Lima Belas

1.7K 119 0
                                    

"Mama sedang apa?" tanya Riana yang baru saja pulang dari Lavida Cafe setelah pertemuannya dengan Fachri yang berujung menyedihkan.

Tak ada jawaban dari Maria.

Riana yang melihat bahu Maria bergetar pun langsung menghampiri sang mama. Semakin mendekat isakan kecil dari Maria semakin menembus gendang telinga Riana.

"Ma..."

"Ini apa, Ri?!" teriak Maria seraya memutar badannya menghadap Riana.

Riana terkejut bukan main. Ini kali pertama Maria meneriakinya. Dan koran itu...Bagaimana bisa koran itu berada di tangan Maria?

"Jawab, Ri!!" bentak Maria frustasi.

"Maaf, Ma." lirih Riana berusaha menahan air matanya yang mulai berdesakan ingin keluar.

Maria meluruh ke lantai. Seluruh sendinya serasa melemas dan mati rasa. Suami tercintanya ah mengapa ia terlalu bodoh dengan hanya berdiam diri tanpa memperjuangkan cintanya?

Riana menghambur ke arah sang mama. Dipeluknya sang mama dengan penuh kasih sambil mengucapkan beribu maaf yang serasa seperti dengungan tak berarti di telinga Maria.

"Ma? Mama?" Riana mengurai pelukannya karena isakan Maria tak terdengar lagi dan...

"Mamaaa!!!" Riana menjerit histeris melihat Maria terkulai lemas sekarang.

Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Ma, bangung Ma!! Ma, kumohon bangunlah!!" seru Riana terisak.

Cepat-cepat ia berlari keluar dan berteriak minta tolong sekeras-kerasnya. Berharap warga sekitar segera berdatangan untuk membantu mamanya.

"Pak, Bu, tolong mama saya!!" ucap Riana dengan tangisan pilunya.

Warga yang berdatangan pun segera mengikuti Riana menuju kamarnya dan membopong Maria untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

***

Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu. Namun masih belum ada tanda-tanda Maria akan segera sadar.

"Kuatkanlah dirimu, Ri." ucap Arif yang baru sempat datang menjenguk hari ini.

Riana hanya mengangguk lemah. Sudah dua hari pula ia tidak bekerja. Ia masih setia memperhatikan sang mama dan monitor secara bergantian. Memastikan bahwa mamanya masih disini. Mamanya masih bersamanya.

"Maaf baru bisa menjenguk hari ini. Aku terlalu sibuk untuk mengalihkan nama pemegang Rahardian's Group kembali ke nama Vito." terang Arif yang membuat Riana menolehkan kepalanya ke arahnya.

"Jika kau berpikir aku telah berhasil mengalihkan kepemilikan Rahardian's Group maka kau benar, Nona." ucap Arif dengan senyumnya yang mengembang.

Riana tersenyum tipis. Ia merasa lega karena perusahaan papanya bisa diambil alih dari Bram sialan itu. Tapi bagaimana dengan Bram sendiri?

"Lalu Om Bram?"

"Dia sudah ditangani pihak berwajib." sahut Arif.

Riana tersenyum lega. Setidaknya satu masalahnya sudah selesai.

"Oh ya, kau tidak lupa kan untuk segera resign dari kantormu?" tanya Arif mengingatkan.

"Tentu tidak. Aku sudah mengirimkannya." sahut Riana getir.

***

"Makanlah, Fachri!" bujuk Lea yang melihat Fachri sama sekali belum menyentuh makanannya.

"Aku tidak lapar." sahut Fachri datar.

"Kenapa kau selalu seperti ini, Ri? Kenapa kau selalu mengacuhkanku? Kenapa, Ri? Apa cinta dan perhatianku padamu selama ini belum cukup kuat untuk menyingkirkan jalang itu dari hatimu?" tanya Lea emosi.

"Dia bukan jalang!" desis Fachri tajam.

"Kenapa kau terlalu teguh untuk digoyahkan, Ri?! Kenapa terlalu sulit untukmu merubah perasaanmu pada Riana? Padahal aku sudah melakukan semuanya demi mendapatkanmu. Bahkan aku sudah menyuruh jalang itu untuk menjauhimu dengan jalan memutuskanmu. Tapi sayangnya cintamu terlalu kuat padanya." Lea tersenyum getir.

"Jadi apa yang dikatakan Riana benar?" lirih Fachri pada dirinya sendiri.

"Apa Riana sudah mengatakannya padamu? Baguslah kalau begitu. Aku tidak perlu menceritakan detailnya lagi padamu." ujar Lea.

"Aku kecewa padamu, Lea." ungkap Fachri dingin.

"Bukankah aku terlihat memalukan sekarang? Berjuang untuk mendapatkan lelaki yang bahkan hatinya sudah dipenuhi oleh gadis lain. Memalukan." Lea tertawa sumbang, "Bukankah aku terlihat seperti gadis murahan sekarang? Menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang aku inginkan." setitik air matanya jatuh. Namun cepat-cepat ia usap dengan kasar.

"Dulu aku terlalu percaya diri bisa mendapatkan seorang Fachri Wijaya. Tapi sekarang lihatlah! Perjuanganku sia-sia, bukan? Bahkan aku sendiri muak melihat wajahku sendiri." sekuat tenaga ia menahan tangisnya walau nyeri di dadanya membuatnya sesak.

"Maafkan aku, Lea." ucap Fachri tulus.

"Tidak. Tidak perlu minta maaf padaku. Di sini aku yang salah. Aku yang sudah menjadi penghancur seperti apa yang dikatakan Riana waktu itu. Aku terlalu berdosa padanya. Ayahku telah menghancurkan keluarganya dan aku juga telah menghancurkan perasaannya." Lea tak kuat lagi berlagak bak wanita tegar. Air matanya mengalir bebas sekarang di kedua pipinya.

"Aku gadis jahat. Aku penghancur, Ri." racau Lea yang membuat Fachri merengkuh gadis itu ke dalam dekapannya.

"Tenanglah!" Fachri mengusap lembut rambut sebahu Lea. Berharap gadis itu bisa berhenti dari tangisannya.

Setelah yakin sedikit tenang, Lea mengurai pelukan Fachri dan menyeka air matanya.

"Maafkan aku, Ri. Aku sadar bahwa seberapa gigih aku berjuang untukmu itu tidak akan mampu mengubah rasa cintamu pada Riana." Lea menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, "Sekarang aku benar-benar menyerah atas mu, Ri." putusnya mantap.

RianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang