Sebelas

1.5K 127 0
                                    

Jarum jam baru saja menunjuk angka tiga. Itu berarti masih ada banyak waktu kosong sebelum jam pulang tiba. Riana baru saja selesai merampungkan pekerjaannya dan memutuskan membaca koran yang tadi sempat dibelinya tapi belum sempat dibacanya. Dengan seksama ia menapaki kata demi kata yang tercetak di lembar informasi itu dan betapa terkejutnya ia tatkala matanya menangkap sosok pria senja yang akhir-akhir ini sering menghantuinya dalam mimpi.

Terkuak, Pemilik Rahardian's Group Ternyata Mendekam di RSJ begitu judul berita itu tercetak tebal di sana. Tubuh Riana tiba-tiba saja menegang. Dunianya berputar. Telinganya menuli untuk beberapa saat. Sebutir air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya. Benarkah Papanya mendekam di RSJ?

Dengan kesadaran yang belum kembali total, Riana segera memasukkan koran itu ke dalam tas dan menyambar tas tersebut untuk dibawa ke ruangan Fachri.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Riana langsung menerobos masuk ruangan Fachri.

"Ada apa? Kenapa tidak ketuk pintu dulu?" tanya Fachri yang terkejut mendapati Riana berdiri di depannya dengan kondisi linglung.

"Aku izin sebentar." sahut Riana dengan pandangan tak fokus.

Belum sempat Fachri bertanya lebih lanjut, Riana sudah melenggang pergi dengan langkah tergesa. Merasa ada yang tak beres Fachri pun memutuskan untuk mengikuti Riana diam-diam.

Dan di sinilah Riana. Di depan salah satu RSJ ternama di kota ini sesuai dengan apa yang ia baca di koran. Dengan rasa getir yang tak tertahankan ia berjalan memasuki RSJ tersebut. Usai menanyakan ruangan sang ayah pada salah satu pegawai di meja dekat pintu masuk, ia segera melangkahkan kakinya mengikuti si pegawai yang mengantarnya pada sang ayah.

"Terimakasih." gumamnya pada pegawai tersebut.

Segera ia sapukan pandangannya ke penjuru ruangan dan ya! Dia menemukannya tengah bersandar di salah satu kursi panjang bersama dengan seorang pria berjas hitam.

"Papa." panggil Riana hampir terdengar seperti bisikan.

Bukan Vito yang menoleh tapi Arif-orang kepercayaan Vito.

"Riana?" Arif nampak berbinar mendapati Riana berdiri di sini setelah tujuh tahun lamanya tak pernah ia temui.

"Om Arif, Papa kenapa?" tanya Riana yang kini makin terlihat rapuh dengan air mata yang susul-menyusul menyerbu pipinya.

"Duduklah dulu!" perintah Arif yang dituruti Riana.

"Apa yang terjadi? Kenapa Papa jadi seperti ini?" tanya Riana bergetar.

"Perlu kau ketahui bahwa sejak ia mengusirmu beserta Maria, ia berubah menjadi sosok yang dingin, kejam dan gila kerja. Hampir seluruh waktunya ia habiskan di kantor. Itu berlanjut sampai lima tahun lamanya. Tapi di tahun beriktnya ia baru mengetahui sebuah kebenaran yang membuatnya terpuruk. Sangat terpuruk." Arif menghentikan ceritanya untuk mengambil nafas sejenak.

"Kebenaran apa, Om?" tanya Riana penasaran.

"Kebenaran bahwa Maria tidak pernah berselingkuh. Ia mengetahui itu setelah Bram berhasil mengakuisisi Rahardian's Group. Bram mengaku bahwa foto itu ia lah yang mengirim dan ia juga yang merekayasa foto itu. Tentu saja Vito merasa sangat terpukul. Selama lima tahun lamanya sahabatnya sendiri telah menipunya mentah-mentah hanya demi mendapatkan perusahaannya. Dengan kenyataan seperti itu Vito tak lagi mampu bertahan. Rasa bersalah dan tekanan yang dirasakannya membuatnya menjadi seperti ini." ujar Arif dengan wajah sedihnya.

"Om Bram? Bukankah Lea Winarko merupakan putri semata wayangnya?" tebak Riana yang mendapat anggukan dari Arif.

Riana mendesah kecewa. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang makin basah dengan air mata, "Bagaimana mungkin? Kenapa Om Bram setega itu?"

"Harta dan kedudukan membuat sebagian orang rela melakukan apapun, Ri. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, berita di koran itu bersumber dari Bram. Jika saja Bram tidak mengirim antek-anteknya kesini mungkin berita itu tidak akan pernah ada." tutur Arif seraya mengusap punggung Riana. Berusaha untuk menenangkan gadis malang itu.

Sebentar kemudian Riana kembali menegakkan tubuhnya. Ia mengarahkan pandangannya pada sang ayah yang sedari tadi nampak setia dengan bungkamnya.

Usai menyeka air matanya, Riana berpindah ke depan Vito. Ditatapnya lekat-lekat sosok yang sangat ia rindukan itu. Seketika tangisnya kembali pecah. Ia merasa bodoh pernah membenci papanya sendiri. Dengan gemetar tangannya menggapai tangan hangat Vito dan menggenggamnya. Namun tak ada respon dari Vito. Ia masih tak ubah dari posisinya.

"Pa, ini aku Riana. Putri papa." ucap Riana dengan nada sarat kepiluan.

Kini satu tangannya berpindah untuk mengusap pipi Vito.

"Pa, Riana kangen Papa. Mama juga kangen Papa." ucapnya lagi dengan senyum yang dipaksakan.

Cukup sudah! Riana tak tahan lagi. Langsung saja ia menghambur memeluk Vito dengan erat. Berusaha menyalurkan rasa rindunya pada sosok yang bagai patung saat ini.

"Pa, kenapa Papa diam? Katakanlah sesuatu!" Riana terisak di bahu papanya, "Pa, Riana minta maaf karena sempat membenci Papa." imbuhnya.

"Riana?" nama yang meluncur dari mulut Vito itu mampu membuat Riana mengurai pelukannya dan menatap Vito tak percaya.

"Ya, Pa. Ini aku Riana. Putri Papa." sahut Riana dengan mata berbinar. Sungguh ia sangat bahagia jika benar papanya mengingatnya.

"Tidak! Putriku sudah mati." cetus Vito yang membuat harapan Riana akan ingatnya Vito pada dirinya hancur.

"Pa, ini aku Riana. Putri Papa. Aku masih hidup, Pa. Pa..."

"Diam!! Putriku sudah mati!!" bentak Vito yang membuat Riana mengambil langkah mundur.

"Tenanglah! Ayo kembali ke kamarmu!" ajak Arif yang mulai menarik Vito bangun untuk mengantarnya ke kamarnya.

"Om..."

"Tenangkan dirimu, Ri! Kau bisa menemuinya lain waktu. Dan soal Bram aku sudah mengatasinya. Sebentar lagi Rahardian's Group akan kembali ke tanganmu." tukas Arif sebelum berlalu bersama Vito meninggalkan Riana yang meluruh ke lantai dan menangis tersedu.

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang