Suasana siang mendung hari ini seakan mendukung suasana hati Riana yang sedang berkabut. Angin berhembus cukup kencang hingga menggugurkan beberapa helai daun ke atas pusara basah Maria.
Prosesi pemakaman sudah selesai beberapa saat lalu. Para pelayat juga sudah pergi meninggalkan makam ini dan Riana seorang diri. Arif tidak bisa datang karena harus mengurus masalah kantor. Jadilah Riana sendiri disini. Menatap lekat nisan sang mama. Maria Evelyn Rahardian. Nama yang cantik bukan?
Riana teringat lagi sosok mendiang Maria. Mata indahnya dengan bulu mata lentik. Hidung bangir dan bibir yang tak terlalu tebal atau tipis tercetak anggun di wajah ovalnya. Sangat cantik dan anggun dalam waktu bersamaan. Tanpa terasa air asin itu kembali menuruni pipinya. Sontak ia langsung menengadahkan wajahnya. Menahan agar air mata itu tak lagi mendobrak pertahanannya. Untuk sekali saja biarkan ia menjadi gadis tegar di depan Maria sekarang. Biar ia tunjukkan sekali lagi pada Maria bahwa ia bukan gadis cengeng.
Setelah memastikan air matanya mengering, Riana kembali mengarahkan pandangannya pada pusara Maria. Diusapnya tanah pusara Maria yang masih merah. Ia genggam segumpal tanah itu erat-erat seolah mencari kekuatan dari situ.
"Berbahagialah, Ma." tutur Riana lirih lengkap dengan senyum manisnya.
"Riana."
Suara yang familiar itu menembus indra pendengaran Riana. Ia segera mendongakkan kepalanya dan netranya menangkap sosok penghancur itu.
"Untuk apa kau kesini?" desis Riana tajam.
Lea terduduk di samping Riana. Kepalanya tertunduk dalam. Dihirupnya udara di sekitarnya dengan rakus, "Aku turut berbela sungkawa, Ri."
"Apa kau puas sekarang? Lalu apalagi setelah ini?" tanya Riana yang tak sudi menatap Lea lagi.
"Maafkan aku, Ri." manik keabuan milik Lea menyorotkan penyesalan yang teramat, "Aku sangat berdosa padamu. Aku telah menghancurkan perasaanmu dan ayahku telah menghancurkan keluargamu. Kau tahu? Ayahku sudah mendapat ganjarannya sekarang. Aku..."
"Dan jika kau bermaksud untuk memohon kebebasan ayahmu padaku maka aku tidak akan pernah mengabulkannya." potong Riana cepat.
"Ri, kumohon dengarkan aku! Aku datang kesini bukan untuk itu. Aku datang murni untuk menebus dosaku padamu. Jadi sekarang katakan apa yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahanku padamu."
"Menjauhlah dariku!" cetus Riana lirih.
Hati Lea mencelos mendengarnya. Dulu gadis di sampingnya ini adalah gadis ceria dengan kehidupan yang cukup sempurna dan pasangan yang mencintainya dengan tulus. Tak pernah sekalipun gadis itu mengusik hidupnya. Namun kedengkian merubahnya menjadi monster bertangan dingin yang menghancurkan seluruh kehidupan gadis malang itu. Dan jika sekarang Riana memintanya menjauh maka tak ada gunanya ia tetap berada disini, bukan? Ia tahu diri bahwa ia pantas dibenci setelah apa yang ia lakukan.
"Baiklah. Aku akan menjauh darimu jika itu membuatmu lebih baik. Tapi berjanjilah satu hal, Ri. Kau harus tetap berdiri tegar setelah badai ini menerpamu. Aku tahu kau cukup kuat untuk itu, Riana." ujar Lea dan mulai bangkit berdiri.
"Satu lagi. Aku sudah melepaskan Fachri sepenuhnya untukmu, Ri. Kuharap..."
"Kenapa kau melepaskannya? Bukankah kau mencintainya?" sergah Riana cepat.
"Ya, aku mencintainya. Tapi apa yang bisa kulakukan saat lelaki yang kucintai sudah lebih dulu terpaut pada gadis lain, Ri? Dia terlalu sulit berubah haluan. Kau tahu? Dia sangat gigih mencintaimu." Lea terkekeh kecih. Perasaan lega membuncah di hatinya. Kini semuanya sudah selesai. Ya, setidaknya untuk dirinya sendiri. Bukan untuk Riana.
Riana sempat menoleh pada Lea. Gadis itu tersenyum manis pada Riana sebelum melangkah pergi dari pemakaman itu. Riana masih menatap punggung Lea yang semakin mengecil dan menghilang dalam mobil hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riana
RomanceTak ada hidup yang benar-benar sempurna di dunia ini, bukan? Semua yang hidup pasti pernah merasakan sakit dari takdir yang tergaris. Termasuk seorang putri kaya raya Riana Putri Rahardian. Boleh dikatakan hidupnya sempurna karena ia memiliki segala...