Masaki's POV
Seperti biasanya, aku duduk di depan meja barista sembari asyik dengan laptop dan buku catatanku.
"Apa harus dibuat begini? Ah! bagaimana membuat finishing yang pas untuk ide ini? Sialan!" Gumamku sembari menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Nih! Minum." Ucap seseorang sembari menyodorkan secangkir kopi hitam padaku. Aku menoleh dan tersenyum.
"Grazie." Ucapku lalu menyeruput kopi itu.
"Kopi apa ini? Rasanya unik! Sama sekali tidak terlalu asam dan lembut."
"Kopi Luwak." Jawabnya. Aku mengerutkan dahi.
"Kopi Lu...apa?"
"Luwak. Kopi Luwak." Jelasnya lagi. Aku mengangguk mengerti dan menyeruput kopi itu lagi.
Dia kembali berbalik untuk menggiling kopi.
"Percaya atau tidak, kopi itu terbuat dari kotoran musang loh."
Aku menyemburkan kopi itu dan sedikit terbatuk. Dia menyerahkan sapu tangannya padaku dan tertawa.
"Kenapa kaget begitu? Tidakkah itu enak?"
"Serius?" Ucapku sembari mengusap bibirku. Dia tertawa.
"Tenang saja. Kopinya sudah dicuci bersih kok. Agak menjijikan memang, tapi...percayalah, kopi ini menempati urutan pertama kopi paling enak sedunia. Harganya juga sangat malam. Sekitar 50 Euro* perkilonya."
Aku terkejut. "50 Euro untuk sekilo kotoran? Yang benar saja!"
"Tapi kau harus berterima kasih pada enzim lambung musang-musang itu. Berkatnya butir-butir kopi yang enak itu muncul. Mendiang ayah dan ibuku suka sekali dengan kopi ini. Nonna juga."
Aku menatap kopi itu dengan perasaan aneh.
"Kenapa tidak diminum? Kalau begitu kubuang saja."
"Jangan!" Ucapku menahannya. Dia tersenyum.
"Kalau begitu habiskan." Ucapnya.
Aku menyesap kopi itu lagi. "Terlepas dari semua itu. Kopi ini memang enak. Kau memang paling jago mengusiliku."
"Karena kau yang paling mudah diusili." Jawabnya enteng.
Uh! Menyebalkan! 😡
Dia lalu mengantarkan kopi kepada pelanggan lain yang sudah menunggu dibantu seorang pelayan.
Aku kembali mengerjakan pekerjaanku yang sudah hampir habis deadlinenya. (Yang benar saja! Ninomiya hanya memberiku waktu tambahan 3 hari!)
"Ia menoleh ke arah jendela besar di sudut dan tersenyum. Cahaya mentari senja yang menerpa wajahnya yang anggun menimbulkan kesan magis dan misterius." Well, aku suka line itu." Ucap suara lembut di belakangnku. Aku menoleh.
"Dasar tidak sopan! Kau mengintip ya?!" Seruku panik lalu menjauhkan laptopku. Dia mengerutkan bibirnya.
"Kenapa marah begitu? Aku hanya penasaran kenapa aku tidak boleh melihatnya." Ucapnya dengan nada kecewa.
Aku menghela napas. "Kan sudah kubilang berkali-kali alasannya."
"Itu tidak terdengar sebagai sebuah alasan untukku. Itu namanya kau sedang menyembunyikan sesuatu atau menghindar." Protesnya.
Aku mencondongkan wajahku dan mengecup ujung hidungnya. "Dasar bawel! Sana bikin kopi!"
Dia mengerutkan bibirnya dan kembali ke belakang. Aku kembali mendorong laptopku ke tengah dan menepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Feelings
FanfictionMasaki Aiba, seorang novelis terkenal tiba-tiba saja mengalami kebuntuan dalam menulis. Bahkan editornya yang terkenal bermulut pedas, Kazunari Ninomiya, menyebut bahwa tulisannya tidak lebih hebat daripada karya tulis anak SD. Dari situlah ia kemud...