Satu

2.3K 151 1
                                    

Seorang lelaki berkemeja biru dengan setelan jas hitam yang melekat pas di tubuhnya tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat dan matanya memancarkan kemarahan.

"Bagaimana bisa?!" tanyanya seraya menggebrak meja kerjanya.

"Ma-maaf, Pak. Saya juga tidak tahu." sahut seorang lelaki yang berhadapan dengannya dengan wajah takut-takut.

Ia menggeram marah lalu membalikkan badannya menghadap dinding kaca. Nafasnya masih memburu karena amarah yang ditahannya.

"Cepat panggil atasanmu!" serunya tanpa membalikkan badan.

"Ba-baik, Pak." sahut lelaki tadi gagap sebelum buru-buru keluar dari ruangan yang pengap oleh api amarah itu.

Beberapa saat kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu. Dengan nada tajamnya lelaki berkemeja biru yang jasnya telah ditanggalkan itu menyuruh si pengetuk untuk masuk.

"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya lelaki yang baru masuk pada atasannya yang sudah diselimuti amarah itu.

"Apa kerjamu, huh?!" desis lelaki berkemeja biru itu sinis.

"Maksud Bapak?" tanya lelaki berkemeja putih tersebut.

"Bagaimana bisa sekretaris yang baru tiga hari bekerja mengundurkan diri begitu saja?" tanya lelaki berkemeja biru itu.

Lelaki yang berkemeja putih itu justru menaikkan sebelah alisnya sebentar lalu kemudian tersenyum miring.

"Kenapa Bapak tanyakan pada saya?" balas si pemuda berkemeja putih itu dengan senyum miringnya.

"Apa maksudmu, huh?!" bentak lelaki berkemeja biru itu seraya mencengkram erat kerah kemeja bawahannya tersebut.

"Berhenti bersikap seperti ini, Ri!!" bentak lelaki yang kerah kemejanya tengah dicengkram erat atasannya-Fachri.

Fachri melepaskan cengkramannya dengan kasar lalu kemudian berbalik menuju kursi kerjanya.

"Sikap dingin dan tempramentalmulah yang membuat semua sekretaris yang bekerja denganmu tidak betah. Jadi berhentilah bertingkah layaknya monster es seperti ini!" ujar lelaki berkemeja putih yang bernama Radit itu.

Fachri yang tengah mengurut hidungnya itu mendongak, melemparkan tatapan tajamnya pada Radit. Entah mengapa ia muak. Muak berhadapan dengan seorang Radit Hernawan yang pernah memaksanya menelan pil pahit dengan melihatnya bermesraan dengan gadisnya. Gadisnya? Cih! Gadis murahan macam itu tak pantas disebut gadisnya.

"Bersikaplah sopan pada atasanmu!" tegasnya, "Dan cepat carikan sekretaris baru. Secepatnya." imbuhnya sebelum menyuruh Radit keluar dari ruangannya.

***

"Lagi apa, Ri?" tanya seorang wanita paruh baya pada gadis di sampingnya yang tengah sibuk mengutak-atik tab nya.

"Nyari kerja, Ma." sahut gadis itu.

"Maafin mama ya, Nak. Andai saja mama tidak sakit-sakitan..."

"Mama!" bentak gadis itu yang sudah beralih menatap tajam mamanya.

Namun sedetik kemudian mata sang gadis berubah sendu. Digenggamnya tangan ibunya itu lalu dikecupnya penuh sayang.

"Mama jangan mengatakan hal itu lagi. Sudah jadi kewajibanku untuk menafkahi Mama. Anggap saja aku sedang menyicil untuk membayar semua kasih dan pengorbanan Mama untukku." ujar gadis tersebut tulus.

Wanita paruh baya itu menitikkan air matanya. Ia bahagia juga bangga telah dikarunia putri sebaik dan setegar gadis ini. Riana Putri. Seorang gadis yang rasanya baru kemarin ada di pangkuannya. Bermain ayunan dan berlarian di taman. Kini sudah tumbuh menjadi sosok gadis cantik nan tegar. Ya. Dia sudah dewasa sekarang. Dia bukan lagi gadis mungilnya yang merengek manja ketika tak kunjung dibelikan boneka. Dia sudah besar. Dia sudah besar.

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang