Tiga

1.7K 122 0
                                    

"Aduh anak mama udah cantik aja." puji Maria pada seorang gadis yang tengah duduk di ranjang sambil memasang heelsnya.

"Eh, Mama udah selesai makannya?" tanya Riana yang masih sibuk memasang heelsnya.

Wanita berdaster coklat dengan motif batik itu menghampiri Riana, "Kerja yang benar, ya! Jangan pernah membantah atasan! Jadilah gadis yang baik dan penurut." ujarnya menasehati.

"Siap, Ma!" sahut Riana dengan tangan kanannya berada di pelipis seperti pasukan upacara hormat pada pembina.

"Riana berangkat dulu, ya. Mama jangan melakukan hal-hal yang menyulitkan. Tunggu Riana pulang atau telepon Riana kalau mama butuh sesuatu. Oke?"

Maria mengangguk patuh. Ia mencium kening putrinya setelah sang putri mencium hormat punggung tangannya.

"Hati-hati!" ucap Maria.

Riana mengangguk dengan seulas senyum manis di bibirnya.

***

Tepat pukul 07.00 Riana sudah menjejakkan kakinya di pelataran kantor barunya PT. Jaya Company Property. Dengan senyum yang selalu melekat di wajahnya ia melangkah santai memasuki kantor tersebut. Berjalan menyusuri koridor yang sudah cukup ramai karyawan berlalu-lalang. Berhubung tempat kerjanya berada di lantai 21 ia pun harus menaiki lift terlebih dahulu.

Nyaris saja pintu lift tertutup tiba-tiba seorang lelaki dengan langkah tergesa menghentikannya. Alhasil Riana harus terjebak dalam ruang sempit ini bersama lelaki asing itu.

Suasana hening melingkupi dua insan berbeda jenis ini cukup lama. Hingga akhirnya lelaki di sebelah Riana itu berdeham. Namun Riana mengabaikannya. Ia masih setia memperhatikan heelsnya yang entah mengapa menjadi lebih menarik ketimbang berbasa-basi dengan orang tak dikenal.

"Karyawan baru?" suara lelaki itu terdengar bertanya.

Pada siapa?

Rianakah?

Tentu saja. Siapa lagi yang berada satu lift dengan lelaki itu selain Riana?

Demi kesopanan pada senior kantor Rianapun mengangkat wajahnya kemudian menolehkan kepalanya ke samping dan mengangguk dengan senyum tipisnya.

Lain halnya dengan lelaki yang bertanya tadi. Wajahnya menggambarkan keterkejutan yang sangat.

"Riana?" lirih lelaki itu yang masih didengar jelas oleh si pemilik nama.

Riana memiringkan kepalanya tak mengerti. Siapa lelaki ini? Apakah dia mengenalnya? Apa mereka pernah bertemu sebelumnya?

"Maaf?" Riana menyerah ketika berusaha mengingat siapa lelaki ini tetapi sia-sia.

"Radit." tegas lelaki itu yang sudah merubah raut wajahnya menjadi datar.

"Radit?" Riana melafalkan nama lelaki itu. Tapi tetap saja tak ada satupun sosok yang dikenalnya mampir ke otaknya.

"Semudah itu, huh?" ujar Radit sinis.

"Ma-maaf saya..."

"Tutup mulutmu, Bitch!" geram Radit dengan mata berkilat.

Riana tersentak mendengar dirinya disebut bitch. Siapa sebenarnya lelaki ini? Mengapa dia terlihat sangat marah padanya? Bukan marah tapi lebih cenderung ke benci.

"Masih tidak ingat? Huh. Semudah itukah melupakan setelah membuat semuanya kacau?" cerca Radit.

"Maaf. Tapi saya benar-benar tidak mengerti apa yang anda bicarakan." tegas Riana yang kemudian membuang muka.

"Fachri." satu nama yang keluar dari mulut Radit mampu membuat kepala Riana menoleh kembali ke arahnya.

Mata gadis itu membulat kaget. Bibirnya terkatup rapat.

Fachri?

Nama itu?

"Fachri Wijaya. Seorang lelaki bodoh yang mencintai gadis murahan macam kau." seloroh Radit yang membuat hati Riana mencelos.

Dengan cepat kepingan-kepingan memori tujuh tahun silam berputaran di kepalanya. Mata Riana mulai memanas. Oh, tidak! Jangan lagi! Jangan lagi menjadi gadis cengeng!

"Dan aku harus kena getahnya karena kelicikanmu. Sudah mengingatnya, Nona?" Radit menyeringai.

Riana menggeleng pelan. Ia melangkahkan kakinya mundur hingga punggungnya membentur dinding lift.

"Kenapa? Tidak usah berakting menjadi gadis suci yang merasa paling menderita! Memuakkan!" Radit melangkahkan kakinya mendekati Riana yang sudah bergetar takut.

"Ma-maaf." ucap Riana lemah. Hampir seperti bisikan.

"Maaf?" Radit mengangkat satu alisnya, "Semudah itu?" tanyanya yang kini sudah berada beberapa senti di depan Riana. Satu tangannya terulur menyentuh dinding lift tepat di samping kepala Riana.

Riana mendelikkan matanya ketika wajah Radit makin mendekati wajahnya. Semakin mendekat, mendekat dan mendekat. Nafas Riana seketika tercekat.

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang