Prolog

3.6K 209 3
                                    

Hai!!
Ada cerita baru nih!! :v
Oh ya, walaupun cerita ini udah complete tetep mohon partisipasinya untuk vote dan comment ya! :)
Don't be silent readers, okay? ;)
One more, kritik dan saran sangat dibutuhkan agar ke depannya aku jadi lebih baik lagi dalam menulis.

Happy Reading ❤

Suara nyaring pecahan benda dari ruang tamu menembus gendang telinga gadis remaja 17 tahun yang langsung menghentikan jari lentiknya menari indah di tuts piano.

Atmosfer menegangkan jelas terasa saat gadis berambut panjang itu sampai di tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Matanya menatap nyalang kedua orangtuanya yang tengah diliputi emosi membuncah.

"Mas, dengarkan aku! Aku tidak pernah sekalipun berselingkuh." tegas wanita berambut sepinggang itu dengan kedua pipi yang sudah sangat basah dan hidung yang memerah.

"Lalu ini apa, huh?" tanya pria di depannya seraya melemparkan sebuah amplop coklat tepat di wajahnya.

Dengan tangan bergetar wanita bernama Maria itu membuka amplop tersebut dan...

"Mas, aku tidak..."

"Cukup!!" teriak pria bernama Vito itu seraya menampar sang istri.

"Mama!!" seorang gadis yang sedari tadi bersembunyi di balik tembok segera menghambur ke arah sang Mama.

"Kenapa Papa tampar Mama?!" tanya gadis itu dengan suara bergetar.

"Kenapa? Haha, tanyakan saja pada wanita jalang itu!" ucap Vito sarkastik.

"Berhenti memanggilku jalang!!" teriak Maria frustasi yang langsung dihadiahi tamparan kedua dari suaminya.

"Papa!!" bentak putri mereka-Riana.

"Diam!!" bentak Vito pada Riana, "Kau! Dengar! Aku sangat sangat menyesal pernah menyetujui permintaan mama untuk menikahimu. Karena sekarang aku sadar bahwa seorang pelayan akan selamanya menjadi pelayan sekalipun telah diperistri seorang raja!" sambungnya dengan menatap penuh sang istri.

"Papa!!"

"Diam!!" bentak Vito yang kali ini disertai tamparan kuat ke arah sang putri. Hingga gadis itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.

"Mas!" pekik Maria tertahan.

Riana membelalak tak percaya. Sosok ayah yang dulu sangat menyayangi dan memanjakannya kini berubah menjadi monster yang menyeramkan.

Masih dengan memegang pipinya yang terasa berdenyut dan mata yang berkunang ia bergumam lirih, "Papa?"

Sementara Vito masih tetap berdiri angkuh tanpa rasa bersalah meski telah menampar putri semata wayangnya hingga sudut bibirnya mengucurkan darah.

"Kau? Siapa kau, huh? Dimana kau sembunyikan papaku?!" tanya Riana dengan telunjuk yang tepat menunjuk wajah sang ayah.

"Jangan kurang ajar!!" bentak Vito dengan tangan yang sudah mengambang di udara siap menampar Riana untuk yang kedua kalinya.

"Apa?! Mau menamparku lagi?!" tantang Riana.

"Riana..."

"Tidak, Ma! Jika Mama menyuruhku berhenti maka maaf untuk kali ini aku tidak bisa menurutimu." ujar Riana tegas, "Dan kau! Aku sangat membencimu. Sangat sangat membencimu. Kau bukan papaku!" sambung Riana dengan penekanan lebih di kalimat terakhir.

Baru saja Riana hendak berlari ke kamarnya namun suara dingin Vito serasa meruntuhkan dunianya.

"Baiklah. Jika aku bukan papamu maka kau juga bukan putriku. Jadi anggap saja aku sudah mati dan aku juga akan menganggapmu sudah mati. Putriku sudah mati."

"Tidaakkk!!!!" Riana segera terduduk dengan nafas tak beraturan dan keringat dingin yang terus mengucur.

Mimpi itu lagi.

Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, kenangan itu tetap terasa nyata walau dalam mimpi sekalipun.

Riana sedikit beringsut mundur untuk meraih segelas air di nakas dan meneguknya habis. Bahkan air pun tak mampu meredakan tenggorakannya yang serasa terbakar. Ah, mimpi itu selalu sukses membuatnya meruntuhkan ketegarannya. Ya, ia menangis lagi untuk ke sekian kalinya hanya karena kenangan masa lalu yang bahkan mulai terlupa berkat terapi psikologi yang rutin ia jalani empat tahun lalu pasca trauma berat tiga tahun setelah kejadian buruk itu. Sudah setahun terakhir ini ia berhenti terapi karena memang mimpi-mimpi itu sudah pergi dan mentalnya sudah lebih baik. Namun entah mengapa seminggu terakhir ini mimpi itu kembali datang.

Tak mau ambil pusing Riana kembali membaringkan tubuhnya dan memaksakan matanya untuk terpejam walau hasilnya nihil. Karena pagi harinya ia tetap bangun dalam keadaan kacau dengan kantung mata menghitam.

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang