Delapan Belas

1.6K 120 0
                                    

Hanya cahaya rembulan yang menelisik masuk menerangi kamar ini. Gadis itu berada disana. Memeluk lututnya di sudut ruangan. Tak ada yang ia lakukan selain diam dan menatap kosong langit malam. Ini hari terakhirnya berada di rumah kontrakan penuh kenangan ini. Karena dua hari lagi ia resmi menjadi pengganti Vito untuk memimpin Rahardian's Group sementara waktu.

Masih segar di ingatannya setumpuk kenangan masa lalunya bersama mendiang Maria di kontrakan kecil ini. Semua tampak indah dan manis. Jika saja ia bukan putri dari seorang Vito Rahardian mungkin sekarang ia lebih memilih tinggal di rumah kontrakan ini lebih lama lagi. Rasanya enggan untuk meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Teramat berat.

Suara ponsel yang berdering di nakas membuat Riana meraih benda pipih itu.

"Halo?" sapa Riana serak.

"Riana, kau darimana saja? Aku mencoba menghubungimu dari tadi pagi." gerutu si penelepon.

"Darimana kau tahu nomorku, Dit?"

"Itu bukan jawaban, Nona Riana Putri Rahardian! "

Riana terkikik geli, "Maaf. Aku sedang sibuk mengurus pemakaman Mama."

"Pemakaman? Jangan bilang kalau...Astaga, Ri! Kenapa kau tidak memberitahuku? Sekarang katakan dimana kau berada! "

"Kau bahkan tidak mengucapkan bela sungkawa, huh?"

"Riana, aku serius! Dimana sekarang kau? "

"Jika kau bertanya untuk Fachri maka aku tidak akan berbaik hati untuk memberitahukan keberadaanku."

"Ri..."

"Kumohon, Dit. Tolong bantu aku sekali lagi. Untuk saat ini aku tidak ingin berhubungan dengan Fachri dulu."

"Tapi..."

"Mengertilah, Dit. Ini tidak semudah yang kau pikir."

"Hm, baiklah. Aku turut berduka cita atas kepergian mamamu. Kuharap kau baik-baik saja. Maaf, aku tidak bisa menemanimu."

"Haha, tentu. Aku bukan gadis cengeng lagi, kau tahu? Terimakasih sudah mau membantu."

"Tentu. Jaga dirimu baik-baik! Oh ya, soal surat resignmu? "

"Tolong segera setujui, Dit."

"Baiklah. Apa rencanamu setelah ini? "

"Apa aku punya pilihan selain meneruskan perusahaan papa?"

"Ah, ya. Aku lupa kalau kau putri pemilik Rahardian's Group. Baiklah. Nikmati hidup barumu. Semoga kita bisa bertemu di lain waktu. Selamat malam, Riana."

"Tentu. Selamat malam." panggilan terputus.

Sontak saja Riana mencari kontak Arif dan meneleponnya.

"Ada apa, Ri? " tanya suara di seberang telepon.

"Tolong carikan detektif ternama di kota ini untuk menutupi keberadaanku dari Fachri Wijaya." sahut Riana dalam satu tarikan nafas.

"Kenapa, Ri? " tanya Arif tak mengerti.

"Kumohon turuti saja, Om. Pastikan Fachri tidak akan pernah menemukanku." tegas Riana sebelum memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Dicengkramnya ponsel itu kuat-kuat sebelum dihempaskannya begitu saja ke lantai dingin itu.

Hatinya sakit sekarang. Bukankah harusnya ia berbahagia karena Fachri akan segera kembali padanya? Ya, normalnya begitu. Tapi tidak untuk sekarang. Dia perlu sendiri. Menata kembali kehidupannya yang sempat porak-poranda.

"Maafkan aku, Ri."

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang