." Ujarku setengah terbata. Ku dengar Rangga tertawa sinis di ujung ponsel, dan berhasil membuatku langsung menelan ludah. Mengapa lelaki ini benar-benar terlihat menyeramkan sekarang?

"Kamu memang tidak mempunyai bakat berbohong denganku sejak dulu, Tania.."

"Dan sepertinya, kita harus bicara empat mata setelah ini.."

Baru saja aku mengambil nafas untuk menjawab ucapannya, telepon sudah dimatikan secara sepihak oleh Rangga. Aku menjauhkan ponselku dari telinga lalu menaruhnya kembali di tempat semula.

Ku lihat Bisma dan Dina menatapku dengan pancaran mata ingin tahu apa yang terjadi tadi di telepon. Aku menghela nafas sebelum membicarakan perihal tadi kepada dua sejoli ini.

"Rangga marah. Kayaknya dia tau gue bohong.." Ujarku lesu. Ku lihat Bisma mengerutkan dahinya dan menatapku bingung.

"Kok bi....bisa?"

Ucapannya terhenti sejenak saat ku dengar bunyi ponselnya. Bisma terlihat meringis lalu mengambil ponselnya setengah niat. Ku lihat juga Dina menepuk keningnya tanda pasrah apa yang akan terjadi nanti. Percayalah, Rangga kalau sudah marah memang sedikit--- seram.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Gak usah banyak basa-basi. Kenapa lo gak bilang sama gue kalo lo mau bawa Tania ke Austria?"

Aku menelan ludah mendengar pertanyaan yang sangat ketus dari Rangga pada Bisma. Aku dan Dina bahkan bisa mendengar suara Rangga tadi, karena Bisma men-loudspeaker ponselnya.

"Maaf, Ngga.. Gue terlalu sibuk, jadinya gue lupa.." Bisma menjawab pertanyaan Rangga dengan sedikit cengengesan.

"Dan gue hapal kalo lo bukan orang yang pelupa, Bisma.."
Bisa kupastikan kalau saat ini aku bisa melihat ekspresi wajah lelaki itu, dia pasti tengah menampilkan wajahnya yang amat sangat menyebalkan. Ekspresi wajahnya yang ingin selalu aku lempar dengan sepatu sejak jaman kami SMA dulu.

"Aduh gimana ya.. Hemm.. Tania yang minta gue kayak gitu.."

Aku langsung menatap Bisma yang juga langsung menatapku dengan tatapan meminta maaf. Memang kalau dengan Rangga sebaiknya jujur, aku menganggukkan kepalaku tanda tidak apa-apa. Aku memejam sekali dengan meringis takut. Apa setelah ini Rangga akan mengamuk? Dia tipe pria yang tidak mau dibohongi sedikitpun.

"Oke. Makasih udah jujur, Bis.. Wassalamualaikum.."

"Wa'alaikumsalam."

Bisma menggeser layar touch ponselnya ke arah kanan lalu menaruh ponselnya kembali di saku celananya. Bisma dan Dina serempak menatapku seolah bertanya bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Rangga setelah ini.

"Paling dia ngambek, marah.."

KITA YANG BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang